Cek di sini

Selasa, 10 Oktober 2017

[Cerpen] Kucing Abu, Bocah Merah, dan Tali Rafia

Kucing Abu, Bocah Merah, dan Tali Rafia
(Duniamimpigie)


Kakek Abu adalah seekor kucing berwarna abu yang sudah sangat tua. Suatu ketika ia mendapati ekornya telah diikat oleh anak-anak manusia dengan tali rafia berwarna merah—yang di matanya tampak usang, lusuh, kumal, dan penuh keburukan.
Kakek Abu sangat benci tali rafia di ekornya itu. Sejak ia memiliki tali itu di ekornya, ia jadi sangat mencolok perhatian dan tampak konyol. Manusia dewasa memang awamnya hanya lirik dan abai, namun anak-anak kerap menunjuk-nunjuknya dengan heboh dan bising, yang lantas mengajak orang dewasa memperhatikannya dan turut menunjuk-nunjuknya pula.
Yang lebih membuatnya tak tahan, justru seringai mencemooh dari sesama kucing dan para anjing yang jadi musuh bebuyutannya.
Sudah sekian minggu ia mencoba melepas tuntas tali rafia di ekornya itu dengan beragam cara: digigit, dicakar, dibenturkan ke dinding, dikaitkan ke paku, dan sebagainya; namun semua itu hanya berakhir dengan kegagalan.
Alih-alih, ia malah merasa tali rafia merah yang kusut, kotor, dan jelek itu seolah semakin terikat erat di ekornya.
Kakek Abu benci. Benci sekali. Terhadap tali rafia merah buruk rupa sekaligus sekelompok anak kecil bandel yang mengikatkan tali itu di ujung ekornya tempo lalu.
Tak habis pikir, apa tujuan mereka melakukannya? Apakah mengikat tali di ekor kucing itu sesuatu yang menghibur buat manusia? Untuk lantas ditertawakan bersama-sama? Heran. Heran. Heran. Marah. Sedih.

Tuhan, tolong lepaskan tali rafia merah yang warnanya pudar dan buruk rupa ini dari ekorku, batin Kakek Abu.

***

Sabtu, 04 Maret 2017

[Cerpen] Pagi / Untaian Jemari

Pagi / Untaian Jemari
(Duniamimpigie)


Sekonyong-konyong ia berbalik. Matanya menemukanku.

“Kok bisa tahu?”tanyaku, polos, penasaran.

Ia mengedikkan dagu, mengarah ke balik punggungku, lalu menelusurkan jari telunjuknya yang panjang dan berbonggol kokoh dari langit hingga membentuk garis diagonal imajiner yang berakhir di aspal di sampingnya.

“Sinar mataharinya. Bikin bayanganmu kelihatan sampai ke depanku, meski kau berusaha sembunyi di belakang.”

Aku melenguh. Kecewa rencanaku mengagetkannya gagal hanya karena matahari.

“Gagal nih?” balasnya. Bukan pertanyaan, sekadar ejekan yang disertai seringai jahil penuh kemenangan. “Lain kali kalau mau iseng, tunggu sampai matahari juga mendukungmu.” Kali ini diiringi derai tawa singkat—yang kusuka.

Lalu sunyi mendadak saja kembali mengalun di jalan setapak itu, yang sisi-sisinya dijajari pohon rindang. Pagi itu sepi, namun hangatnya menyelimuti hingga ke hatiku.

Aku terlambat terkekeh geli. Lalu berlari kecil menyusul dirinya yang sengaja menungguku tak jauh di depan.

Begitu langkah kami sejajar, ia turunkan sebelah tangannya yang sedari tadi erat menggenggam tas selempangnya, untuk kemudian ditelusukkan ke sela-sela jemariku yang senggang. Seolah, memang di situlah tempatnya. Seolah, kesepuluh jemari yang saling bertaut itu merupakan kepingan-kepingan puzzle; yang kini membentuk utuh, sempurna.

Lantas kami kembali menyusuri jalan itu; dengan tangan bertaut.


21-02-2017

Jumat, 13 Januari 2017