Cek di sini

Rabu, 25 November 2020

[COMMISSION] Tertundanya Cinta - Gisha


Cerpen yang saya buat atas permintaan Gisha, September 2020. Drama, school-life, romance.


Tak pernah terlintas satu kali pun dalam benak Della, bahwa ia akan berjumpa kembali dengan pria yang menjadi cinta pertamanya dulu:

Hadrian Lyn.

Tak pernah pula wanita itu lupa akan hari-hari kala ia mengejar sosok pria itu dari sudut matanya: di lorong kelas, di depan mading, di kantin, di perpustakaan, di klinik sekolah, maupun momen-momen berpapasan di ruang guru ketika hendak menyerahkan tugas.

Ia kira masa-masa mengejar cowok itu telah lama lewat dan Hadrian akan selalu menjadi sejarah di kehidupannya, yang perlahan-lahan akan menjadi samar hingga pupus ditelan arus waktu.

Sembilan tahun.

Segitu lamanya Hadrian bersemayam di dalam hatinya, tersembunyi dari siapa-siapa, bagaikan kotak kenangan rahasia di masa kanak-kanak: disimpan di tempat terbaik yang tak terjangkau orang lain, ditutup rapat-rapat, namun tak pernah dikunci selama-lamanya… yang sesekali diintip sedikit demi melegakan hati bahwa ia—kenangan itu—masih ada di sana.

Kendati demikian, sosok yang berdiri tepat di depan matanya, bukan lagi sekadar masa lalu. Ia nyata. Ia masa kini.

Ia Hadrian Lyn.

“… Della? Della kan? Chelsea Della Franziska?”

Ah, suaranya pun masih sama persis dengan yang diingat Della di zaman SMA dahulu: antara tenor dan bariton, nyaring, dan renyah; yang selalu membuat Della terheran-heran dengan dirinya sendiri sebab semua penyanyi pria yang digemarinya selama ini selalu memiliki suara rendah bass. Namun, suara cowok yang disukainya selama sembilan tahun ini malah berkebalikan.

Suara yang dulu senantiasa membuat dadanya berdegup kencang tiap kali mendengarnya.

Entah karena Della tidak langsung menjawab atau karena melihat tampang kebingungan wanita itu, sang pria mengulangi kembali pertanyaannya, “Masih ingat aku? Yang dulu sekolah di SMA Seiby Dreiza?”

Bak ditampar untuk kembali ke kenyataan, Della yang disapa hanya bisa menjawab dengan terbata-bata, kikuk, “A-aah… Iya, ini aku, Della. Dan… iya, a-a-aku masih ingat kamu, Hadrian.”

Mana mungkin aku lupa, batin Della, namun kata-kata itu akhirnya tersangkut saja di tenggorokannya yang mendadak terasa tercekat.

Hadrian mengangguk, “Kamu pemilik butik batik tulis ini?” tanyanya lagi. Matanya mengitari sekeliling butik, memandangi tiap kain yang dilipat rapi di etalase maupun yang digantung di dinding-dinding.

Della, yang masih seolah berada di awang-awang, hanya bisa mengangguk canggung.

“Waktu SMA enggak pernah kusangka kamu punya minat di bidang fesyen, Del, tahu-tahu sekarang sudah sehebat ini,” imbuhnya, penuh pujian yang tulus yang—sama tak disangkanya—masih memberikan efek debaran keras di hati Della.

Hadrian bukan cowok yang sering memuji, seingat Della. Ia bahkan bukan tipe cowok yang banyak bicara, hanya membuka mulut seperlunya. Tipe-tipe yang sering kali dianggap dingin, cuek, bergaul sekenanya saja.

Meski pada kenyataannya, Della tahu, cowok itu baik hati dan lembut di saat diperlukan.

“Aaah… Iya, karena di SMA dulu kerjaanku hanya belajar dan baca buku,” balas Della, merendahkan diri.

“Ya, makanya kau selalu juara,” ujar Hadrian lagi, kali ini diiringi senyum tipis.

Della serta-merta panik, khawatir wajahnya akan mendadak berubah semerah kepiting rebus di hadapan Hadrian yang baru ditemuinya lagi setelah jeda sembilan tahun.

Tidak boleh, tidak boleh, Della menguatkan diri. Ia tidak boleh bersikap memalukan. Hadrian hadir saat ini sebagai calon pelanggan barunya. Ini bisnis. Ini hubungan profesional.

Maka, Della menarik napas dalam-dalam, menata perasaannya kembali, lalu akhirnya berkata, “Hari ini mau beli kain apa? Untuk keperluan apa?” selayaknya yang ia selalu lakukan kepada pelanggan-pelanggannya yang datang ke butik Candra Batik Tulis miliknya ini.

“Aaah… aku perlu batik untuk seragam acara keluarga,” jelas pria berpenampilan kasual dengan kemeja lengan pendek dan celana jins di hadapannya itu.

Jantung Della kontan serasa terhenti. Apakah untuk acara lamaran? Pertunangan? Atau lebih parahnya lagi…

“Untuk acara pernikahanmu?” tanya Della. Ia sendiri kaget bukan kepalang, tak sadar isi pikirannya justru terlontar dari mulutnya.

Hadrian menggeleng, “Bukan, bukan. Untuk sekadar acara makan siang keluarga besar saja, kok,” ujarnya dengan nada sedikit malu-malu. Barangkali tak menyangka akan ditanya soal pernikahan oleh teman semasa SMA yang baru ditemuinya lagi.

Diam-diam Della menghela napas lega.

Tanpa memberi jeda bagi hati sang wanita untuk beristirahat, Hadrian melanjutkan, “Lagipula, aku punya calon pengantin saja belum.”

“O-oooh… Ha ha…”

Della hanya bisa meremas-remas tangannya dengan gugup. Tak bosan-bosannya ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sedang bekerja. Ia sedang menghadapi pelanggan. Hadrian hanya pelanggan. Ia harusnya melayaninya sebagai pemilik butik.

Bukannya malah meliriknya berkali-kali dari sudut mata, atau membicarakan hal-hal pribadi semisal pernikahan. Lagipula, apa kaitannya Della—yang notabene hanya teman sekelasnya di masa SMA—dengan cowok itu akan bertunangan atau lamaran atau bahkan menikah?

Tidak ada, tegas Della pada dirinya sendiri.

Antara dirinya dan Hadrian tidak ada apa-apa. Baik dulu, maupun sekarang. Tidak pernah, tidak ada, dan… tidak akan pernah ada.

“Tapi aku tidak banyak tahu soal batik. Aku beruntung ternyata kamu pemiliknya, jadi aku bisa bertanya-tanya tanpa sungkan. Kalau menurutmu, batik apa yang cocok untuk acara makan siang? Aku perlu yang tidak terlalu tampak formal tapi cocok untuk dikenakan seluruh anggota keluargaku. Ah, terutama untuk ibuku. Beliau orangnya agak pemilih kalau soal busana.”

Della tersenyum. Senyuman bisnis yang senantiasa ia perlihatkan kepada para pembeli. Senyuman netral. Tanpa maksud apa-apa. Tanpa menggambarkan emosi apa-apa.

Tidak boleh, tidak boleh, Della membatin.

“Oke, kemarilah. Akan kutunjukkan beberapa model batik rekomendasiku.”

Tidak boleh.

Ia bukan siapa-siapa bagi Hadrian.

Begitu pula Hadrian bagi dirinya. Saat ini.

*

Rizky Saputra berjalan keluar dari ruangan OSIS, tiap langkahnya dijejakkan kuat-kuat pertanda jengkel. Baru saja ia selesai memimpin rapat yang berujung tele-tele dan akhirnya ngaret setengah jam dari jadwal selesai. Bahkan, meski telah mengorbankan istirahat pagi, mereka bahkan belum menemukan solusi soal klub-klub ekstrakurikuler olahraga yang bentrok jadwal latihannya: topik utama yang dibahas dalam rapat rutin mingguan kali ini.

Sebagai Ketua OSIS, Rizky tahu sebaiknya ia memberikan saran, masukan, atau bahkan lebih baik lagi—solusi nyata, secepat-cepatnya. Sebab, kalau tidak, klub sepak bola dan basket akan selalu rebutan lapangan olahraga utama sekolah tiap Selasa sore; sementara lapangan tengah akan selalu diperebutkan klub karate dan taekwondo tiap hari Sabtu pagi.

Sekolah ini memiliki terlalu banyak kegiatan ekstrakurikuler, pikir Rizky.

Ini permasalahan yang sudah berlarut-larut warisan dari beberapa generasi OSIS sebelumnya. Yang juga belum diketemukan solusinya.

Namun, biasanya Rizky tidak sejengkel dan semarah ini meskipun terkadang dia merasa rapat OSIS hanya membuang-buang waktunya. Bukan, bukan sekadar itu. Ada suatu hal yang memantik amarahnya: kehadiran Hadrian sebagai wakil klub sepak bola di rapat OSIS tadi.

Ya, Hadrian.

Sesungguhnya Rizky tidak punya dendam pribadi kepada teman seangkatannya itu. Hanya saja, seorang gadis yang selama ini menarik hatinya selalu dan selalu cuma memandang Hadrian.

Ah, apa yang kurang dari dirinya di mata Della?

Rizky ketua OSIS, pintar—nilainya selalu berbalap-balapan dengan Della, mudah bergaul dan disukai semua orang termasuk guru-guru di sekolah, murah senyum, sikapnya baik, apalagi dia juga tampan dan berasal dari keluarga kaya-raya.

Bukannya bermaksud memuji diri sendiri, tapi Rizky merasa tidak ada yang kurang dari dirinya sebagai cowok.

… Atau, yaah, mungkin ada.

Sifat jeleknya yang tak ingin dia akui terang-terangan, namun telah menjadi buah bibir di seluruh penjuru sekolah—dibisik-bisikkan dari mulut ke mulut, menjadi rumor dan akhirnya menjadi rahasia umum: bahwa ia cowok playboy.

Ia tak bisa menyanggah rumor itu, merasa dirinya akan berbohong jika menyanggahnya. Tapi, ia juga tidak mau mengakuinya.

Ia hanya tidak bisa bertahan hanya dengan satu cewek. Apalagi jika cewek itu membosankan. Tipe-tipe cewek yang selalu menuruti apa katanya, memperlakukannya bak raja yang paling berkuasa, tak punya nyali untuk melawan apa pun keburukan yang telah Rizky lakukan kepada mereka.

Seperti… ya, seperti Puput Septiani.

Kekasihnya yang kasihan. Pacarnya yang sengsara.

Puput sebetulnya bukan cewek jahat, hanya saja, cara gadis itu mempertahankan hubungan mereka yang sebetulnya rapuh—serapuh tangan mungil Puput yang hanya tulang berbalut kulit itu—sungguh menggelikan bagi Rizky. Dan tampak memalukan terkadang, di matanya.

Makanya, belakangan ini dia jadi makin kerap merasa kesal tiap kali berada di dekat Puput. Padahal gadis itu tidak melakukan apa-apa. Hanya hadir di depan matanya dan sesekali berbicara.

“Riz? Kamu baru selesai rapat?”

Itu dia. Suara yang selalu ada walau Rizky tidak pernah mengharapkannya.

Rizky menoleh, memandang gadis kurus di hadapannya dengan senyum, lantas menjawab, “Ya, rapatnya baru selesai, Put,” dengan nada lembut.

“Bukan gara-gara kamu mampir ke kelas si Della itu lagi kan?” tuduh Puput dengan nada tinggi meski suaranya tetap terdengar kecil seperti biasanya—bak tikus yang mencericit.

Rasa-rasanya Rizky langsung naik pitam mendengar cara bicara Puput yang menuduh begitu. Kalau saja pemuda itu tidak ingin menjaga pamor baiknya di sekolah, mungkin ia sudah minta putus gadis menyebalkan itu sesegera ia bisa. Bahkan, kalau perlu, dengan paksaan.

“Aku enggak ada waktu buat ke tempat Della, meski ingin. Rapatnya molor lama dan aku capek, waktu istirahat pagi sudah keburu habis pula!” balasnya, dengan nada tajam—meski sebetulnya ia tidak berniat begitu. “Sori, tapi sudah bel. Aku mau balik ke kelas.”

Buru-buru Rizky melangkahkan kakinya. Kelasnya sudah tidak jauh di depan. Ia tidak peduli meski meninggalkan Puput begitu saja di tengah lorong di jam istirahat yang ramai. Cowok itu jelas sedang tidak mood meladeni rengekan Puput.

Puput, meski tampak ringkih, sebenarnya gadis terkeras kepala yang pernah Rizky kenal. Sudah berkali-kali Rizky mengirim “sinyal” pada Puput bahwa ia ingin putus, namun tak pernah direspons baik oleh gadis itu.

Lagipula, yang lebih menjengkelkan adalah, Puput tetap tidak ingin putus meski Rizky sudah selingkuh di sana-sini.

Dulu, Rizky selingkuh secara sembunyi-sembunyi, tidak ingin menyakiti hati Puput yang begitu setia kepadanya dan rela melakukan apa saja demi dirinya; tidak peduli walau harus berkorban waktu, uang, tenaga, bahkan pikiran hanya untuk Rizky.

Namun, tahun lalu, saat Rizky kepergok Puput sedang mencium kakak kelasnya di sudut tersepi perpustakaan sekolah, alih-alih minta putus, Puput bahkan tidak marah kepadanya.

Puput hanya bilang, “Aku akan melupakan kejadian itu, jadi jangan pernah lagi kau berkata ingin putus denganku.”

Rizky sungguh tidak habis pikir dengan pacarnya itu. Segitu cintanyakah Puput kepadanya sampai-sampai menutup mata dari segala tindak jahatnya? Dari pengkhianatan cintanya? Tidak pedulikah gadis itu meski hatinya hancur berkali-kali diselingkuhi pacarnya sendiri?

Rizky ingat, sering ia mendengar pepatah ‘cinta itu buta’ dan baru setelah mengenal Puput inilah pemuda itu akhirnya paham maknanya. Menggelikan memang. Tapi, seperti itulah Puput.

Yang pasti, Rizky tidak berniat berlarut-larut pacaran dengan Puput.

Begitu mendapat jalan keluar yang bagus, ia akan langsung memutuskan hubungannya dengan Puput, dengan segera.

Dan ia melihat Della—satu-satunya gadis yang menawan hatinya—sebagai orang yang mampu memberinya jalan keluar dari hubungan menyesakkan nan rapuh bersama Puput Septiani.

Ya, Della.

Ia harus mendapatkannya.

Dan Hadrian, harus disingkirkan.

*

Hadrian tidak tahu punya salah apa dia kepada Rizky. Yang pasti, ketua OSIS itu selalu berlagak menantangnya tiap ada kesempatan. Seolah-olah Hadrian adalah musuh bebuyutannya sejak zaman nenek moyang.

Entah apa yang dipikirkannya, pada rapat mingguan OSIS pagi tadi tahu-tahu Rizky menyalahkan klub sepak bola karena dianggap terlampau mendominasi lapangan olahraga utama tiap Selasa sore dan tidak memberi ruang yang memadai bagi klub basket berlatih.

Hadrian, sebagai perwakilan dari klub sepak bola, jelas tidak terima tuduhan tak berdasar itu. Kalau boleh jujur, Hadrian curiga dua anggota klub ekskul basket yang turut hadir di rapat pun tampak tidak setuju dengan pernyataan sang Ketua OSIS.

Masalahnya, kedua anggota tim basket itu tidak berani mengutarakan pendapatnya.

Hadrian mengenal baik ketua klub basket. Mereka berteman akrab sebagai sesama penyuka olahraga dan atlet sekolah.

Akhirnya, setelah Rizky Sang Ketua OSIS menyarankan bahwa klub sepak bola “sebaiknya” merombak jadwal latihan supaya tidak bentrok dengan klub basket di hari Selasa sore, Hadrian memberanikan diri bicara, “Saya mewakili ketua klub sepak bola, tidak bisa setuju dengan keputusan tersebut. Seperti yang kalian ketahui, klub-klub bidang olahraga hanya boleh menggunakan lapangan utama, padahal di hari-hari lain lapangan tersebut masih harus dipakai bergilir bersama klub voli, klub bisbol, dan klub badminton. Hari Jumat dan Sabtu lapangan tersebut harus dikosongkan untuk acara-acara resmi sekolah. Lalu hari Minggu sudah penuh oleh ekskul marching band dan paskibra yang memerlukan kedua lapangan sekolah sekaligus.”

“Lalu, apa maumu?” tanya Rizky lagi, kali ini dengan nada mengancam.

Hadrian, yang pada dasarnya tidak suka perdebatan yang tidak perlu, berusaha menenangkan suasana dengan mengangkat kedua tangannya.

“Yang kami mau sederhana, berikan izin kepada salah satu dari klub kami untuk menggunakan lapangan tengah di Selasa sore. Toh, di hari itu tak ada klub non-olahraga yang punya jadwal latihan di lapangan tengah.”

Sebagian besar anggota rapat pagi itu tampak mengangguk-angguk setuju—bahkan kedua anggota klub basket yang hadir tampak tersenyum, menganggap itu solusi terbaik.

Wajah Rizky tampak mulai memerah akibat amarah, namun akhirnya dia memutuskan, “Oke, saran itu masuk akal. Tapi yang pasti, Hadrian, aku tidak mau mengurusi perizinannya ke pihak sekolah. Kau dan klubmu yang harus mengurusnya sendiri.”

Lantas Rizky bangkit dari duduknya dan berkata, tajam, “Rapat selesai. Silakan bubar.”

*

Della punya hobi yang baru ditemukannya tidak lama sejak dia masuk SMA hampir tiga tahun yang lalu: bolak-balik ruang guru.

Awalnya, sebagai gadis cerdas yang langsung menarik perhatian guru sebagai murid baru, Della kerap dimintai tolong para guru untuk membawakan buku tugas atau bahkan sekadar menemani wali kelasnya mengurus administrasi sebagai perwakilan kelasnya, ke ruang guru.

Awalnya, tidak ada yang spesial. Segalanya terasa biasa-biasa saja. Sekadar melangkahkan kaki dari kelasnya di ujung lorong ke ujung lorong paling kiri gedung sekolahnya. Kira-kira 500 meter jaraknya. Della sendiri pun tidak pernah keberatan melakukannya. Ia senang membantu sesama, apalagi orang yang lebih tua darinya, apalagi guru—yang konon disebut-sebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

Ya, Della tipe murid teladan. Baik di dalam sekolah maupun di luar.

Namun, pada suatu hari, ketika ia membantu guru geografinya untuk membawa kembali gulungan peta dunia yang digunakan untuk pelajaran sebelumnya, Della melihat sesosok pemuda—dari badge yang dijahitkan di lengan seragam putih abu-abunya—kelas X. Seangkatan dengan Della.

Pemuda itu dengan sikap berani dan suara yang jelas terdengar, berkata, “Maaf, Pak Guru, tapi saya tidak berminat jadi ketua kelas. Silakan cari murid lain saja yang berminat.”

“Tapi kamu anak paling pintar di kelasmu! Bahkan di seluruh murid kelas X, nilai ujian masukmu paling tinggi!” jelas sang guru, nadanya agak memaksa.

Pemuda itu menggeleng lagi, “Pintar bukan berarti paling pantas jadi pemimpin. Saya yakin masih ada di antara teman-teman di kelas yang memiliki jiwa pemimpin melebihi saya.”

“Biasanya yang paling pintar itu yang jadi ketua kelas!” balas sang guru lagi, masih belum mau menyerah.

“Saya sungguh mohon maaf,” ujar si pemuda sambil sedikit menundukkan kepala, tanda penyesalan yang sangat sopan.

Sang guru menghela napas keras-keras, “Ya sudah, tapi tolong kamu yang carikan siapa kandidat ketua kelas dan jajarannya dari kelasmu.”

Pemuda itu tersenyum, hanya sekadar sopan-santun, “Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu kalau begitu,” imbuhnya sembari berbalik badan dan berjalan menuju pintu.

Di lorong antara meja-meja guru yang sempit itu, ujung bahu Della dan ujung bahu pemuda yang namanya masih belum Della ketahui itu; bergesekan. Singkat. Sesaat.

Namun, pada detik itu pulalah jantung Della terasa berdetak lebih cepat dari normalnya. Apa sebenarnya itu?

Yang membuat gadis itu merasa semakin aneh adalah, pandangannya yang seolah-olah tidak mau lepas dari sosok pemuda itu. Ekor matanya terus saja mengikuti sosoknya hingga keluar dari pintu dan menghilang di lorong depan.

Siapa dia? Della bertanya-tanya.

Pemuda tampan dengan tulang rahang tinggi yang tegas. Rambutnya hitam legam bak dipoles arang terbaik. Kulitnya sawo matang yang tampak sehat. Proporsi tubuhnya pun enak dipandang dan tampak bugar, barangkali ia rutin berolahraga.

“Della?” suara guru geografinya kontan mengagetkan Della. Gadis itu tersentak kaget. Gulungan peta dunia yang didekapnya di kedua belah tangan serta-merta jatuh dan menggelinding di lantai.

“Aduh.”

Della buru-buru mengalihkan pandangannya dari ambang pintu yang telah kosong itu. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis tersebut bergegas memungut kembali peta dunia dari lantai dan menyerahkannya pada sang guru.

“Kamu kenapa bengong dari tadi?” tanya sang guru lagi.

Della tersenyum santun, “Tidak ada apa-apa, Bu. Maaf, petanya jadi jatuh.”

“Baik, kamu sudah boleh pergi sekarang,” izin sang guru.

Della berpamitan singkat, lantas agak berlari-lari kecil ke pintu keluar: berharap masih dapat melihat sosok pemuda misterius tadi.

“…. Sudah enggak ada orangnya…” lirih Della, kecewa.

Namun, beruntungnya, mencari siapa sebenarnya pemuda itu bukanlah perkara sulit. Sebab Della sudah tahu kata kunci yang menjadi petunjuk utama untuk mencarinya: dia murid paling pintar di seluruh angkatan kelas X.

Baiklah, pikir Della.

Tekad gadis itu sudah bulat: ia harus mengenal siapa pemuda misterius tersebut.

Gadis itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama di tahun pertamanya di bangku SMA.

*

Tiga tahun berlalu dan kini Hadrian berdiri di ambang pintu kelas Della, kelas XII-B.

“Del!” panggil pemuda itu, tangannya melambai ke arah Della yang masih duduk di bangkunya.

Della tidak langsung melihat, tetapi teman sebelahnya menyadari kehadiran Hadrian yang memanggil-manggil Della, maka temannya itu segera menyikut Della dibarengi cekikik kecil.

Hadrian melihat, Della merespons tindakan temannya itu dengan menyentuhkan jari telunjuknya ke depan bibir, pertanda menyuruhnya untuk diam.

Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi yang pasti masih menyangkut Hadrian.

“Hai, Hadrian. Ada urusan apa?”

Gadis itu berdiri di hadapan Hadrian, kepalanya hanya setara dengan sikut Hadrian. Selama ini pemuda itu selalu bertanya-tanya, entah dirinya yang terlalu tinggi atau Della yang terlalu mungil sehingga jika mereka berdiri berhadap-hadapan begini terlalu lama, leher Hadrian serasa kaku karena kelamaan menunduk ke bawah.

Tapi, pemuda itu tidak akan pernah mengeluh soal itu di hadapan Della.

Karena, sebetulnya ia tidak keberatan dengan betapa mungilnya sosok Della. Sama sekali.

Meski rasanya dia juga tidak akan mengutarakannya kepada Della secara langsung.

Bahwa ia tertarik dengan gadis itu.

“Aku perlu bantuanmu nih, Del.”

“Silakan, apa saja, asalkan aku mampu, Hadrian,” balas gadis itu lagi, diiringi semburat merah muda di wajahnya.

Ah, betapa manisnya Della, pikir Hadrian.

“Aku harus mengurus surat izin penggunaan lapangan tengah untuk klub sepak bolaku. Kamu kan sekretaris kelas, sering jadi juru tulis acara-acara sekolah pula. Kupikir, siapa tahu kamu punya template untuk surat izin yang kuperlukan. Aku mau minta.”

Serta-merta senyum merekah di wajah Della. Hadrian menyadari, jarang sekali Della tersenyum—ia gadis yang sangat pendiam dan agak pemalu, tetapi sekalinya ia tersenyum akan terasa begitu emosional dan signifikan. Setidaknya, bagi diri Hadrian.

“Oke, itu persoalan gampang. Kapan kamu perlu?”

“Kalau bisa sih—”

Namun, belum sempat Hadrian menyelesaikan kalimatnya, ucapannya sudah dipotong suara Della yang terdengar bersemangat seolah baru menemukan ide bagus.

“Ah! Bagaimana kalau sekalian aku saja yang mengetiknya? Jadi, kamu tinggal terima jadi saja!”

Hadrian serta-merta mengangkat tangannya, “Tidak, tidak usah. Aku bukannya mau menyusahkanmu, Della. Cukup template saja, nanti kuketik dan kucetak sendiri.”

“Sudahlah!” balas Della, masih dengan nada girang seolah membantu Hadrian membuat hatinya gembira, “sama sekali enggak merepotkan, kok!”

Rasanya tidak sopan jika menolak tawaran yang dilontarkan dengan nada seriang itu, apalagi itu berasal dari gadis yang disukainya. Maka, mau tak mau Hadrian mengangguk, “Oke, terima kasih sebelumnya. Besok aku akan ke kelasmu lagi untuk mengambilnya.”

Namun, saat Hadrian mengunjungi kelas Della keesokan harinya, justru Rizky yang menyambutnya di sana. Hadrian sama sekali tidak menduganya, dan tak tahu-menahu apa sebenarnya urusan sang ketua OSIS berada di sana saat itu.

“Hadrian, kudengar kau meminta tolong Della untuk membuatkan surat izinmu? Bukannya sudah kubilang saat rapat OSIS kemarin, kalau kau dan klub sepak bolamu sendiri yang harus mengurusnya!?”

Hadrian yang masih terkaget-kaget, belum bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Untung saja pada waktu itu Della dengan sigap menghampiri mereka.

“Rizky! Bukan begitu maksudnya. Tadi sudah kubilang kan, kalau aku sendiri yang menawarkan bantuan kepadanya. Lagipula, apa hubunganmu kalau aku ingin membantu Hadrian? Toh, hanya membantu membuat suratnya, bukan aku yang maju ke pihak sekolah.”

Rizky mendecakkan lidah, jengkel.

Tiba-tiba jari telunjuknya mengarah lurus ke wajah Hadrian, menuding. Suaranya kasar saat ia berkata, “Kamu itu! Berani-beraninya merebut cewek orang lain!”

Kontan Della tersentak. Apa maksudnya? Apa maksud pernyataan Rizky barusan?

Belum sempat lolos dari syoknya, Hadrian tiba-tiba merasa tubuhnya ditarik begitu kuat ke depan: kerah baju seragamnya dalam renggutan kasar kedua tangan Rizky. Disusul hantaman keras pada wajahnya.

Ujung bibirnya robek. Darah mengalir. Rasa sakit menyeruak. Setidaknya, itu yang disadari Hadrian pertama kali di tengah otaknya yang berputar terlampau cepat untuk mencerna setiap kejadian.

Hadrian menepis sebelah tangan Rizky yang masih menempel erat di kerah kemejanya.

Sekeliling mereka sudah ramai. Murid-murid lain berkumpul dan bersuara ribut. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru pergi, mungkin ke ruang guru, untuk memanggil bantuan. Beberapa yang lain—mereka yang lebih berani dan bertubuh besar—mencoba melerai Rizky dan Hadrian.

Namun, tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa akan ada sesosok gadis berperawakan kurus dan berambut panjang yang menyeruak di antara kerumunan hingga akhirnya berada tepat di antara Hadrian dan Rizky—tanpa ada seorang pun yang menyadari kedatangannya.

“… Puput?” heran Rizky, suaranya masih bergetar karena amarah.

Telapak tangan Puput sekonyong-konyong melayang cepat, lantas mendarat tepat di pipi kanan Rizky.

Tamparan yang sangat keras. Bunyinya bergaung di lorong, menyamarkan riuh-rendah suara murid-murid yang berkumpul. Sekaligus mendiamkan semuanya.

Gadis itu kemudian berkata, dengan suara tinggi melengking yang memecah atmosfer berat di tempat itu, “Kita putus, Riz!!”

Della, yang semakin syok melihat keributan yang sudah tak bisa dikontrol itu lagi, menyaksikan sekilas: tak ada air mata di wajah Puput, hanya ada penyesalan dan putus asa tersirat di raut wajahnya.

Gadis itu pasti sakit hati, pikir Della.

Namun, Rizky, entah karena emosinya sudah meledak-ledak hingga tak tertahankan lagi, justru membalas dengan nada tinggi yang sama, dengan amarah yang serupa, “Oke! Sudah sejak bertahun-tahun lalu aku mau putus denganmu, tapi kau terlalu keras kepala, Put! Enyah dari hadapanku sekarang!”

Yang membuat Puput segera berjalan pergi, langkahnya terdengar dientak-entakkan keras.

Namun, sebelum ia keluar dari kerumunan, Puput berbalik, matanya mengarah ke Della, membuat Della melihat sekilas bahwa mata Puput agak basah.

“Dasar cewek enggak tahu diri!” tudingnya kepada Della, sebelum akhirnya Puput menjauh dari keramaian diiringi seruan tak setuju dari murid-murid yang berkumpul.

Hadrian dengan refleks melangkah maju, mendekati Della. Seolah berusaha melindunginya dari kata-kata jahat yang menerjang dan hendak menyakiti hati gadis itu pula.

Namun, tampaknya tindakan Hadrian yang protektif terhadap Della membuat amarah Rizky yang belum padam itu, tersulut lagi. Cowok itu pun bersuara lantang, “Kau juga! Enyah, Hadrian!”

Hadrian, sebagai cowok yang tidak menyukai keributan, melangkah pergi tanpa keberatan. Namun, sebelum ia menerobos kerumunan, pemuda itu sempat memandang Della penuh makna.

Hadrian dan Della saling berpandangan, lama-lama, dalam kesunyian.

Inginnya ia berkata sesuatu kepada gadis itu, tetapi tak ada kata-kata yang sempat terucap.

Maka Hadrian pun menyingkir.

Dan meninggalkan Della.

*

“Untuk acara makan keluarga, kusarankan batik sekar jagad,” lirih Della.

Wanita itu melebarkan kain batik sekar jagad di atas etalase butiknya. Dengan warna dasar hitam diselingi bebungaan kecil berwarna biru kehijauan dan putih yang cantik. Della ingat, dulu orangtuanya pernah berkata jika batik sekar jagad ini memiliki makna filosofis keindahan dan keanekaragaman. Konon, orang-orang yang memandangnya akan terpesona seketika, tersihir oleh bunga-bunga yang beragam bentuk dan warna tersebut.

Ah, seketika itu pula terbayangkan akan betapa menawannya sosok Hadrian yang mengenakan batik sekar jagad.

Seandainya ia berkesempatan memandang sosok Hadrian saat mengenakannya….

“Della, kamu masih ingat insiden saat kita duduk di bangku kelas XII SMA?”

Rasanya jantung Della berhenti berdetak. Ia masih ingat jelas, tidak mungkin dilupakan.

“Kasus klub ekstrakurikuler dengan OSIS itu?” Della membalas pertanyaannya dengan pertanyaan, untuk memastikan. Jari-jemari gadis itu menyentuh kain batik sekar jagad butiknya tanpa sadar sebab pikirannya melayang kembali ke masa-masa SMA dulu.

Hadrian mengangguk singkat.

Meski sebetulnya dalam otaknya, Hadrian merasa akan lebih tepat menyebutnya sebagai kasus antara dirinya dan Rizky, sang Ketua OSIS pada waktu itu, alih-alih sekadar selisih paham klub ekstrakurikuler dengan OSIS.

Betul, Hadrian masih ingat jelas bahwa apa yang Rizky lakukan kepadanya waktu itu semata-mata didorong amarah pribadi, bukan antarkelompok. Tapi, yah… jika bagi wanita yang dicintainya ini, kasus waktu itu bukanlah didorong masalah pribadi… sudahlah.

“Ya, sebetulnya…” pria itu menarik napas dalam-dalam, seolah ucapannya setelah itu akan menjadi sesuatu yang penting—dan memang iya. “Sebetulnya… sudah sejak dulu aku ingin minta maaf kepadamu soal kasus itu.”

Della membalasnya dengan senyuman kecil, yang membuat wajah Hadrian tampak semakin tidak enak. Pria itu pun dengan nada sedikit panik buru-buru melanjutkan, “Aku sebetulnya tidak ingin merusak hubunganmu dengan Rizky, tapi gara-gara aku, kalian—”

Della membalasnya dengan tegas, “Aku dan Rizky tidak ada hubungan apa-apa waktu itu. Sama sekali.”

Mendengarnya, Hadrian kontan menaikkan kedua alisnya, bingung yang tergambarkan.

“Tapi, kenapa waktu Rizky sampai menuduhku merebutmu? Kalau kalian memang tidak berpacaran?”

Kali ini, giliran Della yang menghela napas. Lantas mengangkat bahu tanda tidak paham, “Yang pasti, setelah itu Rizky langsung menembakku. Dia bilang, dia sudah tertarik kepadaku sejak lama, tapi masalahnya Puput tidak mau putus dengannya.”

“Puput…?” tanya Hadrian lagi. Tidak akrab nama itu di telinganya.

Della menunduk lagi, jemarinya bergerak menelusuri pola bunga-bunga di kain batiknya. “Dia… gadis yang berpacaran dengan Rizky waktu itu. Kudengar, mereka berpacaran sudah cukup lama.”

Sunyi menguar beberapa jenak di antara mereka.

“…. Lalu, apa pernyataan cintanya kamu terima?” sergah Hadrian, mengisi kesunyian dengan kata-kata.

Canggung kembali.

Della menggeleng sebagai jawaban, “Sebab waktu itu… aku sudah punya cowok yang kusukai…” lirihnya, suaranya semakin lama terdengar semakin tipis, seolah dia tidak ingin ucapannya terdengar oleh dunia.

Oleh Hadrian.

“…. Apakah orang itu aku?”

Kepala Della yang hanya tertunduk sedari tadi, sekonyong-konyong mendongak—memandang Hadrian begitu lekat. Wanita itu merasa kepalanya kosong, tak mampu berpikir. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah dia sedang bermimpi? Apakah telinganya salah dengar? Apakah Hadrian salah ucap? Apakah seisi dunia sedang bersama-sama mengelabuinya? Apakah ia akan ditertawakan semua orang?

Namun, suasana butik yang mendadak gagap tersebut, tersapu lagi oleh pernyataan Hadrian—yang lagi-lagi membuat Della tidak percaya, “Kutanya, apakah cowok yang kamu sukai waktu SMA dulu itu aku?”

Della serta-merta menarik gulungan kain batik sekar jagad yang masih terggenggam erat di tangannya yang entah kenapa mendadak basah oleh keringat dingin, lantas menutupi wajahnya dengan kain batik itu.

Jawab Della, dengan suara terbata-bata dan suara terhalang kain, “I… iya, Hadrian. Kamu.”

Della tidak melihat momen itu, saat Hadrian tersenyum begitu lembut ke arahnya.

“Kalau sekarang?” tanya pria itu lagi. Jarang-jarang ia memancing seperti ini, apalagi kepada wanita. Makanya, ada satu bagian di dalam dirinya yang merasa kalau dia kini tengah menipu Della, mempermainkannya perlahan-lahan agar wanita idamannya sejak SMA itu jatuh ke tangannya dengan pasti.

Hadrian tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa barangkali perjumpaan kembali dirinya dengan Della saat ini bukan sekadar kebetulan. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah tergariskan takdir.

Oleh karena itulah, Hadrian yakin, dia dan Della kini terikat takdir.

“Pfft,” dengus Hadrian. Rasa-rasanya pikiran seperti itu tidak cocok dengan karakternya. Hadrian jelas bukan cowok romantis yang jadi idaman para wanita. Yang mampun menyusun puisi indah bak pujangga. Atau mengajak wanita terkasihnya menyusuri pantai dengan tangan tergandeng romantis.

Sungguh, ia bukanlah pria yang demikian.

Hadrian Lyn cuek, dingin, bersikap apa adanya, berbicara apa adanya, tanpa dimanis-maniskan. Mungkin itu pulalah selama ini dia selalu gagal dalam usahanya menjalin hubungan kasih dengan wanita.

Atau mungkin… karena selama ini hanya ada Chelsea Della Franziska di hatinya.

Tapi, mungkin saja—mungkin saja—ini benar-benar kesempatan langka yang tidak boleh dilewatkan pria itu.

“Ka-kalau sekarang…” Della balas berkata-kata, “ka-kalau kamu memang sedang tidak bersama siapa-siapa… dan masih sendiri…”

Hadrian segera mengangguk—meski tidak tampak oleh Della sebab wanita itu masih sibuk menutupi wajahnya yang bersemburat merah dengan kain batik. “Ya, aku masih sendiri.”

Lalu Della balas mengangguk, samar.

Hadrian melanjutkan, tidak mau melewatkan kesempatan untuk mendapatkan wanita pujaannya, “Kalau bulan depan kau ada waktu, mau ikut makan siang?”

Dengan wajah tidak percaya, Della mengangkat wajah dan menurunkan kain batiknya, “Eh? Maksudmu acara makan siang keluargamu?”

Namun, senyum Hadrian yang secerah mentari di hari Minggu pagi tepat di depan matanya membuat dunia wanita itu seketika oleng. Buru-buru ia memegang erat etalase kaca di dekatnya, memastikan tubuhnya berdiri dengan tegap.

“Ya, acara yang kuminta tolong padamu untuk menjahitkan batik itu.”

“A-aku…” ragu Della.

“… Tentu itu kalau kau tidak keberatan.”

Belum ada pernyataan cinta di antara mereka.

Belum ada pernyataan apa-apa.

Sekadar ajakan makan siang.

Yang Della dan Hadrian sama-sama yakin, akan menjadi langkah pertama yang signifikan dalam hidup mereka. Membuka lembaran baru bagi hubungan mereka berdua, yang tertunda hingga sembilan tahun lamanya.

Semoga.

“A-aku tidak keberatan. Aku mau ikut,” jawab Della, diiringi senyum tersipu-sipu malu.

Hadrian mengangguk. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang terpancar jelas. “Kalau begitu, boleh kuminta nomor ponselmu? Yang untuk urusan pribadi, bukan nomor untuk pelanggan butikmu.”

“Tentu saja.”

Dan kini, sesuai harapan Della di awal pertemuan mereka sekitar satu jam yang lalu, dia barangkali berkesempatan melihat sosok Hadrian yang mengenakan busana batik sekar jagadnya.

Ah, dia harus menjahitkan batiknya dengan penuh cinta nanti.

 

TAMAT

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar