Tik. Tik. Tik.
Hujan
mendadak malas merintik saja di kota London, setelah beberapa hari turun dengan
ganas, membuat langit petangnya keemasan. Syukurlah, karena baru-baru ini aku tiba-tiba
benci hujan.
Aku
pluviophobia—semenjak gadis belia itu
ditemukan terbujur kaku di bantaran Thames yang tengah diterpa hujan deras.
***
Southwark-London,
1553
Kutoleh
jendela kusam yang menghadap ujung Jembatan London tempatku tinggal selama
beberapa bulan terakhir. Angkasa mendung, awan menggantung berat.
“Sebentar
lagi hujan.”
Kubuka
gerendel pintu, lantas meraih violetta
beserta busurnya sebelum kembali ke sisi jendela yang terbuka.
Menanti.
London
di kuartal awal abad ke-16 kerap diguyur hujan, terutama di bulan-bulan dingin
antara Oktober-Februari. Membuatnya menjadi kota tersuram yang pernah
kukunjungi.
Aku
berlayar ke berbagai negeri demi mencari kreativitas yang konon orang bilang
telah hilang dari musikku. Kabarnya, detak kehidupan London saat ini merupakan
yang teriuh di dataran Eropa, meski sebenarnya yang kerap kudengar justru
pekikan “Send to the Tower!” dari
rakyat jalanan yang melecehkan pemerintahan Raja Edward VI dan runtuhnya
perekonomian akibat berbagai peperangan dan pemberontakan petani maupun kaum
relijius.
Bersamaan
dengan turunnya rintik gerimis yang pertama, ketukan yang kunanti terdengar.
“Masuklah,
tidak kukunci.”
Gadis
Hujan muncul dari balik pintu. Tubuhnya masih terbalut jubah biru lusuh beserta
syal wol kelabu kotor. Kaus kaki kuning mencolok usang menemani kasutnya yang
sama usang. Rambutnya yang sebenarnya pirang keemasan tampak cokelat berjelaga.
Penampilannya
tak berubah selama empat bulan kunjungannya, membuatku yakin itulah
satu-satunya busana yang ia miliki.
Gadis
itu segera memosisikan diri di satu-satunya kursi di kamar beratap rendah ini. Menyadari
betapa terbiasanya ia, aku terpaksa memikirkan kemungkinan dialah orang yang
paling sering kujumpai selama hidup di sisi Thames.
Dulu,
seusai bercerita pertama kalinya, Gadis Hujan membalasku masam, “Aku tidak
perlu kreativitas atau apapun sebutanmu itu, Sir, hanya untuk berebut roti gandum berjamur dengan para tikus
got.”—yang kubalas dengan sekerat apel.
Biasanya
dia hanya mematung menontonku bermesraan dengan instrumenku; namun kali ini entah
mengapa dia bersuara, “Engkau selalu bilang musikmu—sekaligus dirimu—monoton, Sir. Memang begitulah adanya, tapi
itulah satu-satunya kebahagiaanku saat ini dan aku tak keberatan hidup tanpa
perubahan asalkan selalu diberkahi kebersamaan denganmu.”
Rintihan
violetta-ku yang selalu berbalap
dengan bising hujan di luar, sekonyong-konyong terhenti. Alisku mengernyit,
bertanya-tanya tanpa bertanya.
Yang
juga dibalas tanpa jawaban.
***
“Sir, kapan engkau akan pulang ke
negerimu?”
“Hanya
jika dawai violetta-ku ini putus
hingga aku butuh luthier untuk
memperbaikinya. Atau....”
“Atau?”
Aku
menimbang sejenak, “Atau aku kehabisan uang dan gagal menggubah musik yang lebih ingin
didengar orang-orang.”
“Seperti
sekarang ini?”
Hening
lebih lama. Kutekan-tekankan busur ke ketiga dawai instrumen gesek itu,
membuatnya sesekali mengeok. “Ya, seperti sekarang ini.”
Ia
bangkit dari kursinya, melangkah mendekat. “Kuharap kau sudi bertahan hingga dua bulan ke depan,”
lirihnya, tangannya diremas-remasnya gugup.
“Untuk
apa?”
“Untuk
ulang tahunku yang ke-15.”
Dunia
bungkam tiba-tiba.
Tidak
kusangka dia masih ingat identitasnya, terlepas jujur atau tidaknya. Pun tidak aku
berpura-pura tampak tertarik—meski sempat terkejut mendengar angka usianya.
Mata
biru suram yang masih saja menengadah penuh asa itu mengingatkanku akan air
sungai Thames. Jenak ini, mata itu merefleksikan pendambaan yang jelas tertuju
padaku.
Bisa
saja dia hanya khawatir kehilangan tempat berteduh selagi hujan masih deras di
musim ini. Atau mungkin—
“Sir, aku selalu berpikir warna gelap
rambut dan matamu itu,” dia meneguk ludah, mencari-cari kata yang sepadan,
“menawan.”
Kali
ini, aku tidak menolaknya—sulit.
Gadis
Hujan menggamit lenganku dengan canggung, menggodaku dengan jemarinya yang
gemetar hebat agar menyentuh pipinya. Sementara di kejauhan, sayup-sayup
terdengar koor anak-anak yang tersingkir derai hujan:
London Bridge is falling down
Kumainkan helai-helai rambutnya, lantas menciuminya—beraroma lembab yang
sedikit kecut, mirip hujan di kota London.
Falling down, falling down
Jatuh
tangannya melingkari pinggangku.
London bridge is falling down
Kukecup
bibirnya lembut.
My fair lady
Kurangkul
dirinya.
“Siapakah
namamu?”
Akhirnya
pertanyaan yang mengusik selama bulan-bulan sunyi perjumpaan kami itu, kusampaikan kepadanya.
***
Selama
dua hari setelahnya, London diterpa badai. Rintiknya tiada ampun, menghantam
jendela kamarku yang reyot hingga Jembatan London hanya tampak bagaikan gundukan
hitam tak berbentuk.
Namun,
ia tak kembali.
Gadis
Hujan tak berkunjung meski rintik telah menderas.
Ini
tidak biasa.
Asing
rasanya, hanya berpangku tangan menatap hujan selagi violetta-ku teronggok tak tersentuh. Gadis itu selalu membersamaiku
tiap kali hujan mengguyur hingga aku terbiasa. Sunyinya kamar membuatku merasa
tiap rintik yang jatuh itu sama bisingnya dengan lonceng Katedral Saint Paul di seberang sana.
Samar-samar
terdengar jeritan, disusul teriakan yang lebih jelas: “Ada mayat!”
Aku
tak tergerak. Mayat di bantaran Thames sudah terlampau wajar, terutama jika kau tinggal
di sisi Southwark di mana mudah memergoki pelacur dan pencopet bercinta di
lorong sempit pada suatu malam kemudian salah satunya menjadi pembunuh yang lainnya pada pagi berikutnya.
“Seorang
gadis muda!”
Aku
tersentak.
Selama
ini aku menolak “firasat” atau apapun eksistensi yang seabstrak itu. Kendati demikian,
kini aku justru terbelenggu dalam keabstrakan tersebut.
Bak
orang sinting, kujeblak pintu—berlari tunggang-langgang—mengikuti kerumunan penonton yang bergerak menyusuri Thames ke arah Menara—dan menemukan mayatnya telah disingkirkan ke sisi jalan.
Sebuah
suara menggelegar amarah.
“Dia
pencurinya! Itu kantong emas bercap keluargaku!”
Seluruh
penonton menoleh—seorang Duke kurus tua, congkak turun dari kereta kuda mewah berpelitur mengilap.
“Berani-beraninya dia... saat aku hendak menjenguk Yang Mulia yang jatuh sakit!!”
Aah...
Raja Edward VI jatuh sakit, aku baru ingat. Pantas saja belakangan London ricuh.
“Tikus
hina itu mestinya didera hukuman cambuk hingga dia tersiksa perlahan-lahan! Ternyata malah tergelincir ke sungai!
Kematian sungguh hukuman yang ringan baginya!” cercanya.
Pelayannya
meraih kantong emas yang kuyup dan masih tergenggam erat di tangan si pencuri. Kupicingkan
mata, menimbang-nimbang jumlah koin emasnya cukup untuk biaya kamarku selama
dua bulan.
Suatu
prasangka gila menyerangku.
“Oh....”
Bahwa
koin itu dicurinya untukku.
Lantas
hujan berubah badai.
Sang
bangsawan diboyong ke keretanya yang hangat, mendapatkan kembali koin emasnya
yang tak seberapa, sembari menghina-hina sosok gadis malang seusia sang Raja
yang terbujur kaku di bantaran Thames.
Aku
berbalik. Berjalan pelan menjauhi kerumunan di bawah rinai badai.
Menjauhi
dirinya.
Musik
samar berdenting-denting yang monoton bak rintik hujan, terngiang-ngiang di
otakku.
“Menakjubkan,
ternyata mendapatkan ide sebegini mudahnya,” geliku, sinis. Menyadari betapa lancarnya
nada-nada tersusun rapi, semacam mendapat pencerahan.
Aku mendadak rindu violetta-ku.
“Judulnya...”
langkahku terhenti di depan pintu, mengingat-ingat ketukan berirama yang dulu akrab dilatarbelakangi
bunyi hujan, sekaligus menimbang-nimbang untuk menunda kepergianku dari London
hingga dua bulan ke depan.
“Pluviophobia.”
Semenjak
hari itu, bak kutukan—hujan mendadak malas merintik saja di kota London.
***
Gie
26.03.2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar