Cek di sini

Selasa, 18 Oktober 2011

Kolak Pisang Hanifa



“Pokoknya ini punya Hani buat buka puasa!” tandas Hanifa pada sang adik, Ihsan. Di hadapan mereka tampak kolak pisang buatan Bunda, hanya tinggal semangkuk di pagi itu. Kolak pisang buatan Bunda teramat sedap hingga kedua bersaudara itu tidak ada yang rela membagi jatah masing-masing.
“Tapi Ihsan juga mau, Kak Hani!” balas sang adik, tak mau kalah. Wajahnya masam, bibirnya menekuk ke bawah karena ia tidak mendapat bagian lagi.
Hanifa menghiraukannya, dengan langkah-langkah menghentak, ia menyambar mangkuk itu dan membawanya. “Kau sudah makan jatah Hani waktu sahur tadi!”
“Kak Hani pelit!!!” jerit Ihsan, ia tampak kecewa. Sedangkan Hanifa, sekilas mendengus lalu melengang menuju kamar untuk menyembunyikan kolak pisangnya.
Tak boleh ada orang lain yang memakan kolaknya, pikir Hanifa saat itu.
***

Hanifa adalah anak perempuan yang duduk di kelas tiga SD sementara Ihsan, adik laki-lakinya, lebih muda dua tahun darinya. Mereka sering memperebutkan milik saudaranya sendiri, saling iri jika ada barang yang hanya dimiliki saudaranya.
Sore hari di bulan Ramadhan saat biasanya anak-anak bermain di luar, Hanifa malah tengah mengomel-ngomeli sang adik di rumah. Anak perempuan itu bertolak pinggang, dengan wajah memerah karena kesal ia menuding sang adik telah mencuri kolak yang disembunyikannya tadi pagi.
Ya, kolak pisangnya lenyap.
“Padahal sudah Hani sembunyikan! Kamu yang makan, kan? Ngaku deh!” tandasnya.
Ihsan menggeleng kuat, “Bukan Ihsan, Kak! Bahkan Ihsan enggak tau Kak Hani taruh dimana!” raut wajahnya serius.
Namun Hanifa tetap tidak terima. Siapa lagi orang di rumah ini yang memiliki kemungkinan untuk menemukannya selain sang adik? Tidak ada, pikirnya. Apalagi Ihsan sering puasa setengah hari.
“Mama sama Papa kan puasa, enggak mungkin makan kolak pisang Hani!”
“Tapi Ihsan juga puasa!” bela Ihsan.
“Bohong! Paling-paling kamu puasa setengah hari, kan?” tudingnya lagi, berburuk sangka.
“Ihsan enggak puasa setengah hari!” ujarnya sambil menggelengkan kepala, tanda serius.
Ketika Hanifa hendak mendesak adiknya lagi, sebuah suara memotong, “Hayo, ada apa ini anak-anak Bunda kok berantem?” Sosoknya yang berjilbab biru langit melangkah masuk dari arah dapur.
“Ihsan tuh Bunda, dia makan kolak pisang Hani!” adu Hanifa yang kontan membuat sang Bunda kini menoleh pada Ihsan. Ia masih jengkel pada sang adik rupanya.
“Bukannya kamu puasa, Ihsan?” tanya Bunda, lembut seraya menepuk puncak kepala anak laki-laki itu penuh kasih sayang.
Ihsan langsung mengangguk. “Ihsan puasa, Bunda.”
Bunda tampak tersenyum, “Alhamdulillah, Bunda bangga!” pujinya seraya mencubit pipi Ihsan, gemas.
Ihsan segera membusungkan dada seolah baru saja mencetak gol di pertandingan sepakbola. “Ihsan enggak bohong, Kak!” pamernya lagi yang kontan membuat Hanifa cemberut.
Bunda yang segera memahami situasinya lantas menggandeng kedua anak itu menuju ruang depan. Seraya duduk santai bersama di sofa, Bunda memastikan, “Hanifa, bukannya kamu menyimpannya sendiri?”
Masih dengan wajah cemberutnya, Hanifa mengangguk. “Hani taruh di kamar, di meja.”
Bunda sontak terbelalak, “Astagfirullah, kamu sampai menyembunyikannya, Sayang? Supaya enggak diambil Ihsan?” Bunda tampak memandang Hanifa lekat-lekat, “Bunda selalu mengajari kalian untuk saling memberi, enggak boleh saling iri. Paham itu, Hanifa? Ihsan?”
Hanifa mengangguk lemah, mendadak merasa jika tindakannya tersebut salah di bawah tatapan sang Bunda. Ihsan pun sama, ia merasa bersalah karena telah memakan jatah kolak pisang kakaknya saat sahur.
“Allah enggak suka sama orang kikir, juga yang selalu iri hati pada saudaranya. Kalian berdua, anak-anak kesayangan Bunda, enggak mau dibenci Allah, kan?” tegur sang Bunda. Tangan hangatnya perlahan merangkul Hanifa dan Ihsan sekaligus.
Di dalam pelukan sang Bunda, Hanifa bertanya dengan nada cemas, “Kalau begitu, Bunda, Allah benci Hani? Soalnya Hani pelit sama Ihsan dan suka iri.”
Ihsan menyusul, “Ihsan juga sering pelit sama Kak Hani, Bunda,” akunya.
“Nah, Hanifa sama Ihsan mau janji enggak akan saling iri dan pelit lagi sama siapapun?” Bunda melepas rangkulannya sambil menatap kedua anak tersayangnya itu. Hanifa dan Ihsan segera mengangguk mantap, mata mereka basah karena air mata.
“Anak Bunda emang pintar!” puji Bunda sambil menghapus air mata Hanifa dan Ihsan dengan tisu.
Tak lama kemudian terdengar suara berat Ayah dari luar. “Assalammualaikum!”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” serempak Hanifa, Ihsan dan Bunda menjawab salam. Ihsan langsung berlari menyongsong Ayah. Tampak anak laki-laki itu menggelayut manja di gendongan sang Ayah.
“Ada apa ini? Kok pada muram?” heran Ayah yang baru pulang dari masjid, membantu persiapan buka bersama. “Padahal sebentar lagi buka puasa,” tambahnya dengan nada menggoda.
“Kapan? Kapan maghrib, Ayah?” celetuk Ihsan sambil memegangi perutnya yang mendadak keroncongan. Sudah tak tahan ingin diisi rupanya.
Ayah tersenyum bangga, “Ihsan puasa sampai maghrib hari ini?”
Anak laki-laki itu menangguk bangga, sekali lagi ia busungkan dada.
“Terus, kenapa Hanifa dan Ihsan kayak habis nangis?” ulang Ayah tak mengerti.
Disertai senyum menenangkan, Bunda tampak menjelaskan, “Ayah tau kolak pisang Hanifa sisakan sahur tadi?”
Tampak Ayah mengerutkan dahi sebelum akhirnya menjawab, “Kolak pisang yang di kamar Hanifa?”
Hanifa dan Ihsan sekali lagi mengangguk serempak. “Iya! Ada yang mencurinya, Ayah!”
“Pencuri?” Sekali lagi Ayah tampak mengerutkan dahi. “Ah, kalau itu baru saja Ayah beri ke Pak Hari, pengurus masjid!” lanjut Ayah enteng.
Hanifa kontan terbelalak, tak menyangka bahwa ayahlah sang pencuri.
“Sebenarnya kolak pisang itu untuk anak perempuannya Pak Hari yang namanya Siti. Katanya ia ingin sekali kolak pisang,” lanjut sang Ayah.
“Memang kenapa Bunda-nya enggak masakin kolak buat dia?” mendadak Ihsan bertanya, bingung karena selama ini ia hanya pernah memakan kolak buatan sang Bunda.
Ayah lantas melempar pandang dengan Bunda sesaat. “Karena dia sudah tidak punya Bunda, Ihsan,” jawabnya lembut.
Mendengar hal tersebut, Hanifa kontan terkejut lalu mulai memilin-milin bagian depan jilbabnya―yang selalu ia lakukan jika gugup atau malu. Ia makin merasa bersalah dengan sifatnya yang pelit.
“Hitung-hitung beramal kan, Nak?” bujuk Ayah yang kini berjongkok di hadapan Hanifa.
Hanifa mengangguk setuju lantas ia menghadap Bunda, “Bunda, besok bikin kolak pisang lagi, ya?” pintanya.
Bunda tersenyum lembut, “Tentu, Sayang. Kali ini Bunda masak yang banyak buat kalian berdua.”
“Asiiiiiik!!!” Ihsan bersorak riang sesaat yang segera berhenti ketika kakak perempuannya angkat bicara.
“Buat yang banyak, Bunda, untuk dimakan bareng Siti.”
Ucapan Hanifa mengundang senyum dari Ayah dan Bunda.
“Ini baru anak Bunda dan Ayah!” puji mereka sambil memeluk Hanifa dan Ihsan. Beberapa saat kemudian azan maghrib pun berkumandang.
Saatnya berbuka!

1 komentar: