Di hari yang
terik sebelum memasuki libur musim panas itu, Sabito jarang-jarang
berkesempatan menghabiskan istirahat makan siang bersama dua sahabat
terbaiknya, Makomo dan Giyuu. Kali ini, mereka memilih duduk di bawah
bayang-bayang di atap sekolah yang berangin.
Biasanya, kalau
tidak ada kegiatan di Klub Musik Tiup, Makomo sibuk dengan kawan-kawan
perempuannya, makan bekal bersama di kelas atau di bawah pohon rindang di
halaman sekolah sambil membicarakan apa-apa yang biasa dibicarakan di kalangan siswi
SMA.
Sementara
Giyuu, biasanya sibuk dengan tugasnya di OSIS atau dipanggil guru untuk
membantu segala macam rupa yang seolah tiada habisnya. Ia sampai dijuluki Seksi
Sibuk saking sulitnya ditemui saat istirahat siang.
Sementara
Sabito sendiri—sebagai yang paling luang di antara
trio sahabat itu—pemuda berambut sewarna persik ini
yang paling fleksibel di jam istirahat. Bisa jadi dia makan berat di kantin bersama
gerombolannya, melangsungkan diskusi panas soal gim terbaru sambil mengunyah
roti isi di kelas, atau sekadar luntang-lantung di koridor: menyapa balik siapa
pun yang menyapanya. Ia juga diminta melatih adik kelasnya di Klub Kendo,
sesekali.
Namun, hari itu
berbeda. Ketiganya berkumpul.
Makomo dengan
bekal buatan ibunya: dua nasi kepal kecil, telur dadar manis, udang goreng
tepung, tomat mini dan wortel berbentuk bunga, sosis gurita lengkap dengan
bendera dari tusuk gigi, dan sedikit saus tomat di wadah terpisah. Minumnya
susu cokelat, beli di mesin penjual yang paling ramai di kantin.
Giyuu dengan
bekal seadanya: roti isi daging rangkap dua, beli di Bibi Kantin langganan.
Minumnya limun soda—favoritnya
sepanjang waktu—beli
di mesin penjual di pelataran
parkir sepeda sekolah, karena memang hanya ada di situ.
Sabito dengan
bekal buatan sendiri: nasi putih bertabur wijen di kotak paling besar, beberapa
potong ayam kecap tanpa tulang, telur mata sapi, dan salad berisi irisan daun
selada, wortel, dan brokoli yang dituang mayones. Minumnya limun soda—favoritnya
di musim panas—belinya
bersama Giyuu.
Rasa limun soda
di mesin penjual di pelataran parkir sepeda sekolah itu unik: sedikit manis,
sedikit masam, dengan aksen meletup-letup di dalam mulut.
Paduannya
sangat pas. Favorit.
Sabito pernah
mencoba beli limun soda di kios dan mesin penjual yang berada di sekitar
rumahnya—karena
waktu itu sekolah libur panjang dan dia tiba-tiba ingin sekali minum limun soda, tapi tak pernah ia temukan yang
serupa dengan yang dijual di mesin penjual di pelataran parkir sepeda
sekolahnya.
Makanya, limun soda
di pelataran parkir sepeda sekolahnya—yang dikemas dalam botol plastik transparan dan label
kuning terang dan tutup putarnya—itu
terkesan bagai rahasia yang tak boleh diketahui sembarang orang.
Saking panasnya
siang itu, Sabito menangkupkan kedua tangan di botol limun sodanya yang masih
setengah penuh, membasahi keduanya.
Dingin.
Tiba-tiba satu
pikiran iseng terlintas di benaknya.
Cengar-cengir,
ia sekonyong-konyong menempelkan sebelah telapak tangannya yang sedingin es ke
pipi Giyuu.
“!!!” Pemuda
berambut gelap itu langsung terlonjak kaget.
Botol limun soda
Giyuu yang ditaruh di samping kakinya, tertendang, lantas terlempar, menabrak
botol limun soda Sabito, dan menggelinding bersama-sama ke ujung pagar
pembatas.
“Pffft!” kekeh
Sabito saat melihat Giyuu—dengan
tampang datar yang ikonik darinya—bangkit
dari duduk untuk memungut kedua limun soda mereka.
“Bocah,”
respons Makomo seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dan, “Setop, Sabito,” sergahnya,
sebelum telapak tangan Sabito yang masih basah sempat menyentuh pipi gadis itu.
Sabito mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, tawa masih mewarnai wajahnya.
“…” Giyuu
menghela napas, terus melempar salah satu botol di tangannya secara sembarang
ke arah Sabito yang dengan cekatan menangkapnya.
Satu botol sisa
di tangannya, ia buka dan teguk, masih sambil bersandar di pagar pembatas.
Sebelum tiba-tiba
terdengar suara Sabito berseru, “Yang ini bukan punyaku lho, Giyuu!”
Giyuu
mengangkat sebelah alisnya.
“Punyaku masih
setengah penuh,” jelas Sabito lagi.
Giyuu melirik
botol yang masih tergigit di mulutnya: masih setengah penuh. “Punyaku mestinya
sudah hampir habis,” ingatnya, baru saja.
Sabito
mengangguk.
Giyuu melepas botol
limun soda itu dari bibirnya—masih
tercecap rasa masam dan manis di lidah, memutar tutupnya rapat-rapat, lalu, “Tukar lagi?”
tawarnya kepada Sabito.
Belum sempat
Sabito merespons, Makomo keburu berseru, “Kalian serius?? Eugh, tukar-tukaran
minum, jijik!” sambil bergidik kecil.
Sabito tidak
langsung menjawab. Menimbang-nimbang perkataan Makomo barusan:
Jijik.
Jijik?
Heran. Bingung.
Bukan hanya
‘jijik’, bahkan perasaan ‘canggung’ saja tidak kepikiran. Toh, hanya bertukar
minum sama Giyuu. Tidak masalah. Sama sekali.
Ia menolak
membayangkan jika bertukar minuman dengan Makomo. Rasa ‘canggung’
setidak-tidaknya akan muncul. Berbeda halnya dengan Giyuu.
Berbeda?
Apanya yang
berbeda?
Sabito melirik
Giyuu, yang hanya balas menatapnya dalam diam. Menanti jawaban darinya.
Sabito
mengambil jalan tengah, “Ambil saja yang itu, Giyuu,” balasnya sambil
mengangkat bahu acuh tak acuh.
Giyuu
mengangguk.
Namun, lantas
bertanya, polos, “Tapi kamu baru minum sedikit dan yang punyaku itu sudah hampir
habis.”
Kontan Sabito
ingin membalasnya panik, “Bukan itu masalah yang mestinya kamu pikirkan!” tapi
karena tampaknya mukanya akan semerah kepiting rebus lebih dulu sebelum kalimat
itu tuntas terucap, Sabito terpaksa hanya membalas singkat, “Tidak apa, tinggal
beli lagi.”
Makomo menusuk
kotak susu cokelatnya dengan sedotan, kemudian bergumam, “Untung minuman favoritku
beda dengan kalian. Lagian, apa enaknya limun soda yang itu? Merek itu jarang
dijual karena enggak banyak yang suka.”
Terlintas di
benak Sabito, sekejap: untung minuman favoritku sama dengan Giyuu.
Makomo melirik
Sabito, matanya memicing, “Dasar, selera kalian aneh.”
Buru-buru
pemuda itu memutar tutup botol limun sodanya, berharap pikiran-pikiran kacau
itu hilang dari benaknya.
Lalu menempelkan
bibirnya di ujung botol.
Dan meneguknya.
Sedikit.
Rasa limun yang
sedikit manis, sedikit masam, menguar di lidahnya; dan soda menambah aksen
meletup-letup di dalam mulutnya—
—atau
di dalam dadanya?
- TAMAT -
Awalnya ditulis sebagai entry fanfic untuk zine SabiGiyuu Indonesia: Breath of Water, tapi yang ini sudah resmi ditolak panitia jadi boleh disebar. Si Gie ngajuin dua fanfic sebetulnya, panitia lebih memilih yang satu lagi, yang genre fantasi historikal--zaman Om Oda Nobunaga, tapi si Om batal muncul gegara gak cukup batasan kata lol. Terus, si Gie pikir yang ini sayang banget disimpan gitu aja, soalnya secara pribadi si Gie sukaaaa banget sama yang ini: simpel tapi manis. Lumayan buat materi promosi zine (makanya beli nanti kalo udah mulai dijual yaaaakkk!! Si Gie bikin BL gitu lho! Dipublikasi gitu lho! Si Gie udah lebih dewasa sekarang!! /gak/). Btw, ini fanfic pertama si Gie setelah... eeer... 8 tahun? 9 tahun? Belum sampai 10 tahun sih yang pasti. Yeaaaayyy~~~ ini patut dirayakan!!
Btw, buat kalian yang penasaran dengan zine-nya, bisa langsung ke page-nya.
FB: Breath of Water - SabiGiyuu Zine (Facebook)
Twitter: Breath of Water - SabiGiyuu Zine (Twitter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar