Cerpen yang saya buat atas permintaan Gisha, September 2020. Drama, school-life, romance.
Tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak
Della, bahwa ia akan berjumpa kembali dengan pria yang menjadi cinta pertamanya
dulu:
Hadrian Lyn.
Tak pernah pula wanita itu lupa akan hari-hari
kala ia mengejar sosok pria itu dari sudut matanya: di lorong kelas, di depan
mading, di kantin, di perpustakaan, di klinik sekolah, maupun momen-momen
berpapasan di ruang guru ketika hendak menyerahkan tugas.
Ia kira masa-masa mengejar cowok itu telah
lama lewat dan Hadrian akan selalu menjadi sejarah di kehidupannya, yang
perlahan-lahan akan menjadi samar hingga pupus ditelan arus waktu.
Sembilan tahun.
Segitu lamanya Hadrian bersemayam di dalam
hatinya, tersembunyi dari siapa-siapa, bagaikan kotak kenangan rahasia di masa
kanak-kanak: disimpan di tempat terbaik yang tak terjangkau orang lain, ditutup
rapat-rapat, namun tak pernah dikunci selama-lamanya… yang sesekali diintip
sedikit demi melegakan hati bahwa ia—kenangan itu—masih ada di sana.
Kendati demikian, sosok yang berdiri tepat di
depan matanya, bukan lagi sekadar masa lalu. Ia nyata. Ia masa kini.
Ia Hadrian Lyn.
“… Della? Della kan? Chelsea Della Franziska?”
Ah, suaranya pun masih sama persis dengan yang
diingat Della di zaman SMA dahulu: antara tenor dan bariton, nyaring, dan
renyah; yang selalu membuat Della terheran-heran dengan dirinya sendiri sebab
semua penyanyi pria yang digemarinya selama ini selalu memiliki suara rendah
bass. Namun, suara cowok yang disukainya selama sembilan tahun ini malah berkebalikan.
Suara yang dulu senantiasa membuat dadanya
berdegup kencang tiap kali mendengarnya.
Entah karena Della tidak langsung menjawab
atau karena melihat tampang kebingungan wanita itu, sang pria mengulangi
kembali pertanyaannya, “Masih ingat aku? Yang dulu sekolah di SMA Seiby Dreiza?”
Bak ditampar untuk kembali ke kenyataan, Della
yang disapa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata, kikuk, “A-aah… Iya, ini
aku, Della. Dan… iya, a-a-aku masih ingat kamu, Hadrian.”
Mana mungkin aku lupa, batin Della, namun kata-kata
itu akhirnya tersangkut saja di tenggorokannya yang mendadak terasa tercekat.
Hadrian mengangguk, “Kamu pemilik butik batik
tulis ini?” tanyanya lagi. Matanya mengitari sekeliling butik, memandangi tiap
kain yang dilipat rapi di etalase maupun yang digantung di dinding-dinding.
Della, yang masih seolah berada di
awang-awang, hanya bisa mengangguk canggung.
“Waktu SMA enggak pernah kusangka kamu punya
minat di bidang fesyen, Del, tahu-tahu sekarang sudah sehebat ini,” imbuhnya,
penuh pujian yang tulus yang—sama tak disangkanya—masih memberikan efek debaran
keras di hati Della.
Hadrian bukan cowok yang sering memuji,
seingat Della. Ia bahkan bukan tipe cowok yang banyak bicara, hanya membuka
mulut seperlunya. Tipe-tipe yang sering kali dianggap dingin, cuek, bergaul
sekenanya saja.
Meski pada kenyataannya, Della tahu, cowok itu
baik hati dan lembut di saat diperlukan.
“Aaah… Iya, karena di SMA dulu kerjaanku hanya
belajar dan baca buku,” balas Della, merendahkan diri.
“Ya, makanya kau selalu juara,” ujar Hadrian
lagi, kali ini diiringi senyum tipis.
Della serta-merta panik, khawatir wajahnya
akan mendadak berubah semerah kepiting rebus di hadapan Hadrian yang baru
ditemuinya lagi setelah jeda sembilan tahun.
Tidak boleh, tidak boleh, Della menguatkan
diri. Ia tidak boleh bersikap memalukan. Hadrian hadir saat ini sebagai calon
pelanggan barunya. Ini bisnis. Ini hubungan profesional.
Maka, Della menarik napas dalam-dalam, menata
perasaannya kembali, lalu akhirnya berkata, “Hari ini mau beli kain apa? Untuk
keperluan apa?” selayaknya yang ia selalu lakukan kepada pelanggan-pelanggannya
yang datang ke butik Candra Batik Tulis miliknya ini.
“Aaah… aku perlu batik untuk seragam acara
keluarga,” jelas pria berpenampilan kasual dengan kemeja lengan pendek dan
celana jins di hadapannya itu.
Jantung Della kontan serasa terhenti. Apakah
untuk acara lamaran? Pertunangan? Atau lebih parahnya lagi…
“Untuk acara pernikahanmu?” tanya Della. Ia
sendiri kaget bukan kepalang, tak sadar isi pikirannya justru terlontar dari
mulutnya.
Hadrian menggeleng, “Bukan, bukan. Untuk sekadar
acara makan siang keluarga besar saja, kok,” ujarnya dengan nada sedikit
malu-malu. Barangkali tak menyangka akan ditanya soal pernikahan oleh teman
semasa SMA yang baru ditemuinya lagi.
Diam-diam Della menghela napas lega.
Tanpa memberi jeda bagi hati sang wanita untuk
beristirahat, Hadrian melanjutkan, “Lagipula, aku punya calon pengantin saja belum.”
“O-oooh… Ha ha…”
Della hanya bisa meremas-remas tangannya
dengan gugup. Tak bosan-bosannya ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia
sedang bekerja. Ia sedang menghadapi pelanggan. Hadrian hanya pelanggan. Ia
harusnya melayaninya sebagai pemilik butik.
Bukannya malah meliriknya berkali-kali dari
sudut mata, atau membicarakan hal-hal pribadi semisal pernikahan. Lagipula, apa
kaitannya Della—yang notabene hanya teman sekelasnya di masa SMA—dengan cowok
itu akan bertunangan atau lamaran atau bahkan menikah?
Tidak ada, tegas Della pada dirinya sendiri.
Antara dirinya dan Hadrian tidak ada apa-apa.
Baik dulu, maupun sekarang. Tidak pernah, tidak ada, dan… tidak akan pernah ada.