Cek di sini

Selasa, 15 September 2015

[Cerpen] PLUVIOPHOBIA



Tik. Tik. Tik.
Hujan mendadak malas merintik saja di kota London, setelah beberapa hari turun dengan ganas, membuat langit petangnya keemasan. Syukurlah, karena baru-baru ini aku tiba-tiba benci hujan.
Aku pluviophobia—semenjak gadis belia itu ditemukan terbujur kaku di bantaran Thames yang tengah diterpa hujan deras.
***



Southwark-London, 1553

Kutoleh jendela kusam yang menghadap ujung Jembatan London tempatku tinggal selama beberapa bulan terakhir. Angkasa mendung, awan menggantung berat.
“Sebentar lagi hujan.”
Kubuka gerendel pintu, lantas meraih violetta beserta busurnya sebelum kembali ke sisi jendela yang terbuka.
Menanti.
London di kuartal awal abad ke-16 kerap diguyur hujan, terutama di bulan-bulan dingin antara Oktober-Februari. Membuatnya menjadi kota tersuram yang pernah kukunjungi.
Aku berlayar ke berbagai negeri demi mencari kreativitas yang konon orang bilang telah hilang dari musikku. Kabarnya, detak kehidupan London saat ini merupakan yang teriuh di dataran Eropa, meski sebenarnya yang kerap kudengar justru pekikan “Send to the Tower!” dari rakyat jalanan yang melecehkan pemerintahan Raja Edward VI dan runtuhnya perekonomian akibat berbagai peperangan dan pemberontakan petani maupun kaum relijius.
Bersamaan dengan turunnya rintik gerimis yang pertama, ketukan yang kunanti terdengar.
“Masuklah, tidak kukunci.”
Gadis Hujan muncul dari balik pintu. Tubuhnya masih terbalut jubah biru lusuh beserta syal wol kelabu kotor. Kaus kaki kuning mencolok usang menemani kasutnya yang sama usang. Rambutnya yang sebenarnya pirang keemasan tampak cokelat berjelaga.
Penampilannya tak berubah selama empat bulan kunjungannya, membuatku yakin itulah satu-satunya busana yang ia miliki.
Gadis itu segera memosisikan diri di satu-satunya kursi di kamar beratap rendah ini. Menyadari betapa terbiasanya ia, aku terpaksa memikirkan kemungkinan dialah orang yang paling sering kujumpai selama hidup di sisi Thames.
Dulu, seusai bercerita pertama kalinya, Gadis Hujan membalasku masam, “Aku tidak perlu kreativitas atau apapun sebutanmu itu, Sir, hanya untuk berebut roti gandum berjamur dengan para tikus got.”—yang kubalas dengan sekerat apel.
Biasanya dia hanya mematung menontonku bermesraan dengan instrumenku; namun kali ini entah mengapa dia bersuara, “Engkau selalu bilang musikmu—sekaligus dirimu—monoton, Sir. Memang begitulah adanya, tapi itulah satu-satunya kebahagiaanku saat ini dan aku tak keberatan hidup tanpa perubahan asalkan selalu diberkahi kebersamaan denganmu.”
Rintihan violetta-ku yang selalu berbalap dengan bising hujan di luar, sekonyong-konyong terhenti. Alisku mengernyit, bertanya-tanya tanpa bertanya.
Yang juga dibalas tanpa jawaban.
***

Sir, kapan engkau akan pulang ke negerimu?”
“Hanya jika dawai violetta-ku ini putus hingga aku butuh luthier untuk memperbaikinya. Atau....”
“Atau?”
Aku menimbang sejenak, “Atau aku kehabisan uang dan gagal menggubah musik yang lebih ingin didengar orang-orang.”
“Seperti sekarang ini?”
Hening lebih lama. Kutekan-tekankan busur ke ketiga dawai instrumen gesek itu, membuatnya sesekali mengeok. “Ya, seperti sekarang ini.”
Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekat. “Kuharap kau sudi bertahan hingga dua bulan ke depan,” lirihnya, tangannya diremas-remasnya gugup.
“Untuk apa?”
“Untuk ulang tahunku yang ke-15.”
Dunia bungkam tiba-tiba.
Tidak kusangka dia masih ingat identitasnya, terlepas jujur atau tidaknya. Pun tidak aku berpura-pura tampak tertarik—meski sempat terkejut mendengar angka usianya.
Mata biru suram yang masih saja menengadah penuh asa itu mengingatkanku akan air sungai Thames. Jenak ini, mata itu merefleksikan pendambaan yang jelas tertuju padaku.
Bisa saja dia hanya khawatir kehilangan tempat berteduh selagi hujan masih deras di musim ini. Atau mungkin—
Sir, aku selalu berpikir warna gelap rambut dan matamu itu,” dia meneguk ludah, mencari-cari kata yang sepadan, “menawan.”
Kali ini, aku tidak menolaknya—sulit.
Gadis Hujan menggamit lenganku dengan canggung, menggodaku dengan jemarinya yang gemetar hebat agar menyentuh pipinya. Sementara di kejauhan, sayup-sayup terdengar koor anak-anak yang tersingkir derai hujan:
London Bridge is falling down
Kumainkan helai-helai rambutnya, lantas menciuminya—beraroma lembab yang sedikit kecut, mirip hujan di kota London.
Falling down, falling down
Jatuh tangannya melingkari pinggangku.
London bridge is falling down
Kukecup bibirnya lembut.
My fair lady
Kurangkul dirinya.



“Siapakah namamu?”
Akhirnya pertanyaan yang mengusik selama bulan-bulan sunyi perjumpaan kami itu, kusampaikan kepadanya.
***

Selama dua hari setelahnya, London diterpa badai. Rintiknya tiada ampun, menghantam jendela kamarku yang reyot hingga Jembatan London hanya tampak bagaikan gundukan hitam tak berbentuk.
Namun, ia tak kembali.
Gadis Hujan tak berkunjung meski rintik telah menderas.
Ini tidak biasa.
Asing rasanya, hanya berpangku tangan menatap hujan selagi violetta-ku teronggok tak tersentuh. Gadis itu selalu membersamaiku tiap kali hujan mengguyur hingga aku terbiasa. Sunyinya kamar membuatku merasa tiap rintik yang jatuh itu sama bisingnya dengan lonceng Katedral Saint Paul di seberang sana.
Samar-samar terdengar jeritan, disusul teriakan yang lebih jelas: “Ada mayat!”
Aku tak tergerak. Mayat di bantaran Thames sudah terlampau wajar, terutama jika kau tinggal di sisi Southwark di mana mudah memergoki pelacur dan pencopet bercinta di lorong sempit pada suatu malam kemudian salah satunya menjadi pembunuh yang lainnya pada pagi berikutnya.
“Seorang gadis muda!”
Aku tersentak.
Selama ini aku menolak “firasat” atau apapun eksistensi yang seabstrak itu. Kendati demikian, kini aku justru terbelenggu dalam keabstrakan tersebut.
Bak orang sinting, kujeblak pintu—berlari tunggang-langgang—mengikuti kerumunan penonton yang bergerak menyusuri Thames ke arah Menara—dan menemukan mayatnya telah disingkirkan ke sisi jalan.
Sebuah suara menggelegar amarah.
“Dia pencurinya! Itu kantong emas bercap keluargaku!”
Seluruh penonton menoleh—seorang Duke kurus tua, congkak turun dari kereta kuda mewah berpelitur mengilap. “Berani-beraninya dia... saat aku hendak menjenguk Yang Mulia yang jatuh sakit!!”
Aah... Raja Edward VI jatuh sakit, aku baru ingat. Pantas saja belakangan London ricuh.
“Tikus hina itu mestinya didera hukuman cambuk hingga dia tersiksa perlahan-lahan! Ternyata malah tergelincir ke sungai! Kematian sungguh hukuman yang ringan baginya!” cercanya.
Pelayannya meraih kantong emas yang kuyup dan masih tergenggam erat di tangan si pencuri. Kupicingkan mata, menimbang-nimbang jumlah koin emasnya cukup untuk biaya kamarku selama dua bulan.
Suatu prasangka gila menyerangku.
“Oh....”
Bahwa koin itu dicurinya untukku.
Lantas hujan berubah badai.
Sang bangsawan diboyong ke keretanya yang hangat, mendapatkan kembali koin emasnya yang tak seberapa, sembari menghina-hina sosok gadis malang seusia sang Raja yang terbujur kaku di bantaran Thames.
Aku berbalik. Berjalan pelan menjauhi kerumunan di bawah rinai badai.
Menjauhi dirinya.
Musik samar berdenting-denting yang monoton bak rintik hujan, terngiang-ngiang di otakku.
“Menakjubkan, ternyata mendapatkan ide sebegini mudahnya,” geliku, sinis. Menyadari betapa lancarnya nada-nada tersusun rapi, semacam mendapat pencerahan.
Aku mendadak rindu violetta-ku.
“Judulnya...” langkahku terhenti di depan pintu, mengingat-ingat ketukan berirama yang dulu akrab dilatarbelakangi bunyi hujan, sekaligus menimbang-nimbang untuk menunda kepergianku dari London hingga dua bulan ke depan.
Pluviophobia.”
Semenjak hari itu, bak kutukan—hujan mendadak malas merintik saja di kota London.
***

Gie
26.03.2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar