Cek di sini

Rabu, 13 Januari 2016

[Fantranslation] Joan Aiken: “A Necklace of Raindrops”

Seuntai Kalung Rintik-Hujan
Penerjemah: Anggi Virgianti


Seorang pria bernama Pak Jones hidup di dekat laut dengan sang istri. Pada suatu malam berbadai Pak Jones sedang di kebunnya saat ia melihat pohon holly di samping gerbang mulai bergoyang dan berempasan.

Sewujud suara melolong, “Tolong aku! Aku tersangkut di pohon ini! Tolong aku, kalau tidak badai akan menerpa sepanjang malam.”

Terkejut bukan kepalang, Pak Jones berjalan menghampiri pohon tersebut. Di tengah-tengahnya tampak sesosok kakek tinggi dengan jubah kelabu panjang dan janggut yang juga kelabu panjang serta mata tecemerlang yang pernah kaulihat.

“Siapa engkau?” Pak Jones berujar. “Apa yang kaulakukan di pohon holly-ku?”



“Aku tersangkut di sini, kamu tidak lihat? Bantu keluarkan aku, atau badai akan menerpa sepanjang malam. Akulah Sang Angin Utara, sudah tugasku meniup badai pergi.”

Lantas Pak Jones menolong Sang Angin Utara lepas dari pohon holly-nya. Tangan Sang Angin Utara begitu membekukan bak es.

“Terima kasih,” ujar Angin Utara. “Jubahku memang koyak, namun sudahlah. Kau telah menolongku, jadi kini aku yang akan melakukan sesuatu untukmu.”

“Aku tak perlu apa pun,” balas Pak Jones. “Aku dan istriku dikaruniai seorang bayi perempuan yang baru saja lahir, dan kami sangat berbahagia laiknya dua kekasih di dunia ini.”

“Jikalau memang demikian,” lanjut Angin Utara, “aku akan menjadi wali bagi bayimu. Kado kelahiran dariku untuknya ialah kalung rintik-hujan ini.”

Dari balik jubah kelabunya, ia mengeluarkan seuntai rantai perak yang begitu memesona. Di rantainya terdapat tiga rintik air yang bersinar menyilaukan.

“Kau mesti mengalungkannya di leher bayimu,” jelasnya. “Rintik-rintik hujan ini takkan membasahinya, takkan pula mereka terlepas. Tiap tahun, pada hari ulang tahunnya, aku akan menambah rintiknya. Ketika ia memiliki empat rintik, ia takkan basah meski di tengah hujan terderas sekalipun. Lalu ketika ia memiliki lima rintik, takkan ada petir maupun halilintar yang mampu melukainya. Lalu ketika ia memiliki enam rintik, ia takkan terbawa angin walau oleh topan terkuat sekalipun. Lalu ketika ia memiliki tujuh rintik, ia mampu berenang di sungai terdalam. Lalu ketika ia memiliki delapan rintik, ia mampu berenang di samudera terluas. Lalu ketika ia memiliki sembilan rintik, ia mampu menghentikan hujan hanya dengan menepukkan tangan. Lalu ketika ia memiliki sepuluh rintik, ia mampu mendatangkan hujan hanya dengan membersit hidung.”

“Berhenti, berhenti!” jerit Pak Jones. “Itu terlalu berlebihan bagi seorang gadis kecil!”

“Aku memang sudah mau berhenti,” balas Sang Angin Utara. “Namun camkan, jangan sampai ia lepaskan rantainya atau nasib buruk akan melanda. Aku harus lekas pergi sekarang, supaya badainya menjauh. Aku akan datang lagi di ulang tahun berikutnya sambil membawa rintik keempat.”

Ia lantas terbang ke angkasa tinggi, mendorong awan-awan di hadapannya agar bulan dan gemintang bisa bersinar cerah.

Pak Jones kembali ke rumahnya lalu mengalungkan rantai dengan tiga rintik hujan tadi ke leher bayinya, yang dinamainya Laura.

Setahun berlalu begitu cepat, dan ketika Angin Utara menyambangi kediaman kecil di dekat laut itu lagi, Laura sudah bisa merangkak dan memainkan ketiga rintik hujannya yang bercahaya dan gemerlapan. Kendati ia tak pernah melepas rantai kalungnya.

Setelah Sang Angin Utara memberi Laura rintik hujan keempatnya, ia takkan basah meski berada di tengah hujan terderas sekalipun. Ibunya kerap menimangnya di kereta bayi di kebunnya, dan orang-orang yang lewat di jalan akan berkata, “Lihat bayi kecil itu, dibiarkan di tengah hujan begini. Dia pasti akan demam!”

Namun demikian Laura kecil tetap kering, bahkan tampak gembira, bermain dengan rintik-rintik hujan dan melambai pada ayah walinya, Sang Angin Utara, ketika ia terbang melewatinya.

Tahun berikutnya Angin Utara membawakannya rintik hujan kelima. Lalu tahun berikutnya lagi, yang keenam. Lalu tahun berikutnya lagi, yang ketujuh. Kini Laura takkan celaka di tengah badai terganas sekalipun, dan bila ia terjatuh di kolam atau sungai ia akan mengambang bagaikan selembar bulu. Lantas ketika ia mendapatkan rintik hujan kedelapan, ia mampu berenang mengarungi samudera terluas—namun ia merasa bahagia di rumah hingga tak pernah mencobanya.

Kemudian ketika ia mendapatkan rintik hujan kesembilan, Laura tahu dia mampu menghentikan hujan, hanya dengan menepukkan kedua belah tangannya. Hingga membuat banyak, banyak sekali hari cerah di tepi laut. Tetapi Laura tidak melulu menepukkan tangan sewaktu hujan, lantaran ia sungguh menyukai tetes-tetes perak yang meluncur turun dari langit.

Kini sudah saatnya Laura bersekolah. Kau bisa membayangkan betapa ia disayang kawan-kawannya! Mereka akan memanggil-manggilnya, “Laura, Laura, tolong buat hujannya berhenti, supaya kita bisa main di luar.”

Lalu Laura selalu membuat hujannya berhenti untuk mereka.

Namun ada seorang gadis kecil bernama Meg yang berkata pada dirinya sendiri, “Ini tidak adil. Mengapa Laura bisa memiliki kalung cantik itu dan mampu menghentikan hujan? Sedang aku tidak memilikinya?”

Maka Meg mendatangi guru dan mengadu, “ Laura mengenakan kalung.”

Maka sang guru berkata pada Laura, “Kamu harus melepas kalungmu di sekolah, Sayang. Itu sudah peraturannya.”

“Tapi itu akan membawa bencana buruk jika aku melepasnya,” sahut Laura.

“Tentu saja itu takkan membawa bencana buruk. Aku akan menyimpannya di kotak untukmu dan menjaganya tetap aman sampai sekolah usai.”

Dengan demikian sang guru menyimpan kalungnya di sebuah kotak.

Namun Meg melihat di mana gurunya menyimpannya. Dan ketika murid-murid lain tengah bermain di luar, sementara sang guru sedang menyantap makanannya, Meg lekas-lekas mencuri kalung tersebut dan menyimpannya di dalam sakunya.

Begitu guru mengetahui bahwa kalungnya telah hilang, dia merasa sangat amat marah sekaligus sedih.

“Siapa yang telah mengambil kalung milik Laura?” ia bertanya.

Namun tak seorang anak pun menjawab.

Meg memasukkan tangannya dalam-dalam ke saku untuk memegangi kalungnya.

Laura yang malang hanya bisa menangis sepanjang perjalanannya pulang ke rumah. Air matanya menetes menuruni kedua pipinya laiknya hujan ketika ia berjalan melintasi sisi laut.

“Oh,” isaknya, “apa yang akan terjadi bila aku memberitahu ayah waliku bahwa aku telah menghilangkan hadiahnya?”

Seekor ikan menengadahkan kepalanya dari bawah air lantas berkata, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah mengembalikanku ke laut ketika ombak menerpaku ke daratan berpasir. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Lalu seekor burung terbang rendah dan menyapanya, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah menolongku ketika badai menerpaku ke atap rumahmu hingga sayapku terluka. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Lalu seekor tikus melongokkan kepalanya dari sebuah lubang dan berujar, “Jangan menangis, Laura Sayang. Kaulah yang telah menyelamatkanku ketika aku tercebur ke sungai. Aku akan membantumu mencari kalungmu itu.”

Laura pun mengusap air matanya. “Bagaimana kalian akan menolongku?” tanyanya.

“Aku akan mencarinya di bawah laut,” jawab si ikan. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku.”

“Aku akan terbang tinggi dan mengamati tiap ladang dan hutan dan jalan,” jawab si burung. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku.”

“Aku akan mengitari bagian dalam rumah,” jawab si tikus. “Aku juga akan meminta bantuan dari saudara-saudaraku untuk mengecek tiap sudut dan lemari di setiap rumah di dunia.”

Kemudian mereka pun mulai bekerja.

Sementara Laura tengah bercakap-cakap dengan ketiga kawannya, apa yang sedang Meg lakukan?

Ia mengenakan kalung tersebut dan berjalan di tengah badai hebat. Namun hujannya tetap saja membuatnya basah! Lalu ketika ia menepukkan kedua tangannya untuk menghentikan hujan, hujan tidak mengacuhkannya. Ia bahkan turun makin lebat.

Kalung itu hanya bekerja untuk pemiliknya yang sejati.

Maka Meg naik pitam. Namun ia masih tetap mengenakan kalung itu hingga ayahnya memergokinya mengenakannya.

“Dari mana kau mendapatkan kalung itu?” tanya sang ayah.

“Aku menemukannya di tengah jalan,” jawab Meg. Yang tentu saja bohong!

“Kalung itu terlalu mewah untuk anak-anak,” kata ayahnya. Kemudian ia pun mengambilnya dari anaknya. Meg dan ayahnya tidak menyadari bahwa ada seekor tikus kecil mengamati mereka dari sebuah lubang di dinding.

Tikus itu berlari kencang untuk menyampaikan pada kawan-kawannya bahwa kalung tersebut ada di rumah Meg. Kemudian sekitar sepuluh ekor tikus kembali bersamanya untuk membawa kalung itu pergi. Namun ketika mereka tiba di sana, kalungnya sudah tak ada. Ayah Meg telah menjualnya, demi memperoleh uang dalam jumlah besar, kepada seorang pengrajin perak. Dua hari kemudian, seekor tikus kecil melihatnya di sebuah toko pengrajin perak, lalu berlari untuk menyampaikan pada kawan-kawannya. Namun belum sempat para tikus itu merebutnya kembali, sang pengrajin telah menjualnya kepada seorang pedagang yang tengah berburu barang mewah dan langka sebagai hadiah ulang tahun Putri Arab.

Lalu seekor burung melihat kalung itu dan terbang untuk memberitahu Laura.

“Kalungmu ada di sebuah kapal, yang tengah berlayar mengarungi lautan menuju Arab.”

“Kami akan mengikuti kapal itu,” kali ini para ikan berkata. “Kami akan memberitahumu ke arah mana kapal itu berlayar. Ikuti kami!”

Namun Laura hanya berdiri mematung saja di pinggir laut.

“Bagaimana aku bisa berenang sejauh itu tanpa kalungku?” ujarnya putus asa.

“Aku akan menggendongmu di punggungku,” sahut seekor lumba-lumba. “Kamu sering melemparkan makanan enak untukku ketika aku lapar.”

Jadilah sang lumba-lumba membawa gadis kecil itu di punggungnya, sementara para ikan berenang di depan, dan para burung terbang di atas, dan setelah beberapa lama waktu berlalu mereka pun tiba di Arab.

“Sekarang di mana kalungnya?” tanya para ikan kepada para burung.

“Raja Arab yang memilikinya. Ia akan memberikannya pada Sang Putri sebagai hadiah ulang tahunnya esok.”

“Esok juga hari ulang tahunku,” sahut Laura. “Oh, apa yang akan ayah waliku katakan jika dia datang untuk memberikanku rintik kesepuluh dan mengetahui aku tidak memiliki kalung itu lagi?”

Para burung menuntun Laura masuk ke taman Sang Raja. Gadis kecil itu pun terlelap sepanjang malam di bawah sebuah pohon palem. Rerumputan di sana kering kerontang, bunga-bunganya pun berwarna kecokelatan, sebab udara di sana sangat panas tanpa hujan sepanjang tahun.

Pagi berikutnya Sang Putri mengunjungi taman untuk membuka kado-kadonya. Ia mendapatkan berbagai barang cantik: setangkai bunga yang bisa bernyanyi, serta sesangkar penuh burung yang berbulu hijau dan perak; sebuah buku yang bisa ia baca selama-lamanya sebab tak ada halaman terakhir di dalam buku itu, dan seekor kucing yang bisa bermain ayunan; gaun perak dari sarang laba-laba dan gaun emas dari sisik ikan mas; sebentuk jam dengan burung kukuk hidup yang memberitahukan waktu, juga seonggok kapal yang terbuat dari kerang merah muda raksasa. Dan di antara semuanya, ada satu hadiah yang merupakan kalung Laura.

Ketika Laura melihat kalungnya, ia berlari dari bawah pohon palem dan terisak, “Oh, kumohon, kalung itu milikku!”

Sang Raja Arab serta-merta naik darah. “Siapa gadis kecil ini?” teriaknya. “Siapa yang mengizinkannya memasuki tamanku? Bawa dia keluar dan ceburkan dia ke laut!”

Namun Sang Putri, yang mungil dan berparas jelita, berkata, “Tunggu sebentar, Papa,” lalu kepada Laura ia berkata, “Bagaimana kau bisa tahu ini kalungmu?”

“Karena ayah waliku yang memberikannya kepadaku! Jika aku mengenakannya, aku takkan basah meski di tengah hujan, takkan ada badai yang mampu melukaiku, aku bisa berenang di sungai dan samudera mana saja, dan aku bahkan mampu menghentikan hujan.”

“Tetapi apakah kau bisa menurunkan hujan?” tanya Raja.

“Belum bisa,” aku Laura. “Belum, sampai ayah waliku itu memberikanku rintik yang kesepuluh.”

“Apabila kau mampu menurunkan hujan, akan kukembalikan kalung ini kepadamu,” tambah Sang Raja. “Sebab kami sangat memerlukan hujan untuk negeri kami.”

Laura menjadi sangat sedih karena ia belum bisa menurunkan hujan sebelum mendapatkan rintik kesepuluhnya.

Sesaat kemudian Angin Utara terbang memasuki taman Sang Raja.

“Ternyata kau ada di sini, Putriku!” katanya. “Aku sudah mencari-carimu ke segala tempat di dunia demi memberikanmu kado ulang tahunmu. Di mana kalungmu?”

“Putri itu mengambilnya,” jawab Laura yang bersedih.

Sekonyong-konyong Sang Angin Utara marah. “Kamu seharusnya tidak melepaskannya!” bentaknya. Ia menjatuhkan rintik hujannya ke rerumputan yang kering kerontang dan langsung menghilang. Ia pun lantas terbang pergi. Laura mulai sesenggukan.

“Jangan menangis,” hibur putri kecil yang baik hati. “Kau boleh mendapatkan kalungmu kembali sebab aku sudah tahu bahwa ini memang milikmu.” Ia lantas mengalungkan rantainya melewati kepala Laura. Segera setelah itu, setetes air mata Laura jatuh dan tersangkut di kalung itu bersebelahan dengan kesembilan rintik hujan, membuatnya menjadi sepuluh rintik. Laura kembali tersenyum, ia menghapus air matanya dan membersit hidungnya. Dan, tebak apa! Segera setelah ia membersit hidung, hujan serta-merta turun! Hujan turun dan terus turun, membuat tiap pepohonan menguncupkan dedaunan, serta tiap bunga memekarkan kelopaknya, mereka sangat bahagia bisa mendapatkan minum.

Akhirnya Laura menepukkan tangannya untuk menghentikan hujan.

Raja Arab itu menjadi sangat senang. “Itu kalung terbaik yang pernah kulihat,” lanjutnya. “Sudikah kau datang dan menginap bersama kami setiap tahunnya, sehingga kami bisa mendapatkan cukup hujan?” Laura segera menyetujui permohonannya tersebut.

Mereka mengantarkan Laura pulang menggunakan perahu Sang Putri, yang terbuat dari kerang merah muda raksasa. Para burung terbang di atas, semenara para ikan berenang di depan.

“Aku senang bisa mendapatkan kembali kalungku,” ucap Laura. “Tetapi aku lebih senang karena bisa mendapatkan banyak teman baru.”


Apa yang terjadi pada Meg? Seekor tikus mengadu pada Angin Utara bahwa dialah yang mencuri kalung Laura. Angin Utara pun datang dan meniup keras-keras atap rumahnya hingga lepas dan menurunkan hujan, jadi sekarang ia sangat kebasahan!

Tamat.



Catatan Gie: Sebenernya ini bukan cerita terfavorit saya di dalam kumpulan cerpen Bu Aiken ini, tapi karena cerita ini yang dijadikan judul kumcernya, saya putuskan untuk diterjemahkan pertama kali. Begitulah. Selanjutnya saya akan menerjemahkan yang saya suka (yang tentu aja lebih menarik dan seru) lebih dulu~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar