Cek di sini

Rabu, 25 November 2020

[COMMISSION] Reforged Relationship - Tsukiha Tsukiharu


Cerpen yang saya buat atas permintaan Tsukiha Tsukiharu, Agustus 2020. Ditulis dengan gaya light novel jepang. Drama, school-life, romance, siblings.


Saat Hisakawa Tsukasa masuk ke kelas 2-2, ia merasa ada antusiasme yang berbeda dari biasanya di kelasnya. Tsukasa segera menuju bangkunya dan meletakkan tasnya. Dua kawan baiknya, Seshomaru dan Mikio, segera bergabung dengannya dan menginformasikan hal menarik.

“Katanya akan ada murid baru,” Sesho, lelaki bertubuh besar dan jagoan tim basket, memulai topik sembari duduk di kursi kosong di depan Tsukasa.

“Ho~ tak heran kenapa kelas berasa lebih antusias,” Tsukasa mengangguk, “cewek?” pemuda itu bertanya.

“Yeps,” Mikio, cowok paling pendek di kelas yang terkenal sebagai gentleman playboy, mengangguk, “dan dengar ini: katanya dia pindahan dari Himegasaki, lho!”

Himegasaki? Tsukasa merasa familiar dengan nama itu. Ah, tentu saja. Sekolah khusus perempuan yang konon hanya berisi ojou-sama, anak orang kaya dan genius. Sekolah khusus tuan putri. Sekolah itu ada di kota sebelah jadi banyak juga siswi di kota ini yang bersekolah di sana.

“Kenapa ada anak Himegasaki ke sekolah mediocre begini?” Tsukasa bertanya balik.

Mediocre, katanya,” Seshomaru tertawa. “Meski ini sekolah negeri, jangan remehkan reputasi kita gitu dong. Kamu sendiri baru saja memenangkan turnamen prefektur kendo.”

“Nggak, lah! Dibandingkan Himegasaki, kita ini memang sekolah biasa, kan?” Mikio mengelak. “Sekolah ini terkenal cuma karena menang turnamen. Himegasaki, dari sejak dibangun, itu sekolah untuk orang elite.”

Himegasaki, eh? Tsukasa menghela napas. Ia tahu seseorang yang bersekolah di sana. Lamunan Tsukasa dan obrolan ketiga laki-laki muda itu kemudian terinterupsi bel sekolah dan beberapa menit kemudian, wali kelas mereka, Keichirou-sensei, memasuki kelas.

“Oke, sudah duduk semuanya?”

Keichirou-sensei menatap seisi kelas, kemudian mengangguk, “Sebelum aku melakukan absensi, akan kuperkenalkan murid baru di kelas ini. Masuklah, Oosaki-san.”

Seorang gadis memasuki kelas penuh percaya diri. Rambut panjang hitamnya tergerai indah dan gerakannya anggun. Entah kenapa ia masih mengenakan seragam Himegasaki, blazer biru muda dan rok selutut hitam.

“Nama saya Oosaki Tsukuyo. Salam kenal, semuanya.”

Ia membungkukkan badan. Saat berdiri kembali, kedua matanya yang terlapisi kacamata, mengecek seisi kelas.

“Kalian bisa berkenalan lebih lanjut nanti saat homeroom selesai,” Keichirou-sensei melanjutkan, “Oosaki-san, kau bisa duduk di sebelah Tsukasa,” ujarnya, menunjuk bangku kosong di sebelah Tsukasa.

Sang murid baru menatap bangku kosong itu lalu matanya bertemu dengan Tsukasa. Wajah gadis itu tampak terkejut sejenak, namun kemudian tersenyum lebar. Tsukasa sendiri juga terkejut, namun ia hanya diam, berusaha tidak menunjukkan ekspresi. Saat akhirnya Tsukuyo duduk di bangku di sebelah Tsukasa, Keichirou-sensei mulai memanggil nama-nama muridnya, mengecek siapa yang hari ini hadir.

“Lama tak jumpa, Nii-san,” Tsukuyo berbisik, cukup keras untuk didengar Tsukasa namun tak terlalu keras sampai orang lain mendengarnya.

Tsukasa melirik ke arahnya dan memberikan senyuman kecil, “Sejak SD, kan ya? Aku dengar dari Ayah kau masuk Himegasaki, tapi aku tak tahu kau pindah ke sini.”

“Ah, ada alasan kenapa aku harus meninggalkan Himegasaki,” wajah Tsukuyo tampak suram.

Tsukasa merasa telah menginjak ranjau jadi ia segera mengganti topik, “Kulihat kau sudah semakin besar,” ujarnya sembari tersenyum kecil.

Nii-san, itu sekuhara lho,” Tsukuyo membalas dengan cekikik.

“Hoi, Tsukasa! Jangan coba menggoda anak baru di tengah homeroom,” Keichirou-sensei berteriak marah.

“Hahaha, maaf, Sensei,” balas Tsukasa ringan. Ia kemudian menatap gadis di sebelahnya, “Aku masih perlu tahu kenapa kamu bisa ada di sini.”

Tsukuyo hanya mengangguk dengan wajah masam.

*

Tsukasa dan Tsukuyo lahir di hari yang sama. Sampai kelas enam SD, keduanya selalu bersama dan memiliki nama keluarga yang sama. Tsukasa ingat benar betapa tomboinya adik kembarnya itu dulu. Gadis yang dulunya berambut pendek dengan kuncir samping itu selalu menyeret Tsukasa ke berbagai masalah hingga tersesat di berbagai tempat.

Namun setelah orangtua mereka bercerai, keduanya harus berpisah.

Melihat anak kecil itu tumbuh menjadi gadis dengan pesona yang mencengangkan ini membuat Tsukasa tak percaya bahwa ialah Tsukuyo. Namun senyuman tengilnya masih hadir setiap Tsukuyo membuat candaan di tengah obrolan perkenalan dirinya dengan siswi-siswi di kelas 2-2.

“Kau tampak akrab dengan anak baru itu, Tsukasa,” Sesho bertanya, tertarik.

Bel istirahat berdentang. Sementara Tsukasa dan kedua sobat karibnya mulai membuka bekal masing-masing mengelilingi meja Tsukasa, segerombolan murid perempuan segera mengerumuni si anak baru sehingga Tsukasa tak ada kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya.

Jagoan tim kendo itu hanya mendesah dan mengeluarkan kotak bekalnya.

Pertanyaan Sesho mungkin adalah hal wajar mengingat ia dan Tsukuyo tadi sempat berbincang sejenak. Memang tak ada yang dengar isi pembicaraan mereka, namun Keichirou-sensei sempat menegur, membuat teman-teman sekelas kontan mencurigai sesuatu.

Tsukasa berpikir sejenak dalam diam, sebelum menjawab, “Aku ini kakaknya.”

“Hahahaha. Ya, oke, tentu saja,” gelak Mikio.

“Sudahlah, jangan bercanda kamu. Mana mungkin ada adik muncul tiba-tiba dan jadi teman sekelasmu. Kamu ini bukan protagonis novel,” kali ini Seshomaru menyahut.

Melihat kedua kawannya tak percaya dengan jawaban yang ia berikan, Tsukasa hanya tersenyum, lalu melanjutkan, “Aku kagum dengan bagaimana cepatnya dia beradaptasi.”

Sembari melahap tamagoyaki terakhirnya, Tsukasa melirik kerumunan murid perempuan di bangku sebelah. Tsukuyo tampak ahli dalam meladeni banyak orang sekaligus. Saat sibuk curi dengar, Tsukasa terkejut mengetahui Tsukuyo sudah mengingat nama-nama orang yang mengerumuninya.

“Oosaki-san ini bibit cewek populer sih,” Seshomaru menurunkan suaranya, “seperti si Nanami dari kelas 2-1. Tipe cewek yang bisa membuat kebanyakan orang terpesona.”

“Selain cantik, Oosaki-san juga ramah. Siapa sih yang tak mau dekat dengannya? Aku juga mau,” Mikio tertawa kecil, “kamu pikir aku bisa?”

Gentleman Playboy sepetimu bisa dekat dengan semua cewek di sini. Jadi sepertinya itu bukan hal yang tidak mungkin,” Sesho menjawab.

Tsukasa tertawa kecil sembari membereskan kotak bekalnya. Ia kemudian menarik dua buku dari tas dan bangkit dari bangkunya.

“Aku mau ke perpustakaan dulu,” Tsukasa memberi senyum kecil, “Dan, Mikio, kenapa kau tidak coba saja?”

Mikio hanya menyeringai sembari melambaikan tangan pada Tsukasa yang hendak keluar kelas.

Namun tiba-tiba Tsukuyo berdiri, “Ah, Hisakawa-san! Bisa tunggu sebentar...”

Tsukasa menghentikan langkahnya dan melihat gadis itu berpamitan pada kerumunan kawan barunya. Tsukuyo kemudian menghampiri Tsukasa, “Sensei bilang aku bisa meminta bantuanmu kalau butuh bantuan. Bisa tidak kamu pandu aku ke perpustakaan? Aku juga ingin melihat koleksi sekolah ini.”

“Eh, tentu saja. Aku juga mau ke perpustakaan,” Tsukasa mengangguk, keduanya pun meninggalkan kelas.

Seisi kelas 2-2 tampak terkejut dengan interaksi mereka. Mereka saling kenal? Ah, mana mungkin? Beberapa murid perempuan mulai berspekulasi, namun mereka tahu tak mungkin dua orang yang baru pertama kali bertemu hari ini punya hubungan.

“Menurutmu yang dibilang oleh Tsukasa tadi sungguhan?” Mikio bertanya pada Sesho. Sesho hanya mengedikkan bahu.

*

Saat berjalan menuju perpustakaan, Tsukasa dan Tsukuyo sama-sama menyadari bahwa mereka menarik perhatian murid-murid lain. Beberapa di antaranya, bisikan dan tatapan kagum.

“Kau sudah terkenal bahkan sebelum memasuki kelasku, lho,” Tsukasa memulai. “Tampaknya kecantikanmu menarik perhatian banyak orang.”

Tsukuyo tersenyum, “Mereka cuma melihatku karena masih memakai seragam Himegasaki.” Ia melanjutkan, “Besok kalau aku sudah dapat seragam sekolah ini, mereka pasti lupa padaku.”

“Mana mungkin. Kamu pindah dari Himegasaki saja sudah bikin orang penasaran,” Tsukasa membalas, “sampai si Sesho bilang kamu ini bibit cewek populer.”

“Di sekolah ini, Nii-san juga populer, kan?” Tsukuyo menatap Tsukasa dengan tatapan iseng. Senyuman jahil gadis itu masih sama seperti saat mereka kecil.

“Aku cuma menang turnamen kendo tingkat prefektur,” jawab Tsukasa ringan.

“Itu hebat lho,” Tsukuyo memuji, “Tadi Kumahara-san sampai bilang aku kudu hati-hati sama tiga cowok playboy di kelas ini.”

Tsukasa tertawa. Mikio dan Seshomaru terkenal sering gonta-ganti pacar di kelas. Namun ia masih tak percaya kalau dirinya dianggap termasuk grup ‘Trio Playboy’ tersebut padahal belum pernah punya pacar.

“Ngomong-ngomong,” si kakak mencoba mengubah arah pembicaraan, “aku tadi bilang ke Sesho dan Mikio kalau aku kakakmu,” Tsukasa memulai, “tapi kedua kawanku itu tidak percaya dan menganggapku bercanda.”

“Hm.... Wajar sih,” Tsukuyo mengangguk, “tapi kayaknya itu ide bagus. Bisa nggak kita rahasiakan hubungan kita ini?”

“Kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.

“Aku ingin Nii-san jadi bodyguard rahasia,” jawab Tsukuyo.

Tsukasa menaikkan alisnya. Apa yang terjadi dan kenapa ia butuh bodyguard rahasia? Namun Tsukuyo tidak lagi melanjutkan percakapan tersebut dan tanpa disadari, keduanya sudah sampai perpustakaan.

*

Perpustakaan tampak sesepi biasanya, hanya ada dua pustakawan yang sedang berjaga dan empat pengunjung. Saat Tsukasa dan Tsukuyo memasuki ruangan, pustakawan yang sedang bertugas menurunkan buku, berbalik badan dan memberikan senyumnya pada Tsukasa.

“Kau sudah menyelesaikan buku itu?” sang pustakawan, gadis berkacamata dari kelas 1-1, bertanya pada Tsukasa.

Tsukasa meletakkan buku pinjamannya di meja dan dengan cepat sang pustakawan memproses pengembaliannya.

“Halo, Tamaki. Sepertinya aku harus berhenti meminjam dulu,” Tsukasa membalas. “Ngomong-ngomong, kau ingat Tsukuyo?”

Nanami Tamaki memiringkan kepalanya, “Adikmu? Bukannya dia pindah setelah orangtua kalian bercerai?”

Tsukasa dan Tamaki sudah berteman sejak kecil dan karena itu, tentu saja ia kenal Tsukuyo. Gadis berkacamata itu lalu menatap gadis di sebelah Tsukasa dan menatapnya terkejut.

“Kamu Tsukuyo-chan?” Tamaki memastikan.

Yang dipanggil tampak bingung. Namun Tsukasa menepuk bahu adiknya, “Kau tak ingat teman kecilmu, Tsukuyo?”

Tsukuyo menatap kakaknya sebelum menatap balik gadis berkacamata itu. Tamaki tertawa kecil sebelum ia melepaskan kacamatanya, “Dulu aku tidak berkacamata, sih.”

“Ah, ini Tama-chan?”

Ia menatap kakaknya lagi, “Woah, maaf! aku tak mengenalimu. Sudah tiga tahun, sih.”

“Hahaha, kalau Tsukasa tidak membawa namamu lebih dahulu aku mungkin juga tak ingat,” Tamaki tertawa kecil, “jadi anak Himegasaki yang pindah ke sini itu kamu.”

“Aku mau cek buku dulu ya? Ada buku yang aku cari,” Tsukasa meninggalkan kedua perempuan itu sembari melambaikan tangan.

“Aku tak menyangka Tama-chan masih dekat dengan Nii-san,” Tsukuyo berbisik, “Masih naksir kakak juga?”

Wajah memerah Tamaki menjadi jawaban yang cukup untuk Tsukuyo.

*

Saat Tsukasa akhirnya tiba di rumah, ia melihat dua orang familiar di ruang tamu. Miyako sepertinya sedang di dapur sebab ia dapat mendengar suara siulan ibu tirinya dari sana.

Kaa-san, lama tak jumpa,” Tsukasa menyapa.

Wanita muda dengan busana kantoran yang duduk di ruang tamu adalah ibu kandung Tsukasa dan Tsukuyo. Ia tampak sebal namun tersenyum saat melihat sosok putranya. Di sebelahnya, duduk Tsukuyo.

“Kamu makin tinggi saja, Tsukasa-kun,” wanita muda itu memulai, “benar kata Tsukuyo, kamu makin tampan. Sudah punya pacar?”

Tsukasa tertawa kecil, “Belum sama sekali. Ngomong-ngomong, kenapa ada di sini? Apa ada kaitannya dengan pindahan Tsukuyo ke sekolahku?”

“Hm.... Begitulah. Aku berharap dapat menjelaskan ini lebih dulu ke ayahmu, tapi tampaknya ia akan pulang terlambat lagi,” ibunya mendengus kesal, “Miyako-san menawarkan makan malam sih, tapi aku tak bisa ikut. Jadi sepertinya aku jelaskan saja padamu.”

Tsukasa mengangguk dan duduk bersama ibu kandung dan adik kembarnya.

“Ah, Tsu-chan, selamat datang,” Miyako muncul dari dapur membawa nampan berisi teh dan donat, lantas meletakkannya di atas meja. “Maaf ya, Hanami-san. Shou-chan nampaknya tidak bisa pulang cepat.”

“Aku tahu kok betapa payahnya laki-laki itu soal waktu,” sang ibu kandung mendengus kesal, namun nadanya tidaklah marah.

Bagi Hanami, ibu si kembar, mantan suaminya serupa sahabat karib. Tsukasa sering dengar cerita bagaimana ayahnya sering menolong sang ibu seburuk apa pun situasinya. Termasuk saat ia hamil si kembar oleh laki-laki lain. Hanami tampak mengingat mantan suaminya itu dan tersenyum.

“Miyako-san, aku akan cerita apa keperluanku di sini jadi tolong sampaikan ini ke Shouji, ya?” Hanami menatap Miyako serius. Ibu tiri Tsukasa membalasnya dengan anggukan.

“Uhm.... Boleh aku saja yang cerita?” Tsukuyo menyela, “soalnya ini kan tentang aku.”

Hanami menepuk bahu anak perempuannya, lalu mengangguk.

“Ada orang yang stalking aku di Himegasaki,” Tsukuyo memulai, “Awalnya sih cuma mengikuti. Tapi beberapa minggu yang lalu stalker ini mulai membuatku tidak nyaman. Ia mulai mengirim surat kaleng dan foto-foto aneh. Bahkan barang-barangku mulai menghilang. Saat Mama melaporkannya ke pihak sekolah, mereka bilang tak akan melakukan apa-apa.”

“Eh? kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.

“Mereka tak mau reputasi Himegasaki jatuh karena membiarkan muridnya terkait skandal, kan?” Miyako menyela.

“Miyako-san tahu soal ini?” Ibu Tsukuyo tampak terkejut.

“Aku dulu bersekolah di Himegasaki,” jawab Miyako sambil tersenyum kecil.

“Iya. Mereka bilang tak akan melakukan apa-apa. Bahkan mereka memaksaku untuk merahasiakan masalah ini,” Tsukuyo menghela napas.

“Karena aku merasa sekolah itu tidak aman lagi, aku membawanya ke sini,” Hanami mendesah. “Aku dan suamiku sedang mencari rumah di sekitar sini. Namun suamiku malah dapat pekerjaan di Kyoto selama satu bulan. Karena kami tidak bisa meninggalkan Tsukuyo sendirian dalam masalah ini, aku berharap dapat menitipkan Tsukuyo padamu.”

“Shou-chan mungkin tak bisa diandalkan, tapi Tsu-chan itu atlet kendo. Dia pasti bisa menghajar stalker itu,” Miyako tertawa kecil. “Aku akan menyiapkan kamar di atas. Ayo, Tsukuyo-chan.”

Miyako bangkit dari duduknya, lalu tiba-tiba menarik tangan Tsukuyo. Tsukuyo yang tak menyangka akan mendapat respons seperti itu hanya bisa pasrah diseret ibu tiri Tsukasa. Tsukasa tertawa kecil melihat keduanya.

“Bagaimana kabarmu, Tsukasa-kun?” tiba-tiba Hanami bertanya.

“Hm...? Aku baik-baik saja. Kenapa bertanya begitu?” Tsukasa tampak bingung.

“Aku masih menyesal harus memisahkan kalian berdua,” Hanami berkata.

Kaa-san, aku tidak apa-apa,” Tsukasa menjawab enteng, “Tou-san menceritakan soal kalian berdua saat aku masuk SMP. Ayah bilang meski kalian sahabat dari kecil, ia sadar bahwa kalian tidak saling mencintai. Aku sudah ikhlas menerima keputusan kalian.”

Hanami tertawa kecil. Wanita muda itu lalu mengambil sepotong donat di meja, “Tsukuyo sempat tak terima saat aku menikah dengan suami baruku. Tapi sama sepertimu, ia kemudian mengerti. Aku benar-benar bahagia diberkati anak-anak baik seperti kalian.”

Usai memasukkan donatnya ke mulut dan mengunyahnya, ia berkomentar, “Masakan Miyako-san enak juga. Sepertinya aku akan tetap di sini sampai makan malam.”

Tsukasa bangkit, “Kalau begitu aku ke kamarku dulu, ya?”

Namun Hanami ikut bangkit, “Aku ingin tahu seperti apa kamarmu.”

Tsukasa nampak terkejut tapi hanya tersenyum, “Ayo kalau begitu. Aku ingin tahu apa benar anak cowok akan berdebar-debar saat seorang ibu memasuki kamarnya.”

Keduanya tertawa sambil meninggalkan ruang tamu.

*

Seminggu berlalu semenjak Tsukuyo tinggal bersama keluarga Tsukasa. Melihat kakak kembarnya baru bangun dengan rambut berantakan menjadi rutinitas sehari-hari yang gadis itu sukai. Sambil menyantap sup miso buatan Miyako, ia menatap kakaknya berusaha menata rambutnya.

“Kau sudah terbiasa dengan sekolahmu, Tsukuyo?”

Di hadapan Tsukuyo, laki-laki yang rambutnya sama liarnya dengan Tsukasa bertanya dari balik koran yang ia baca. Shouji Hisakawa, ayah mereka. Ia ingat benar keramahan dan kebaikan sang ayah.

“Menyenangkan,” jawab Tsukuyo, “lebih santai daripada sekolah lamaku.”

“Aku tak paham kenapa Hanami-chan memaksamu masuk ke sekolah seketat itu,” Shou-san menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian meminum segelas kopi yang disediakan istrinya.

“Shou-chan, sudah kubilang tata rambutmu sebelum berangkat kerja!” Miyako muncul dari dapur dan dengan sigap mulai berusaha menjinakkan rambut suaminya. Tsukuyo menatap pasangan suami-istri itu dengan senyuman. Ibu Tsukuyo mungkin tak akan mau melakukan itu baik pada dirinya maupun Shou-san.

“Yang paling penting sekarang kamu bisa bersenang-senang. Masa muda cuma datang sekali. Kalau bukan karena ibumu, mungkin aku sudah memecahkan rekor punya 108 pacar,” Shou tertawa keras namun tawa itu terhenti berkat tangan Miyako yang menarik-narik rambut suaminya begitu keras.

“Tapi berkat ibu juga kau bisa dapat pekerjaan sebagai editor,” Tsukasa mengingatkan.

Cerita itu sudah didengar oleh si kembar berkali-kali. Cerita masa muda orangtua mereka dengan dua versi berbeda. Kedua orangtua mereka suka menceritakan masa lalu, memandang masa itu sebagai masa terbaik sekaligus terburuk.

“Aku sudah terlambat,” Tsukasa terburu-buru menyelesaikan sarapannya dan bangkit dari meja makan. “Aku berangkat dulu~!”

“Hati-hati di jalan!” Miyako melambaikan tangan.

“Tunggu, Nii-san, aku ikut!” Tsukuyo menghabiskan makanannya namun sang kakak malah menatap Tsukuyo aneh.

“Kamu biasanya tidak berangkat sepagi ini, kan?” tanyanya heran.

“Aku ada keperluan pagi ini jadi tidak bisa mengantar Tsukuyo,” Shou menyela, “jadi kau berangkatlah bersamanya. Lebih aman, kan?”

Tsukasa mengacungkan jempol. Kalau dipikir-pikir, sepertinya ini kali pertama keduanya berangkat sekolah bersama. Sejak Tsukuyo tinggal di sini, Shou selalu mengantar Tsukuyo ke sekolah setiap hari. Gadis berambut panjang itu masih belum berani berangkat sendirian meskipun untuk sementara waktu ancaman stalker masih belum kembali.

Setelah berpamitan, keduanya melangkah keluar, menembus dinginnya pagi. Di jam segini, biasanya hanya orang-orang yang punya jadwal latihan klub pagi yang tampak di jalanan menuju sekolah. Namun, Tsukuyo tetap menyadari dengan rasa tidak nyaman bahwa banyak orang memperhatikan mereka berdua.

Nii-san,” Tsukuyo berbisik, “sepertinya hari ini akan ada gosip baru….”

Tsukasa yang mengerti maksud adiknya, kontan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, tanda pasrah.

*

Tsukasa sadar dirinya tak berhak berpikiran begini, tapi tetap saja, ketika istirahat siang itu Tsukuyo tiba-tiba didekati beberapa anak perempuan yang ia tahu adalah anggota-anggota fanclub-nya, ia mendadak ingin melarang adik kembarnya itu perg.

Nii-san, aku pergi dulu sama mereka ya,” pamit Tsukuyo.

“Oke,” balas pemuda itu, mengalah karena tahu melarangnya justru akan memperkuat kecurigaan orang-orang.

Tsukasa tahu, gadis-gadis di fanclub-nya tidak ada yang berniat jahat. Mereka memang ingin memonopoli Tsukasa, semacam idola-idola di teve, tapi tidak sampai akan menjahati orang lain.

Setidaknya, itu yang diyakini Tsukasa.

Dengan pikiran berkecamuk, Tsukasa meneruskan makan siangnya sendirian. Tak lupa ia menutup kotak bento adiknya yang tergeletak ditinggalkan begitu saja.

Ternyata tidak perlu lama ia menunggu, Tsukuyo sudah kembali saja. Tidak perlu ditanya, Tsukuyo juga langsung berbicara, “Mereka bertanya apa aku pacar Nii-san atau bukan.”

Benar tebakan Tsukasa, meski rasanya kaget juga mengetahui tebakannya itu tepat.

“Lalu…?”

“Kujawab bukan.”

Sungguh jawaban yang tanpa basa-basi, pikir Tsukasa.

“… Oke,” balas Tsukasa singkat.

Tsukuyo melanjutkan, tangannya membuka kotak bento yang tadi dirapikan Tsukasa, hendak melanjutkan makan siangnya yang tertunda, “Aku sampai ingin tertawa tadi. Bisa-bisanya ada yang menyangka kita berpacaran. Kubilang saja kita bersaudara. Kembar, malah.”

Tsukasa kontan terkekeh membayangkan seperti apa reaksi para siswi tadi.

Tsukuyo menyusul terkikik, “Lucu kan, Nii-san? Kita segitu tidak miripnya?”

Kakaknya hanya angkat bahu, “Mungkin. Sesho dan Mikio saja langsung nggak percaya pas kubilang soal itu. Katanya aku membual. Kurasa mereka nggak bakal percaya selama-lamanya kalau kau nggak ikut angkat bicara juga ke mereka,” imbuhnya.

“Tapi mereka menarik juga ya,” lanjut Tsukuyo.

Alis Tsukasa naik, “Siapa?”

“Teman-temanmu itu, Seshomaru-san dan Mikio-san, bukan?”

“Oooh…” angguk Tsukasa, lalu teringat, “Mikio menargetkanmu, kautahu? Kau harus waspada, pendekatan Mikio nggak setengah-setengah.”

Adiknya yang sedang menyuap, terhenti di tengah jalan. Mulutnya masih menganga dengan sendok berisi telur dadar manis terhenti di udara. “Nii-san tidak suka?”

Tsukasa mengerutkan kening, tidak menyukai pertanyaan adiknya itu karena tak bisa menebak mau dibawa ke arah mana pembicaraan mereka. “Bukannya tidak suka, Mikio cowok baik-baik kok. Meski kuakui, kelakuan playboy gentleman-nya itu agak… berlebihan.”

Tsukuyo memasukkan sendoknya ke mulut, akhirnya. Sunyi sebentar selama gadis itu mengunyah dan Tsukasa menatapnya.

“Kalau Nii-san bilang dia cowok baik-baik, berarti tidak masalah.”

Ya, Tsukasa jelas-jelas tidak menyukai ini.

“Aku hanya memperingatkanmu. Belum selesai masalah satu stalker, jangan sampai menambah stalker lain. Meski kuyakin Mikio nggak akan jadi stalker, tapi cowok lainnya mungkin.”

Adiknya mengangkat wajah, menatap kakaknya. Sembari tersenyum kecil, ia bilang, “Iya, tapi kurasa aku akan baik-baik saja, selama ada Nii-san.”

Tsukasa ingin mengutuk kepercayaan adiknya yang terang-terangan itu.

*

“Hei, hei,” Mikio mendadak berkata, nadanya darurat.

Tsukasa dan anak-anak cowok sekelasnya sedang menikmati jam olahraga bebas dengan bermain basket di gedung olahraga. Sementara, guru mereka mengawasi para siswi yang sedang lari jarak pendek di lapangan luar.

Ia dan Sesho menoleh saat Mikio terburu-buru menghampiri mereka.

Mikio melanjutkan, “Tadi sebelum jam olahraga dimulai, aku melihat Oosaki-san dicegat cowok kelas 3, lho!”

Yang tadinya Tsukasa ogah-ogahan, kini segera memfokuskan pikirannya ke ucapan Mikio. “Haah?” herannya.

“Apa maksudmu?” tanya Sesho, yang tampaknya lebih berhasil dalam mengutarakan rasa penasarannya dibanding Tsukasa yang hanya mampu mengucapkan satu silabel.

Wajah Mikio berubah penuh semangat sekaligus patah hati, “Berarti ini sudah dua hari berturut-turut! Oosaki-san ditembak sama cowok!”

Mendengar itu, wajah Sesho yang justru berubah ogah-ogahan. “Ooh… soal itu. Kukira apa…” lalu berjalan menjauh ke pinggir lapangan, ingin minum.

Mikio mengejarnya, masih dengan langkah yang sama menggebu, “Masa’ kamu nggak peduli, sih? Di mana kejantananmu, Sesho? Kau nggak merasa ingin melindunginya dari kejaran cowok-cowok serigala yang haus akan keimutan paras dan kelembutan sikapnya?”

Tsukasa menyelak, “Memang siapa yang menembaknya?”

Ketiganya duduk di pinggir, bergantian menguasai lapangan dengan siswa lain. Bukan hanya Sesho yang memang jagoan tim basket, kalau ada trio itu sekaligus, yang lain jadi tidak punya kesempatan unjuk gigi, apalagi menang.

Mikio menjawab dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan, “Mantan Ketua OSIS!”

Sesho menyahut sekenanya, “Oh, kalau begitu, dia serigala yang jauuuh lebih jinak dibanding kau. Oosaki-san pastinya merasa lega,” yang dibalas delikan tajam dari Mikio.

Namun, Tsukasa hanya diam, membiarkan suara pertengkaran kedua sahabatnya itu di luar kepala, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Mantan ketua OSIS…. Kemarin si juara umum angkatan… Ini jelas bukan situasi yang bagus. Tsukuyo terlalu menarik perhatian.

Lamunan Tsukasa buyar berkat dorongan keras di pundaknya: Sesho.

“Hei! Khawatir ‘adikmu’ direbut cowok lain?” kekehnya.

“Masih bersikeras dengan khayalan tak kesampaianmu itu, Tsukasa?” sahut Mikio.

Jengkel, Tsukasa menepis tangan Sesho dari pundaknya dan mengabaikan Mikio. Jika Tsukuyo ingin hubungan mereka dirahasiakan, maka ia akan menurutinya. Biar Tsukuyo sendiri yang membeberkannya kepada kedua sahabat keras kepalanya ini saat ada kesempatan.

Tapi ia penasaran, maka ia tidak pergi dan tetap duduk di tempatnya di antara Sesho dan Mikio. Mendengarkan.

“Terus?” tanya Sesho, “apa jawabannya?”

Mikio hanya angkat bahu lalu melirik Tsukasa, “Coba saja tanya Tsukasa. Dia kan ‘kakaknya’. Siapa tahu dia lebih tahu,” candanya. Disusul tawa Sesho.

Mereka memang teman yang menyebalkan, pikir Tsukasa.

Tapi, tampaknya dia memang harus menanyakannya langsung pada Tsukuyo. Dia mengkhawatirkan adik kembarnya yang terlalu mencolok perhatian. Bisa-bisa stalker-nya menyadari gadis itu telah pindah ke sekolah ini dan mulai membuntutinya lagi. Gawat.

Oleh karena itu, Tsukasa menghampiri Tsukuyo begitu pelajaran olahraga usai. Pemuda itu berlari menghampiri lapangan luar tepat saat bel pergantian jam pelajaran.

Dilihatnya saudari kembarnya sedang ngobrol bersama beberapa siswi lain, sembari membereskan barang-barang di lapangan. Tsukasa pun mendekatinya.

“Tsuku… bukan, maksudku Oosaki-san, boleh bicara sebentar? Sekalian kembali ke kelas?”

Tsukuyo yang tidak menyangka akan didekati kakaknya di depan umum, terbengong-bengong sesaat sebelum mengangguk.

Begitu mereka berdua berjalan bersama menjauhi lapangan, segera para siswi di belakang berbisik-bisik. Suara beberapanya terdengar hingga telinga Tsukasa, “Gosipnya, mereka berdua bersaudara lho! Kalian bisa percaya? Aku sih, nggak!”

Yang lain menyahut, “Tapi aku dengar langsung dari anak kelas sebelah, Oosaki-san bilang sendiri padanya soal mereka bersaudara!”

Yang lain menyusul, “Jadi, gosip itu sungguhan? Aku bisa tenang kalau begitu.”

“Tenang mengejar Hisakawa-san? Padahal jelas dia terlampau sulit didekati kita-kita.”

“Aku sih, lebih demen Mikio-kun. Fufu~”

“Si playboy itu? Mending Seshomaru-san ke mana-mana. Meski lebih cuek, sebetulnya dia lebih lembut sama perempuan.”

“Kalau buatku sih, paling pas Sesho-kun pacaran sama Mikio-kun saja. Hehe~” mendadak satu suara nyaring menyahut. Serempak teman-temannya ber-ooh dan aah meresponsnya, seolah-olah itu ide terbrilian yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kontan Tsukasa terbatuk-batuk, “Uhuk! Uhuk!”, saking kagetnya ia mendengar ucapan siswi barusan.

Tsukuyo menoleh ke arahnya dengan raut wajah cemas, “Nii-san kenapa? Perlu minum?” yang dibalas gelengan oleh kakaknya, tanpa berkata apa-apa—tidak bisa berkata, lebih tepatnya.

Tsukasa menggeleng-gelengkan kepalanya, memutuskan untuk menyudahi kegiatan mengupingnya. Perempuan kalau sudah bergosip seolah tiada ujungnya. Dan tiada batasannya.

Mikio dengan Sesho? Betul-betul imajinasi yang terlalu liar. Perempuan terkadang bisa lebih menakutkan, batin Tsukasa.

“Jadi, ada apa, Nii-san? Tidak biasanya Nii-san duluan yang menghampiriku,” ujar Tsukuyo, suaranya menyadarkan Tsukasa ke kenyataan.

Tsukasa menarik napas dalam-dalam, ini akan sulit dibicarakan tanpa menyinggung perasaan Tsukuyo.

“Kudengar, kau ditembak cowok lagi hari ini,” mulainya.

“…. Aah, soal itu,” jawab sang adik, “iya, mantan ketua OSIS.”

Tsukasa membalas, “Dengar—”

“—Tapi kutolak dia. Cowok yang sebelum-sebelumnya juga,” potong Tsukuyo. “Memangnya Nii-san dengar dari siapa sih? Kok, tahu?”

Tsukasa mengembuskan napas keras-keras, “Mikio.”

“Oh, pantas. Mikio-san selalu gerak cepat soal gosip,” cekikik Tsukuyo.

“Apalagi kalau sudah menyangkut kamu,” balas kakaknya serius, yang malah disusul tawa lepas Tsukuyo.

Begitu tawanya mereda, Tsukuyo gantian bertanya, “Jadi, Nii-san menghampiriku hanya untuk menanyakan ini?”

Tsukasa menggeleng, “Bukan hanya itu. Ada yang lebih penting: kurasa kau terlampau menarik perhatian, maksudku, kau memang menarik perhatian tapi ini sudah di tahap berbahaya.”

“Berbahaya? Maksudnya?”

Mereka tiba di depan pintu kelas. Tsukuyo hendak mengambil seragam gantinya di meja sebelum pergi ke ruang ganti. Begitu pula Tsukasa. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti begitu melihat situasi meja Tsukuyo: di atasnya tergeletak beberapa kuntum bunga mawar merah.

Beserta surat tanpa nama pengirim.

Tsukasa menatap lekat-lekat kedua benda itu, “Ini yang kumaksud.”

*

Surat tersebut hanya berisi satu kalimat:

“Aku bahagia kamu berada di tempat yang sama denganku sekarang. Aku bahagia cowok itu ternyata bukan pacarmu.”

Di tempat yang sama… apa itu artinya si stalker juga murid sekolah ini? Tsukasa bertanya-tanya, sementara di tangannya tergenggam shinai—pedang bambu. Ia sedang latihan sore di dojo sekolah bersama klubnya, sehari setelah kejadian surat kaleng itu.

Hanya di saat memegang shinai-lah Tsukasa merasa dapat berpikir dengan jernih. Seolah segala-gala yang di luar, menyusut dan menghilang. Otaknya bisa berputar lebih cepat dan terarah, seperti menyusun ashisabaki—teknik melangkah—dengan tepat untuk menentukan menyerang atau bertahan; untuk menarget kote, dou, atau malah men; atau sekedar mengukur kekuatan lawan yang dihadapinya.

Seringkali adik-adik kelas di klubnya mengeluh jika disuruh latihan suburi, dianggapnya hanya mengayun-ayunkan pedang yang monoton. Membosankan, mereka bilang. Tapi, justru itulah dasarnya: mengayun, berkali-kali. Hingga kedua tangannya terbiasa, bergerak tanpa dipikir, menjadi refleks tubuhnya.

Usai 100 kali melakukan suburi, disambung ashisabaki dan mengasah kuda-kuda. Lalu, yang terakhir, latih tanding.

Semuanya menjadi rutinan Tsukasa tiap harinya. Saking terbiasanya, tubuh pemuda itu justru terasa kaku jika latihan kendo dilewati begitu saja.

Makanya, kalau soal melindungi Tsukuyo dari orang berbahaya, Tsukasa cukup percaya diri. Dia merasa takkan kalah dari siapa pun asalkan ada shinai di tangannya.

Setelah melepas men dan seluruh bogu—baju pelindung—yang dikenakan, Tsukasa duduk bersimpuh di pinggir. Shinai diletakkan di sampingnya. Giliran ia menonton latih tanding anggota klubnya yang lain.

Sementara itu, riuh-rendah sorakan penggemarnya terdengar dari luar pintu. Semuanya wajah-wajah familiar yang sering dilihatnya saat latihan.

“Hisakawa-san! Kamu keren banget!!”

“Kyaaa~ pakai bogu atau nggak, tetap paling tampan!”

“Kami selalu mendukungmu, Hisakawa-kun!”

Tsukasa menghela napas, berusaha mengambil kembali konsentrasinya yang terpecah.

Anak-anak perempuan itu selalu berisik, tapi ia tak setega itu sampai mengusir mereka. Paling-paling ketua serta wakilnya yang selalu kerepotan memperingatkan para siswi itu untuk mengecilkan suara dan tidak mengganggu konsentrasi anggota yang latihan.

Hanya saja, di sudut matanya, hari ini Tsukasa melihat satu sosok berdiri jauh di belakang para penggemarnya. Ia tidak mengenali siapa itu. Yang pasti, jarang-jarang ada cowok yang menonton latihan kendonya.

“Mungkin dia baru tertarik masuk klub kendo?” saran Sesho saat istirahat siang keesokan harinya.

“Masalahnya, aku merasa nggak nyaman dengan kehadirannya di dojo. Entah kenapa.”

“Apa nih? ‘Insting’-mu yang kamu bangga-banggakan itu yang berbicara?” sambung Mikio. “Sudahlah, jadi orang jangan curigaan begitu, Tsukasa!”

Tsukasa menghela napas, “Enak saja kalau bicara. Instingku ini sudah menyelamatkanku dari bahaya berkali-kali, asal kautahu.”

Sesho menengahi, “Ya, ya. Instingmu yang keren itu. Daripada bertengkar melulu, mending kalian buruan sudahi makan siangnya. Sebentar lagi bel.”

Mikio berseru panik, “Waduh! Sudah jam segini! Aku ada urusan!”

Kontan Tsukasa dan Sesho menatapnya heran. Mikio langsung menjawab pertanyaan mereka yang belum sempat terlontar, “Sama si Penjaga Perpus. Itu lho, cewek yang berkacamata.”

Tsukasa mengangkat alisnya, “Tamaki?”

Sesho mengangguk, teringat, “Oh iya, kamu dan dia berteman sejak kecil ya, Tsukasa,” lalu menoleh ke arah Mikio, “jadi, dia cewek yang kamu dekati sekarang, Gentleman Playboy-kun? Sudah menyerah soal Oosaki-san?”

Mikio bangkit dari kursinya, menepuk-nepuk celana seragamnya yang berserakan remah-remah roti—makan siangnya melonpan dari kantin. Nyengir, dia bilang, “Oosaki-san punya bodyguard jagoan kendo sekolah sih. Aku nggak berani macam-macam sama dia.” Lalu, ia menoleh pada Sesho, “Nggak usah cemburu gitu, Sesho. Kau tetap yang paling pertama di hatiku!” balasnya, disusul kerlingan mata genit dan gelak tawa.

Tsukasa menyahut, “Jangan bicara sembarangan. Belum lama ini aku mendengar beberapa siswi punya hobi mengkhayal kau berpacaran dengan Sesho, Mikio.”

Seshomaru sekonyong-konyong tersedak hebat. Dipukul-pukulnya dadanya dengan panik.

Mikio, yang spontan membantu menepuk-nepuk punggung Sesho, berujar heran, “Seriusan!??” yang setelah dibalas anggukan oleh Tsukasa, langsung berkata lagi, “Celaka. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat dapat cewek baru nih, supaya nggak dipacarin sama Sesho! Doakan aku supaya berhasil mendapatkan Penjaga Perpus, yak!”

Lalu, pemuda itu enyah begitu saja.

Sementara Sesho sibuk meneguk air banyak-banyak, Tsukasa berkata, “Kurasa Mikio bakal gagal. Dia bukan tipe cowok yang disukai Tamaki.”

Sesho mengangguk setuju, “Ya, soalnya jelas-jelas si Penjaga Perpus itu sudah punya cowok yang disukainya sejak lama.”

Tsukasa menatap Sesho bertanya-tanya, “Siapa?”

Sesho hanya menjawab dengan helaan napas panjang. “Kamu tahu, dengan sifat yang sangat bertolak belakang, kamu dan Mikio sebenarnya punya satu persamaan?”

Tsukasa mengerutkan kening.

“Kalian sama-sama payah soal percintaan,” tukas Sesho, mengakhiri pembicaraan.

*

Bunga mawar, pernak-pernik kecil semacam jepit rambut, bros, anting-anting, dan kini… blus terusan. Ditemani setumpuk kertas berisi surat dan puisi cinta yang saking banyaknya mesti dijejalkan ke dalam loker. Dan semuanya ditulis dengan tulisan tangan yang sama.

Tubuh Tsukuyo bergetar hebat di samping kakaknya, menatap nanar loker sepatunya yang mendadak penuh.

Saat itu sudah petang, sekolah sepi. Karena beberapa minggu belakangan ini tindakan si stalker bereskalasi makin parah, orangtua Tsukasa bersikeras agar putranya terus menemani Tsukuyo, baik pergi maupun pulang sekolah. Bahkan di jam makan siang, gadis itu tidak boleh lepas dari pengawasan.

Tsukasa mengangkat baju terusan tanpa lengan bercorak bunga-bunga matahari itu dengan kedua tangan. Ukurannya pas dengan Tsukuyo.

Nii-san…” lirih Tsukuyo. Jari-jemarinya merenggut erat kemeja seragam kakaknya.

Rahang Tsukasa mengeras. Marah yang tertahan.

“Ini sudah kelewatan. Sebaiknya kita serius mencari siapa dalangnya. Supaya kau bisa bersekolah dengan tenang juga, Tsukuyo,” jelas Tsukasa, meraup semua pemberian si stalker dari loker sepatu adiknya, merobek-robek setiap surat dan puisinya, dan membuangnya ke tempat sampah terdekat bersama blus terusan itu.

Tsukuyo bahkan sudah tidak kuat memandang benda-benda itu. Tubuhnya akan langsung meringkuk ketakutan tiap kali melihat tulisan tangan yang kini sudah dikenalinya.

“Maaf, latihan kendoku kelamaan. Kita jadi pulang kesorean,” ujar Tsukasa. Tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Tsukuyo, menenangkannya.

Tsukuyo menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Aku sudah tidak apa-apa, Nii-san. Mari, sebaiknya kita segera pulang sebelum gelap.”

Mereka berjalan bersisian. Cuaca cerah petang itu, meski musim gugur telah mendekati akhir.

Tangan Tsukasa tidak pernah lepas dari shinai yang digendong di sebelah bahunya. Instingnya seharian ini berisik tanpa henti, seperti alarm yang menyala akibat bahaya.

“Sesho dan Mikio bilang instingku ini mengada-ada,” ujar Tsukasa sambil mengedikkan bahu, berusaha membuat adiknya tertawa.

Berhasil, Tsukuyo tertawa tiap kali kedua nama sahabat karibnya itu disebut. Gadis itu sering bilang kalau Sesho dan Mikio mirip tim lawak. “Terkadang aku iri dengan persahabatan Nii-san bersama Seshomaru-san dan Mikio-san. Kalian terlampau akrab. Seandainya aku juga punya sahabat seperti mereka.”

Tsukasa langsung menegaskan, “Jangan, jangan. Sahabat seperti mereka cuma bakal menyusahkan hidupmu. Kujamin!”

“Tuh kan, itu yang kumaksud ‘terlampau akrab’, Nii-san,” cekikik Tsukuyo.

Jalanan di rute pulang mereka sepi. Tak terlihat siapa pun di sekitar.

Namun, Tsukasa mendengar ada langkah-langkah tak jauh di belakang. Lagi-lagi instingnya berdering memperingatkan. Pemuda itu segera menggenggam shinai­-nya erat.

“Hraaaaaahh!! Mati kau!!”

Pekikan marah terdengar, membuat Tsukuyo terkejut seketika. Namun, Tsukasa sudah siap sedia. Ditariknya shinai dari pundak, diayunkan keras-keras tanpa dilepas dari kain penutupnya, dan mengenai sesuatu—seseorang.

Bunyi benda logam terjatuh menyadarkan Tsukasa bahwa penyerang itu, cowok yang mengenakan seragam sama dengan mereka itu, serius berusaha membunuh Tsukasa dengan pisau lipat.

Nii… Nii-san…” lirih Tsukuyo terbata-bata.

Tidak salah lagi, dia memang si stalker.

Tsukasa menendang jauh-jauh pisau lipat si stalker, lalu mengajaknya bicara dengan shinai yang masih teracung mengancam, “Apa maumu sebetulnya? Berani-beraninya kau membuat adikku ketakutan!”

Cowok yang masih tertelungkup di aspal jalanan itu tampak gemetar hebat. Perawakannya kecil, kurus, wajahnya pucat dengan kacamata tebal yang retak di pinggiran melapisi matanya yang sayu.

Namun, tak disangka oleh kedua bersaudara itu, sang stalker malah tertawa kecil, “Ternyata kakaknya, toh. Ooh… hanya kakak, toh. Aku sungguh senang,” ujarnya sambil menengadah: wajahnya berurai air mata dan keringat dingin.

Tsukasa segera mengenalinya, “Kau… cowok yang menonton latihanku di dojo waktu itu!”

Namun, tiba-tiba ia berteriak histeris, “Aku hanya menyukainya!! Aku sangat, sangat, sangat menyukai Oosaki-san! Apa salahnya dengan itu!? Tapi, aku seperti ini: bertampang jelek, berkacamata, menyedihkan! Mana pantas aku mendekati perempuan seanggun Oosaki-san!?”

Tsukasa beringsut sedikit demi sedikit, dengan sikap waspada yang tanpa celah, berdiri di depan Tsukuyo, merentangkan tangannya yang bebas di hadapan gadis itu untuk melindunginya.

Tanpa melihat sosoknya pun, Tsukasa tahu adik kembarnya itu gemetar ketakutan.

“Tapi mestinya tidak begitu caranya, Nak,” sahut sebuah suara baru. Suara yang teramat dikenal oleh Tsukasa maupun Tsukuyo.

Tou-san!!” serempak Tsukasa dan Tsukuyo.

Yang dipanggil malah cengar-cengir, “Halo, Anak-Anak. Aku cemas kalian belum pulang sesore ini, makanya ingin jemput. Malah bertemu pemandangan kacau begini.”

Ayah si kembar memungut pisau lipat yang terpental jauh, hampir tercebur ke lubang selokan. Pria itu kemudian berjalan perlahan-lahan, menghampiri si stalker.

Merasa terancam dengan kehadiran orang dewasa, si stalker mendadak merangkak mundur. Tubuhnya gemetar hebat. Ia meringkuk dalam-dalam, seolah ingin menyatu dengan aspal.

“Ti-ti-ti-tidak… Ja-ja-jangan mende-de-kat…” gagapnya saat Shou, ayah si kembar, mendekatinya dengan tangan terulur.

Tepat ketika jemari Shou menyentuh kepalanya, ia langsung menjerit keras. Suaranya melengking. Wajahnya berurai air mata dan keringat. Tsukasa yang melihat pemandangan itu berpikir kalau cowok yang belum diketahui namanya itu teramat sangat menyedihkan.

“Aku tidak akan menyakitimu, Nak,” ujar sang ayah, menenangkan. Namun, tampaknya ucapan tersebut tidak didengar. Suara yang berasal darinya hanya sesenggukan tangis dan kata-kata tanpa arti.

Tsukuyo yang melihat pemandangan itu, merasa iba. Gadis itu berbicara pada si stalker, masih dengan tetap menjaga jarak. “Maaf, tapi yang kamu lakukan itu membuatku takut. Bisa kauhentikan itu?”

Si stalker mengangkat wajahnya sedikit, histerianya berhenti sesaat kala memandang wajah Tsukuyo. Namun, dengan segera ia menunduk lagi. Dan gemetaran lagi.

Ayahnya menghela napas, lalu berkata pada Tsukasa, “Tsu, bisa gendong dia? Kuat ‘kan?”

Bukannya menjawab, Tsukasa malah bertanya balik, “Mau dibawa ke mana?”. Tidak mungkin ayahnya berpikiran membawanya ke polisi kan?

Ayahnya tersenyum, “Ke rumah kita. Aku ingin memberinya nasihat cinta.”

“Haaahh!!?” heran Tsukasa. “Putramu sendiri saja tidak pernah diberi nasihat cinta, kenapa malah orang nggak dikenal begini?”

Namun sang ayah hanya tertawa santai, “Salah kamu sendiri nggak pernah meminta nasihatku. Haha~”

Tsukasa hanya membalasnya dengan helaan napas panjang, lalu berjalan menghampiri si stalker yang masih sesenggukan, “Jangan berontak lho, nanti kujatuhkan.”

Mendengar ancaman dari kakaknya, Tsukuyo berkata khawatir, “Jangan kasar-kasar padanya, Nii-san.”

“Aku takkan kasar asalkan dia juga tidak kasar. Masalahnya, dia sudah kasar kepadamu. Itu yang lebih tidak bisa kuampuni,” lalu mengangkat tubuh ringkih si stalker itu dengan mudahnya, ke sebelah pundak, seolah-olah satu tubuh manusia tambahan tidak menjadi beban apa-apa.

Ayahnya menyahut, “Sudah, sudah. Berantemnya dilanjutkan di rumah saja nanti,” yang disusul tawa santai.

Tsukuyo yang membalas, panik, “Tou-san! Jangan memperburuk suasana!”

Lalu, mereka berjalan beriringan.

*

Saat itu latihan klub pagi. Tsukasa sudah bersiap-siap di dojo, mengenakan bogu lengkap dengan nama keluarganya.

Di hadapannya, sesosok pemuda ringkih mengenakan bogu cadangan sekolah. Tangannya gemetaran saat memegang shinai.

Tiba-tiba terlintas di pikiran Tsukasa, bahwa ini ide bagus: latih tanding sebagai pelampiasan emosi si stalker.

Malam itu, di rumah keluarga Hisakawa, ayahnya dengan santai berkata, “Kalau kamu butuh pelampiasan, jangan ke perempuan. Kan ada putraku. Kamu bisa menantangnya latih tanding kendo. Atau sekalian minta diajari.”

Tsukasa serta-merta tidak setuju, “Kenapa harus aku? Dan kenapa harus kendo?”

Ayahnya menatapnya, “Bukannya kamu sering bilang kendo membuatmu tenang? Kenapa tidak kamu coba menularkannya ke orang lain?”

Dan Tsukasa hanya menghela napas, “Oke. Datang saja ke dojo sekolah kapan pun kamu mau,” bilangnya, kepada si stalker yang meski sudah tidak menangis dan gemetaran, tetap masih menunduk melulu tiap diajak bicara.

Latih tanding dimulai, dengan Tsukuyo duduk di pinggir dojo, menonton dalam kesunyian. Gadis itu merasa harus melihat baik-baik pertandingan ini.

“Baik, mari kita mulai,” ujar Tsukasa, lirih tapi tegas hingga terdengar jelas ke seluruh penjuru dojo.

Teman satu klubnya yang bertindak sebagai wasit, mengumumkan, “Latih tanding antara Hisakawa melawan—”

Ah ya, pikir Tsukasa. Dia bukan stalker lagi. Dia bukan penjahat yang mesti diwaspadai lagi. Dia sudah menjadi lawan di dojo, yang mungkin akan menjadi kawan di luar. Namanya….

 

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar