Kucing Abu, Bocah Merah, dan Tali
Rafia
(Duniamimpigie)
Kakek Abu adalah seekor kucing berwarna abu yang sudah
sangat tua. Suatu ketika ia mendapati ekornya telah diikat oleh anak-anak
manusia dengan tali rafia berwarna merah—yang di matanya tampak usang, lusuh,
kumal, dan penuh keburukan.
Kakek Abu sangat benci tali rafia di ekornya itu. Sejak
ia memiliki tali itu di ekornya, ia jadi sangat mencolok perhatian dan tampak
konyol. Manusia dewasa memang awamnya hanya lirik dan abai, namun anak-anak
kerap menunjuk-nunjuknya dengan heboh dan bising, yang lantas mengajak orang
dewasa memperhatikannya dan turut menunjuk-nunjuknya pula.
Yang lebih membuatnya tak tahan, justru seringai
mencemooh dari sesama kucing dan para anjing yang
jadi musuh bebuyutannya.
Sudah sekian minggu ia mencoba melepas tuntas tali
rafia di ekornya itu dengan beragam cara: digigit, dicakar, dibenturkan ke
dinding, dikaitkan ke paku, dan sebagainya; namun semua itu hanya berakhir
dengan kegagalan.
Alih-alih, ia malah merasa tali rafia merah yang kusut,
kotor, dan jelek itu seolah semakin terikat erat di ekornya.
Kakek Abu benci. Benci sekali. Terhadap tali rafia
merah buruk rupa sekaligus sekelompok anak kecil bandel yang mengikatkan tali
itu di ujung ekornya tempo lalu.
Tak habis pikir, apa tujuan mereka melakukannya? Apakah
mengikat tali di ekor kucing itu sesuatu yang menghibur buat manusia? Untuk
lantas ditertawakan bersama-sama? Heran. Heran. Heran. Marah. Sedih.
Tuhan, tolong lepaskan tali rafia
merah yang warnanya pudar dan buruk rupa ini dari ekorku, batin Kakek Abu.
***
Bocah Merah gemar warna merah. Merah warna favoritnya.
Merah membuatnya riang dan hatinya diliputi kebahagiaan yang teramat sangat.
Oleh karena itu, bola matanya segera awas begitu
sekejap menangkap warna merah dari tali rafia di ekor Kakek Abu. Seolah ada
radar di otaknya yang memerintah matanya untuk tak lepas pandang dari tali
rafia tersebut.
Sekonyong-konyong Bocah Merah berseru kepada Kakek Abu,
rona matanya riang dan polos, “Wah, cantik sekali pita merah di ekormu itu, Pus!
Aku juga mau punya pita cantik begitu!”
Kakek Abu terkejut bukan kepalang mendengarnya.
Sejak kapan tali rafia kumal, lusuh, usang, dan kotor itu berubah menjadi pita
merah cantik?
Kakek Abu menoleh untuk memeriksa ekor (dan tali
rafianya).
Tidak, tidak. Tali rafia itu tetap tali rafia, bukan
pita—apalagi pita cantik. Memang merah, tapi warnanya tidak sedap dipandang dan
pudar.
Bingung, Kakek Abu berbalik memandang Bocah Merah, yang
masih memandangnya dengan kedua bola matanya yang berkilau cerah bak mentari
pagi.
Kakek Abu lantas menggoyangkan ekornya sedikit di
hadapan wajah Bocah Merah, berharap gesturnya itu dipahami si Bocah.
“Oh, kau mau memberikan pita merah cantik itu untukku?”
Kakek Abu mengeong, yang di mata anak itu berubah
menjadi anggukan dan kata-kata tak kasatmata: Kalau kau mau dan senang dengan tali (atau pita) ini, silakan ambil.
Dengan penuh kehati-hatian, jari-jemari mungil Bocah
Merah melepas ikatan tali rafia itu dengan lemah-lembut—yang anehnya mendadak
mudah saja dilepas, seakan tali itu menyerah dan takluk di bawah jemari mungil
Bocah.
“Cantik sekali! Kau baik hati sekali mau memberikan
pita secantik ini kepadaku.”
Bocah Merah lantas pergi usai berterima kasih kepada
Kakek Abu sang Kucing.
Di mata Bocah yang kekanakan dan tulus itu, tali rafia
tersebut berubah menjadi seutas pita merah cantik—berkat kebaikan, ketulusan,
serta imajinasi di dalam hatinya yang sayangnya tak dimiliki oleh makhluk-makhluk
lain yang selama ini berpapasan dengan Kakek Abu dalam perjalanannya.
Sementara itu, Kakek Abu melangkah bahagia, tapak-tapak
kakinya terasa begitu ringan—mungkin karena tertular dari Bocah Merah. Ya, kebahagiaan akan menular, pikirnya. Ia
ingat baik-baik, berjanji kepada diri sendiri untuk suatu saat nanti membawakan
sesuatu berwarna merah sebagai hadiah atas kebaikan hati sang Bocah.
Kali ini,
di mata Kakek Abu, tali rafia yang kini ada dalam genggaman Bocah Merah bukan
lagi sekadar tali rafia buruk rupa, melainkan seuntai pita indah dengan warna
merah cantik—selaras dengan yang ada dalam pandangan sang Bocah.
Ia serta-merta merasa dapat pergi dengan tenang, melanjutkan perjalanannya yang masih begitu panjang.
~Fin
10.10.2017
Ditulis sebagai hadiah(?) dari saya untuk saya sendiri (lol) atas terpilihnya saya sebagai peserta Kelas Penulisan Cerita Anak DKJ 2017. Semoga cerpen ini bisa jadi langkah awal saya untuk kembali menekuni dunia literasi yang sudah lama saya tinggalkan.
Terus, juga untuk mengenang Kakek Abu, kucing tua yang sering berkeliaran di sekitar rumah, yang dulu--sebelum beliau berpulang tanpa pamit kepada siapa-siapa--sempat dijahili anak-anak yang mengikatkan tali rafia di ekornya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar