Teruntukmu, Pemberi Cokelat Hangat
(Duniamimpigie)
Halo, apa kabarmu malam
ini?
Aku sedang menyeduh
cokelat instan kesukaanku, yang tiap kalinya mengingatkanku akanmu.
Ingatkah? Dulu kau yang
mengenalkanku pada cokelat instan merek ini. Katamu kala itu, sebagai
permintaan maaf sebab telah meninggalkanku sendiri dan pergi lebih dulu bersama
teman-temanmu.
Padahal bagiku tak
masalah. Lantaran aku sendiri yang datang tanpa diundang, tiba-tiba mengabarimu
tengah hari aku sedang dalam perjalanan ke tempatmu, tanpa tahu-menahu kau
sedang makan siang bersama rekan-rekan kerjamu.
Beruntung aku kenal
beberapa di antara mereka dan—aku tahu kalian akan menyilakanku—kau
membiarkanku bergabung. Aku tahu kau dan kawan-kawanmu akan menungguku hingga
usai bersantap, maka aku sengaja memilih menu kecil. Toh, kau dan mereka harus
segera kembali ke tempat kerja, bukan?
Petangnya, kau buru-buru
menjemputku di restoran yang sama. Yang pertama kaulakukan, menyerahkan satu
bingkisan berpita. Isinya: satu saset minuman cokelat instan, beberapa butir
permen keras, satu bungkus biskuit cokelat, dan boneka penguin kecil yang bisa
digunakan sebagai gantungan kunci. Mirip bingkisan ulang tahun anak-anak,
pikirku kala itu.
Yang pertama kauucapkan,
“Maaf, siang tadi aku meninggalkanmu buru-buru.”
Padahal sebetulnya kamu
tidak salah. Dan kamu tidak perlu minta maaf. Apalagi sampai memberiku hadiah.
Kendati begitu, perasaan senang
yang kautawarkan itu tetap kuterima sepenuh hati.
Aku terbayang-bayang, kau
bingung mau memberi apa sebagai permintaan maaf untukku. Tapi tak ada tempat
yang bisa disinggahi di kantormu selain koperasi karyawan yang alakadarnya.
Di situlah kau membeli
minuman bubuk instan, biskuit, dan permen keras yang kauhadiahi kepadaku.
Kutebak, sederhana alasannya: kamu pilih saja apa-apa yang kausendiri sukai.
Lantas, penguin
berpitanya? Kutebak-tebak itu sampel produk buatanmu di kantor—barangkali yang
ditolak, sebab aku tidak pernah melihat penguin itu sekali pun di pasaran—sebab
pekerjaanmu memang itu, bukan? Mendesain mainan anak-anak? Aku tahu, kok.
Walau bukan hadiah yang
rupawan pun mewah, bingkisan berpita sederhana nan murah itu menjadi
kebahagiaan kecil yang kuingat senantiasa.
Kini, dua tahun berlalu, biskuit
cokelatnya bukan penganan favoritku. Pun sejak kecil aku lebih menyukai permen
empuk dibanding permen keras. Penguin beserta pitanya tersimpan rapi di kotak
sepatu berwarna merah muda yang kualihfungsikan menjadi
kotak-penyimpanan-barang-tak-berharga-yang-berharga.
Bagaimana dengan minuman
cokelat instan tersebut?
Sedang kuminum di malam
yang dingin ini. Membuatku terkenang akan kejadian hari itu yang membuatku
terkenang akanmu.
Dulu kau memberiku dengan
perasaan maaf.
Kini kuseduh dengan
perasaan terima kasih.
Jadi, bagaimana kabarmu,
malam ini? Masihkah cokelat instan ini minuman favoritmu?
Semoga kita bisa bertemu
muka lagi di tahun ini, sebab rindu telah merajalela, kutahan-tahan hingga
setahun penuh.
Dan, nanti, mari kita
minum cokelat hangat bersama, lagi.
TAMAT
02.01.2021
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —
Kisah mini ini saya tulis untuk salah seorang sahabat di kantor. Diambil dari kisah nyata (yang didramatisir, tentu saja). Orangnya sendiri sudah baca dan komennya cuma, “Eh? Aku gak ingat pernah kasih kamu minuman cokelat?” wkwkwkwk~
Dan, oh, saya kira-kiranya akan mulai membuka komisi menulis fiksi lagi dalam waktu dekat. Jika kalian tertarik, silakan hubungi saya saja. Trims!