Cerpen yang saya buat atas permintaan Tsukiha Tsukiharu, Agustus 2020. Ditulis dengan gaya light novel jepang. Drama, school-life, romance, siblings.
Saat Hisakawa Tsukasa masuk ke kelas 2-2, ia merasa ada
antusiasme yang berbeda dari biasanya di kelasnya. Tsukasa segera menuju bangkunya
dan meletakkan tasnya. Dua kawan baiknya, Seshomaru dan Mikio, segera bergabung
dengannya dan menginformasikan hal menarik.
“Katanya akan ada murid baru,” Sesho, lelaki bertubuh besar dan
jagoan tim basket, memulai topik sembari duduk di kursi kosong di depan
Tsukasa.
“Ho~ tak heran kenapa kelas berasa lebih antusias,” Tsukasa
mengangguk, “cewek?” pemuda itu bertanya.
“Yeps,” Mikio, cowok paling pendek di kelas yang terkenal
sebagai gentleman playboy, mengangguk, “dan dengar
ini: katanya dia pindahan dari Himegasaki, lho!”
Himegasaki? Tsukasa merasa familiar dengan nama itu. Ah, tentu
saja. Sekolah khusus perempuan yang konon hanya berisi ojou-sama, anak
orang kaya dan genius. Sekolah khusus tuan putri. Sekolah itu ada di kota
sebelah jadi banyak juga siswi di kota ini yang bersekolah di sana.
“Kenapa ada anak Himegasaki ke sekolah mediocre begini?” Tsukasa bertanya balik.
“Mediocre, katanya,”
Seshomaru tertawa. “Meski ini sekolah negeri, jangan remehkan reputasi kita
gitu dong. Kamu sendiri baru saja memenangkan turnamen prefektur kendo.”
“Nggak, lah! Dibandingkan Himegasaki, kita ini memang sekolah
biasa, kan?” Mikio mengelak. “Sekolah ini terkenal cuma karena menang turnamen.
Himegasaki, dari sejak dibangun, itu sekolah untuk orang elite.”
Himegasaki, eh? Tsukasa menghela napas. Ia tahu seseorang yang
bersekolah di sana. Lamunan Tsukasa dan obrolan ketiga laki-laki muda itu
kemudian terinterupsi bel sekolah dan beberapa menit kemudian, wali kelas
mereka, Keichirou-sensei, memasuki
kelas.
“Oke, sudah duduk semuanya?”
Keichirou-sensei
menatap seisi kelas, kemudian mengangguk, “Sebelum aku melakukan absensi, akan
kuperkenalkan murid baru di kelas ini. Masuklah, Oosaki-san.”
Seorang gadis memasuki kelas penuh percaya diri. Rambut panjang
hitamnya tergerai indah dan gerakannya anggun. Entah kenapa ia masih mengenakan
seragam Himegasaki, blazer biru muda dan rok selutut hitam.
“Nama saya Oosaki Tsukuyo. Salam kenal, semuanya.”
Ia membungkukkan badan. Saat berdiri kembali, kedua matanya yang
terlapisi kacamata, mengecek seisi kelas.
“Kalian bisa berkenalan lebih lanjut nanti saat homeroom
selesai,” Keichirou-sensei
melanjutkan, “Oosaki-san, kau bisa
duduk di sebelah Tsukasa,” ujarnya, menunjuk bangku kosong di sebelah Tsukasa.
Sang murid baru menatap bangku kosong itu lalu matanya bertemu
dengan Tsukasa. Wajah gadis itu tampak terkejut sejenak, namun kemudian
tersenyum lebar. Tsukasa sendiri juga terkejut, namun ia hanya diam, berusaha
tidak menunjukkan ekspresi. Saat akhirnya Tsukuyo duduk di bangku di sebelah
Tsukasa, Keichirou-sensei mulai
memanggil nama-nama muridnya, mengecek siapa yang hari ini hadir.
“Lama tak jumpa, Nii-san,”
Tsukuyo berbisik, cukup keras untuk didengar Tsukasa namun tak terlalu keras
sampai orang lain mendengarnya.
Tsukasa melirik ke arahnya dan memberikan senyuman kecil, “Sejak
SD, kan ya? Aku dengar dari Ayah kau masuk Himegasaki, tapi aku tak tahu kau
pindah ke sini.”
“Ah, ada alasan kenapa aku harus meninggalkan Himegasaki,” wajah
Tsukuyo tampak suram.
Tsukasa merasa telah menginjak ranjau jadi ia segera mengganti
topik, “Kulihat kau sudah semakin besar,” ujarnya sembari tersenyum kecil.
“Nii-san, itu sekuhara
lho,” Tsukuyo membalas dengan cekikik.
“Hoi, Tsukasa! Jangan coba menggoda anak baru di tengah homeroom,”
Keichirou-sensei berteriak marah.
“Hahaha, maaf, Sensei,”
balas Tsukasa ringan. Ia kemudian menatap gadis di sebelahnya, “Aku masih perlu
tahu kenapa kamu bisa ada di sini.”
Tsukuyo hanya mengangguk dengan wajah masam.
*
Tsukasa dan Tsukuyo lahir di hari yang sama. Sampai kelas enam
SD, keduanya selalu bersama dan memiliki nama keluarga yang sama. Tsukasa ingat
benar betapa tomboinya adik kembarnya itu dulu. Gadis yang dulunya berambut
pendek dengan kuncir samping itu selalu menyeret Tsukasa ke berbagai masalah
hingga tersesat di berbagai tempat.
Namun setelah orangtua mereka bercerai, keduanya harus berpisah.
Melihat anak kecil itu tumbuh menjadi gadis dengan pesona yang mencengangkan
ini membuat Tsukasa tak percaya bahwa ialah Tsukuyo. Namun senyuman tengilnya
masih hadir setiap Tsukuyo membuat candaan di tengah obrolan perkenalan dirinya
dengan siswi-siswi di kelas 2-2.
“Kau tampak akrab dengan anak baru itu, Tsukasa,” Sesho
bertanya, tertarik.
Bel istirahat berdentang. Sementara Tsukasa dan kedua sobat
karibnya mulai membuka bekal masing-masing mengelilingi meja Tsukasa, segerombolan
murid perempuan segera mengerumuni si anak baru sehingga Tsukasa tak ada
kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya.
Jagoan tim kendo itu hanya mendesah dan mengeluarkan kotak bekalnya.
Pertanyaan Sesho mungkin adalah hal wajar mengingat ia dan Tsukuyo
tadi sempat berbincang sejenak. Memang tak ada yang dengar isi pembicaraan
mereka, namun Keichirou-sensei sempat
menegur, membuat teman-teman sekelas kontan mencurigai sesuatu.
Tsukasa berpikir sejenak dalam diam, sebelum menjawab, “Aku ini
kakaknya.”
“Hahahaha. Ya, oke, tentu saja,” gelak Mikio.
“Sudahlah, jangan bercanda kamu. Mana mungkin ada adik muncul
tiba-tiba dan jadi teman sekelasmu. Kamu ini bukan protagonis novel,” kali ini
Seshomaru menyahut.
Melihat kedua kawannya tak percaya dengan jawaban yang ia
berikan, Tsukasa hanya tersenyum, lalu melanjutkan, “Aku kagum dengan bagaimana
cepatnya dia beradaptasi.”
Sembari melahap tamagoyaki
terakhirnya, Tsukasa melirik kerumunan murid perempuan di bangku sebelah.
Tsukuyo tampak ahli dalam meladeni banyak orang sekaligus. Saat sibuk curi
dengar, Tsukasa terkejut mengetahui Tsukuyo sudah mengingat nama-nama orang
yang mengerumuninya.
“Oosaki-san ini bibit
cewek populer sih,” Seshomaru menurunkan suaranya, “seperti si Nanami dari
kelas 2-1. Tipe cewek yang bisa membuat kebanyakan orang terpesona.”
“Selain cantik, Oosaki-san
juga ramah. Siapa sih yang tak mau dekat dengannya? Aku juga mau,” Mikio
tertawa kecil, “kamu pikir aku bisa?”
“Gentleman Playboy sepetimu bisa dekat
dengan semua cewek di sini. Jadi sepertinya itu bukan hal yang tidak mungkin,”
Sesho menjawab.
Tsukasa tertawa kecil sembari membereskan kotak bekalnya. Ia
kemudian menarik dua buku dari tas dan bangkit dari bangkunya.
“Aku mau ke perpustakaan dulu,” Tsukasa memberi senyum kecil,
“Dan, Mikio, kenapa kau tidak coba saja?”
Mikio hanya menyeringai sembari melambaikan tangan pada Tsukasa
yang hendak keluar kelas.
Namun tiba-tiba Tsukuyo berdiri, “Ah, Hisakawa-san! Bisa tunggu sebentar...”
Tsukasa menghentikan langkahnya dan melihat gadis itu berpamitan
pada kerumunan kawan barunya. Tsukuyo kemudian menghampiri Tsukasa, “Sensei bilang aku bisa meminta bantuanmu
kalau butuh bantuan. Bisa tidak kamu pandu aku ke perpustakaan? Aku juga ingin
melihat koleksi sekolah ini.”
“Eh, tentu saja. Aku juga mau ke perpustakaan,” Tsukasa
mengangguk, keduanya pun meninggalkan kelas.
Seisi kelas 2-2 tampak terkejut dengan interaksi mereka. Mereka
saling kenal? Ah, mana mungkin? Beberapa murid perempuan mulai berspekulasi,
namun mereka tahu tak mungkin dua orang yang baru pertama kali bertemu hari ini
punya hubungan.
“Menurutmu yang dibilang oleh Tsukasa tadi sungguhan?” Mikio
bertanya pada Sesho. Sesho hanya mengedikkan bahu.
*
Saat berjalan menuju perpustakaan, Tsukasa dan Tsukuyo sama-sama
menyadari bahwa mereka menarik perhatian murid-murid lain. Beberapa di
antaranya, bisikan dan tatapan kagum.
“Kau sudah terkenal bahkan sebelum memasuki kelasku, lho,”
Tsukasa memulai. “Tampaknya kecantikanmu menarik perhatian banyak orang.”
Tsukuyo tersenyum, “Mereka cuma melihatku karena masih memakai
seragam Himegasaki.” Ia melanjutkan, “Besok kalau aku sudah dapat seragam
sekolah ini, mereka pasti lupa padaku.”
“Mana mungkin. Kamu pindah dari Himegasaki saja sudah bikin
orang penasaran,” Tsukasa membalas, “sampai si Sesho bilang kamu ini bibit
cewek populer.”
“Di sekolah ini, Nii-san
juga populer, kan?” Tsukuyo menatap Tsukasa dengan tatapan iseng. Senyuman
jahil gadis itu masih sama seperti saat mereka kecil.
“Aku cuma menang turnamen kendo tingkat prefektur,” jawab
Tsukasa ringan.
“Itu hebat lho,” Tsukuyo memuji, “Tadi Kumahara-san sampai bilang aku kudu hati-hati
sama tiga cowok playboy di kelas ini.”
Tsukasa tertawa. Mikio dan Seshomaru terkenal sering gonta-ganti
pacar di kelas. Namun ia masih tak percaya kalau dirinya dianggap termasuk grup
‘Trio Playboy’ tersebut padahal belum pernah punya pacar.
“Ngomong-ngomong,” si kakak mencoba mengubah arah pembicaraan,
“aku tadi bilang ke Sesho dan Mikio kalau aku kakakmu,” Tsukasa memulai, “tapi
kedua kawanku itu tidak percaya dan menganggapku bercanda.”
“Hm.... Wajar sih,” Tsukuyo mengangguk, “tapi kayaknya itu ide
bagus. Bisa nggak kita rahasiakan hubungan kita ini?”
“Kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.
“Aku ingin Nii-san
jadi bodyguard rahasia,” jawab Tsukuyo.
Tsukasa menaikkan alisnya. Apa yang terjadi dan kenapa ia butuh bodyguard
rahasia? Namun Tsukuyo tidak lagi melanjutkan percakapan tersebut dan tanpa disadari,
keduanya sudah sampai perpustakaan.
*
Perpustakaan tampak sesepi biasanya, hanya ada dua pustakawan
yang sedang berjaga dan empat pengunjung. Saat Tsukasa dan Tsukuyo memasuki
ruangan, pustakawan yang sedang bertugas menurunkan buku, berbalik badan dan
memberikan senyumnya pada Tsukasa.
“Kau sudah menyelesaikan buku itu?” sang pustakawan, gadis berkacamata
dari kelas 1-1, bertanya pada Tsukasa.
Tsukasa meletakkan buku pinjamannya di meja dan dengan cepat
sang pustakawan memproses pengembaliannya.
“Halo, Tamaki. Sepertinya aku harus berhenti meminjam dulu,”
Tsukasa membalas. “Ngomong-ngomong, kau ingat Tsukuyo?”
Nanami Tamaki memiringkan kepalanya, “Adikmu? Bukannya dia
pindah setelah orangtua kalian bercerai?”
Tsukasa dan Tamaki sudah berteman sejak kecil dan karena itu,
tentu saja ia kenal Tsukuyo. Gadis berkacamata itu lalu menatap gadis di
sebelah Tsukasa dan menatapnya terkejut.
“Kamu Tsukuyo-chan?”
Tamaki memastikan.
Yang dipanggil tampak bingung. Namun Tsukasa menepuk bahu
adiknya, “Kau tak ingat teman kecilmu, Tsukuyo?”
Tsukuyo menatap kakaknya sebelum menatap balik gadis berkacamata
itu. Tamaki tertawa kecil sebelum ia melepaskan kacamatanya, “Dulu aku tidak
berkacamata, sih.”
“Ah, ini Tama-chan?”
Ia menatap kakaknya lagi, “Woah, maaf! aku tak mengenalimu.
Sudah tiga tahun, sih.”
“Hahaha, kalau Tsukasa tidak membawa namamu lebih dahulu aku
mungkin juga tak ingat,” Tamaki tertawa kecil, “jadi anak Himegasaki yang
pindah ke sini itu kamu.”
“Aku mau cek buku dulu ya? Ada buku yang aku cari,” Tsukasa
meninggalkan kedua perempuan itu sembari melambaikan tangan.
“Aku tak menyangka Tama-chan
masih dekat dengan Nii-san,” Tsukuyo
berbisik, “Masih naksir kakak juga?”
Wajah memerah Tamaki menjadi jawaban yang cukup untuk Tsukuyo.
*
Saat Tsukasa akhirnya tiba di rumah, ia melihat dua orang
familiar di ruang tamu. Miyako sepertinya sedang di dapur sebab ia dapat mendengar
suara siulan ibu tirinya dari sana.
“Kaa-san, lama tak
jumpa,” Tsukasa menyapa.
Wanita muda dengan busana kantoran yang duduk di ruang tamu
adalah ibu kandung Tsukasa dan Tsukuyo. Ia tampak sebal namun tersenyum saat
melihat sosok putranya. Di sebelahnya, duduk Tsukuyo.
“Kamu makin tinggi saja, Tsukasa-kun,” wanita muda itu memulai, “benar kata Tsukuyo, kamu makin
tampan. Sudah punya pacar?”
Tsukasa tertawa kecil, “Belum sama sekali. Ngomong-ngomong,
kenapa ada di sini? Apa ada kaitannya dengan pindahan Tsukuyo ke sekolahku?”
“Hm.... Begitulah. Aku berharap dapat menjelaskan ini lebih dulu
ke ayahmu, tapi tampaknya ia akan pulang terlambat lagi,” ibunya mendengus
kesal, “Miyako-san menawarkan makan
malam sih, tapi aku tak bisa ikut. Jadi sepertinya aku jelaskan saja padamu.”
Tsukasa mengangguk dan duduk bersama ibu kandung dan adik
kembarnya.
“Ah, Tsu-chan, selamat
datang,” Miyako muncul dari dapur membawa nampan berisi teh dan donat, lantas
meletakkannya di atas meja. “Maaf ya, Hanami-san. Shou-chan nampaknya
tidak bisa pulang cepat.”
“Aku tahu kok betapa payahnya laki-laki itu soal waktu,” sang
ibu kandung mendengus kesal, namun nadanya tidaklah marah.
Bagi Hanami, ibu si kembar, mantan suaminya serupa sahabat
karib. Tsukasa sering dengar cerita bagaimana ayahnya sering menolong sang ibu
seburuk apa pun situasinya. Termasuk saat ia hamil si kembar oleh laki-laki
lain. Hanami tampak mengingat mantan suaminya itu dan tersenyum.
“Miyako-san, aku akan
cerita apa keperluanku di sini jadi tolong sampaikan ini ke Shouji, ya?” Hanami
menatap Miyako serius. Ibu tiri Tsukasa membalasnya dengan anggukan.
“Uhm.... Boleh aku saja yang cerita?” Tsukuyo menyela, “soalnya
ini kan tentang aku.”
Hanami menepuk bahu anak perempuannya, lalu mengangguk.
“Ada orang yang stalking aku di
Himegasaki,” Tsukuyo memulai, “Awalnya sih cuma mengikuti. Tapi beberapa minggu
yang lalu stalker ini mulai membuatku tidak nyaman. Ia mulai
mengirim surat kaleng dan foto-foto aneh. Bahkan barang-barangku mulai
menghilang. Saat Mama melaporkannya ke pihak sekolah, mereka bilang tak akan
melakukan apa-apa.”
“Eh? kenapa?” Tsukasa tampak terkejut.
“Mereka tak mau reputasi Himegasaki jatuh karena membiarkan
muridnya terkait skandal, kan?” Miyako menyela.
“Miyako-san tahu soal
ini?” Ibu Tsukuyo tampak terkejut.
“Aku dulu bersekolah di Himegasaki,” jawab Miyako sambil
tersenyum kecil.
“Iya. Mereka bilang tak akan melakukan apa-apa. Bahkan mereka
memaksaku untuk merahasiakan masalah ini,” Tsukuyo menghela napas.
“Karena aku merasa sekolah itu tidak aman lagi, aku membawanya
ke sini,” Hanami mendesah. “Aku dan suamiku sedang mencari rumah di sekitar
sini. Namun suamiku malah dapat pekerjaan di Kyoto selama satu bulan. Karena kami
tidak bisa meninggalkan Tsukuyo sendirian dalam masalah ini, aku berharap dapat
menitipkan Tsukuyo padamu.”
“Shou-chan mungkin tak
bisa diandalkan, tapi Tsu-chan itu
atlet kendo. Dia pasti bisa menghajar stalker itu,”
Miyako tertawa kecil. “Aku akan menyiapkan kamar di atas. Ayo, Tsukuyo-chan.”
Miyako bangkit dari duduknya, lalu tiba-tiba menarik tangan
Tsukuyo. Tsukuyo yang tak menyangka akan mendapat respons seperti itu hanya
bisa pasrah diseret ibu tiri Tsukasa. Tsukasa tertawa kecil melihat keduanya.
“Bagaimana kabarmu, Tsukasa-kun?”
tiba-tiba Hanami bertanya.
“Hm...? Aku baik-baik saja. Kenapa bertanya begitu?” Tsukasa
tampak bingung.
“Aku masih menyesal harus memisahkan kalian berdua,” Hanami
berkata.
“Kaa-san, aku tidak
apa-apa,” Tsukasa menjawab enteng, “Tou-san
menceritakan soal kalian berdua saat aku masuk SMP. Ayah bilang meski kalian
sahabat dari kecil, ia sadar bahwa kalian tidak saling mencintai. Aku sudah
ikhlas menerima keputusan kalian.”
Hanami tertawa kecil. Wanita muda itu lalu mengambil sepotong
donat di meja, “Tsukuyo sempat tak terima saat aku menikah dengan suami baruku.
Tapi sama sepertimu, ia kemudian mengerti. Aku benar-benar bahagia diberkati
anak-anak baik seperti kalian.”
Usai memasukkan donatnya ke mulut dan mengunyahnya, ia
berkomentar, “Masakan Miyako-san enak
juga. Sepertinya aku akan tetap di sini sampai makan malam.”
Tsukasa bangkit, “Kalau begitu aku ke kamarku dulu, ya?”
Namun Hanami ikut bangkit, “Aku ingin tahu seperti apa kamarmu.”
Tsukasa nampak terkejut tapi hanya tersenyum, “Ayo kalau begitu.
Aku ingin tahu apa benar anak cowok akan berdebar-debar saat seorang ibu
memasuki kamarnya.”
Keduanya tertawa sambil meninggalkan ruang tamu.
*
Seminggu berlalu semenjak Tsukuyo tinggal bersama keluarga Tsukasa.
Melihat kakak kembarnya baru bangun dengan rambut berantakan menjadi rutinitas
sehari-hari yang gadis itu sukai. Sambil menyantap sup miso buatan Miyako, ia
menatap kakaknya berusaha menata rambutnya.
“Kau sudah terbiasa dengan sekolahmu, Tsukuyo?”
Di hadapan Tsukuyo, laki-laki yang rambutnya sama liarnya dengan
Tsukasa bertanya dari balik koran yang ia baca. Shouji Hisakawa, ayah mereka.
Ia ingat benar keramahan dan kebaikan sang ayah.
“Menyenangkan,” jawab Tsukuyo, “lebih santai daripada sekolah lamaku.”
“Aku tak paham kenapa Hanami-chan
memaksamu masuk ke sekolah seketat itu,” Shou-san menggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian meminum segelas kopi
yang disediakan istrinya.
“Shou-chan, sudah
kubilang tata rambutmu sebelum berangkat kerja!” Miyako muncul dari dapur dan
dengan sigap mulai berusaha menjinakkan rambut suaminya. Tsukuyo menatap
pasangan suami-istri itu dengan senyuman. Ibu Tsukuyo mungkin tak akan mau
melakukan itu baik pada dirinya maupun Shou-san.
“Yang paling penting sekarang kamu bisa bersenang-senang. Masa
muda cuma datang sekali. Kalau bukan karena ibumu, mungkin aku sudah memecahkan
rekor punya 108 pacar,” Shou tertawa keras namun tawa itu terhenti berkat
tangan Miyako yang menarik-narik rambut suaminya begitu keras.
“Tapi berkat ibu juga kau bisa dapat pekerjaan sebagai editor,”
Tsukasa mengingatkan.
Cerita itu sudah didengar oleh si kembar berkali-kali. Cerita
masa muda orangtua mereka dengan dua versi berbeda. Kedua orangtua mereka suka
menceritakan masa lalu, memandang masa itu sebagai masa terbaik sekaligus
terburuk.
“Aku sudah terlambat,” Tsukasa terburu-buru menyelesaikan
sarapannya dan bangkit dari meja makan. “Aku berangkat dulu~!”
“Hati-hati di jalan!” Miyako melambaikan tangan.
“Tunggu, Nii-san, aku
ikut!” Tsukuyo menghabiskan makanannya namun sang kakak malah menatap Tsukuyo
aneh.
“Kamu biasanya tidak berangkat sepagi ini, kan?” tanyanya heran.
“Aku ada keperluan pagi ini jadi tidak bisa mengantar Tsukuyo,”
Shou menyela, “jadi kau berangkatlah bersamanya. Lebih aman, kan?”
Tsukasa mengacungkan jempol. Kalau dipikir-pikir, sepertinya ini
kali pertama keduanya berangkat sekolah bersama. Sejak Tsukuyo tinggal di sini,
Shou selalu mengantar Tsukuyo ke sekolah setiap hari. Gadis berambut panjang
itu masih belum berani berangkat sendirian meskipun untuk sementara waktu
ancaman stalker masih belum kembali.
Setelah berpamitan, keduanya melangkah keluar, menembus
dinginnya pagi. Di jam segini, biasanya hanya orang-orang yang punya jadwal latihan
klub pagi yang tampak di jalanan menuju sekolah. Namun, Tsukuyo tetap menyadari
dengan rasa tidak nyaman bahwa banyak orang memperhatikan mereka berdua.
“Nii-san,” Tsukuyo
berbisik, “sepertinya hari ini akan ada gosip baru….”
Tsukasa yang mengerti maksud adiknya, kontan menutupi wajahnya
dengan kedua telapak tangan, tanda pasrah.
*
Tsukasa sadar dirinya tak berhak berpikiran begini, tapi tetap
saja, ketika istirahat siang itu Tsukuyo tiba-tiba didekati beberapa anak
perempuan yang ia tahu adalah anggota-anggota fanclub-nya, ia mendadak ingin melarang adik kembarnya itu perg.
“Nii-san, aku pergi
dulu sama mereka ya,” pamit Tsukuyo.
“Oke,” balas pemuda itu, mengalah karena tahu melarangnya justru
akan memperkuat kecurigaan orang-orang.
Tsukasa tahu, gadis-gadis di fanclub-nya
tidak ada yang berniat jahat. Mereka memang ingin memonopoli Tsukasa, semacam
idola-idola di teve, tapi tidak sampai akan menjahati orang lain.
Setidaknya, itu yang diyakini Tsukasa.
Dengan pikiran berkecamuk, Tsukasa meneruskan makan siangnya
sendirian. Tak lupa ia menutup kotak bento
adiknya yang tergeletak ditinggalkan begitu saja.
Ternyata tidak perlu lama ia menunggu, Tsukuyo sudah kembali
saja. Tidak perlu ditanya, Tsukuyo juga langsung berbicara, “Mereka bertanya
apa aku pacar Nii-san atau bukan.”
Benar tebakan Tsukasa, meski rasanya kaget juga mengetahui
tebakannya itu tepat.
“Lalu…?”
“Kujawab bukan.”
Sungguh jawaban yang tanpa basa-basi, pikir Tsukasa.
“… Oke,” balas Tsukasa singkat.
Tsukuyo melanjutkan, tangannya membuka kotak bento yang tadi dirapikan Tsukasa,
hendak melanjutkan makan siangnya yang tertunda, “Aku sampai ingin tertawa
tadi. Bisa-bisanya ada yang menyangka kita berpacaran. Kubilang saja kita
bersaudara. Kembar, malah.”
Tsukasa kontan terkekeh membayangkan seperti apa reaksi para
siswi tadi.
Tsukuyo menyusul terkikik, “Lucu kan, Nii-san? Kita segitu tidak miripnya?”
Kakaknya hanya angkat bahu, “Mungkin. Sesho dan Mikio saja
langsung nggak percaya pas kubilang soal itu. Katanya aku membual. Kurasa
mereka nggak bakal percaya selama-lamanya kalau kau nggak ikut angkat bicara
juga ke mereka,” imbuhnya.
“Tapi mereka menarik juga ya,” lanjut Tsukuyo.
Alis Tsukasa naik, “Siapa?”
“Teman-temanmu itu, Seshomaru-san
dan Mikio-san, bukan?”
“Oooh…” angguk Tsukasa, lalu teringat, “Mikio menargetkanmu,
kautahu? Kau harus waspada, pendekatan Mikio nggak setengah-setengah.”
Adiknya yang sedang menyuap, terhenti di tengah jalan. Mulutnya
masih menganga dengan sendok berisi telur dadar manis terhenti di udara. “Nii-san tidak suka?”
Tsukasa mengerutkan kening, tidak menyukai pertanyaan adiknya
itu karena tak bisa menebak mau dibawa ke arah mana pembicaraan mereka.
“Bukannya tidak suka, Mikio cowok baik-baik kok. Meski kuakui, kelakuan playboy gentleman-nya itu agak…
berlebihan.”
Tsukuyo memasukkan sendoknya ke mulut, akhirnya. Sunyi sebentar
selama gadis itu mengunyah dan Tsukasa menatapnya.
“Kalau Nii-san bilang
dia cowok baik-baik, berarti tidak masalah.”
Ya, Tsukasa jelas-jelas tidak menyukai ini.
“Aku hanya memperingatkanmu. Belum selesai masalah satu stalker, jangan sampai menambah stalker lain. Meski kuyakin Mikio nggak
akan jadi stalker, tapi cowok lainnya
mungkin.”
Adiknya mengangkat wajah, menatap kakaknya. Sembari tersenyum
kecil, ia bilang, “Iya, tapi kurasa aku akan baik-baik saja, selama ada Nii-san.”
Tsukasa ingin mengutuk kepercayaan adiknya yang terang-terangan
itu.
*
“Hei, hei,” Mikio mendadak berkata, nadanya darurat.
Tsukasa dan anak-anak cowok sekelasnya sedang menikmati jam
olahraga bebas dengan bermain basket di gedung olahraga. Sementara, guru mereka
mengawasi para siswi yang sedang lari jarak pendek di lapangan luar.
Ia dan Sesho menoleh saat Mikio terburu-buru menghampiri mereka.
Mikio melanjutkan, “Tadi sebelum jam olahraga dimulai, aku
melihat Oosaki-san dicegat cowok
kelas 3, lho!”
Yang tadinya Tsukasa ogah-ogahan, kini segera memfokuskan
pikirannya ke ucapan Mikio. “Haah?” herannya.
“Apa maksudmu?” tanya Sesho, yang tampaknya lebih berhasil dalam
mengutarakan rasa penasarannya dibanding Tsukasa yang hanya mampu mengucapkan
satu silabel.
Wajah Mikio berubah penuh semangat sekaligus patah hati,
“Berarti ini sudah dua hari berturut-turut! Oosaki-san ditembak sama cowok!”
Mendengar itu, wajah Sesho yang justru berubah ogah-ogahan.
“Ooh… soal itu. Kukira apa…” lalu berjalan menjauh ke pinggir lapangan, ingin
minum.
Mikio mengejarnya, masih dengan langkah yang sama menggebu,
“Masa’ kamu nggak peduli, sih? Di mana kejantananmu, Sesho? Kau nggak merasa ingin
melindunginya dari kejaran cowok-cowok serigala yang haus akan keimutan paras
dan kelembutan sikapnya?”
Tsukasa menyelak, “Memang siapa yang menembaknya?”
Ketiganya duduk di pinggir, bergantian menguasai lapangan dengan
siswa lain. Bukan hanya Sesho yang memang jagoan tim basket, kalau ada trio itu
sekaligus, yang lain jadi tidak punya kesempatan unjuk gigi, apalagi menang.
Mikio menjawab dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan, “Mantan
Ketua OSIS!”
Sesho menyahut sekenanya, “Oh, kalau begitu, dia serigala yang
jauuuh lebih jinak dibanding kau. Oosaki-san
pastinya merasa lega,” yang dibalas delikan tajam dari Mikio.
Namun, Tsukasa hanya diam, membiarkan suara pertengkaran kedua
sahabatnya itu di luar kepala, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mantan ketua OSIS…. Kemarin si juara umum angkatan… Ini jelas
bukan situasi yang bagus. Tsukuyo terlalu menarik perhatian.
Lamunan Tsukasa buyar berkat dorongan keras di pundaknya: Sesho.
“Hei! Khawatir ‘adikmu’ direbut cowok lain?” kekehnya.
“Masih bersikeras dengan khayalan tak kesampaianmu itu,
Tsukasa?” sahut Mikio.
Jengkel, Tsukasa menepis tangan Sesho dari pundaknya dan mengabaikan
Mikio. Jika Tsukuyo ingin hubungan mereka dirahasiakan, maka ia akan
menurutinya. Biar Tsukuyo sendiri yang membeberkannya kepada kedua sahabat
keras kepalanya ini saat ada kesempatan.
Tapi ia penasaran, maka ia tidak pergi dan tetap duduk di
tempatnya di antara Sesho dan Mikio. Mendengarkan.
“Terus?” tanya Sesho, “apa jawabannya?”
Mikio hanya angkat bahu lalu melirik Tsukasa, “Coba saja tanya
Tsukasa. Dia kan ‘kakaknya’. Siapa tahu dia lebih tahu,” candanya. Disusul tawa
Sesho.
Mereka memang teman yang menyebalkan, pikir Tsukasa.
Tapi, tampaknya dia memang harus menanyakannya langsung pada
Tsukuyo. Dia mengkhawatirkan adik kembarnya yang terlalu mencolok perhatian.
Bisa-bisa stalker-nya menyadari gadis
itu telah pindah ke sekolah ini dan mulai membuntutinya lagi. Gawat.
Oleh karena itu, Tsukasa menghampiri Tsukuyo begitu pelajaran
olahraga usai. Pemuda itu berlari menghampiri lapangan luar tepat saat bel pergantian
jam pelajaran.
Dilihatnya saudari kembarnya sedang ngobrol bersama beberapa
siswi lain, sembari membereskan barang-barang di lapangan. Tsukasa pun
mendekatinya.
“Tsuku… bukan, maksudku Oosaki-san, boleh bicara sebentar? Sekalian kembali ke kelas?”
Tsukuyo yang tidak menyangka akan didekati kakaknya di depan
umum, terbengong-bengong sesaat sebelum mengangguk.
Begitu mereka berdua berjalan bersama menjauhi lapangan, segera
para siswi di belakang berbisik-bisik. Suara beberapanya terdengar hingga telinga
Tsukasa, “Gosipnya, mereka berdua bersaudara lho! Kalian bisa percaya? Aku sih,
nggak!”
Yang lain menyahut, “Tapi aku dengar langsung dari anak kelas
sebelah, Oosaki-san bilang sendiri
padanya soal mereka bersaudara!”
Yang lain menyusul, “Jadi, gosip itu sungguhan? Aku bisa tenang
kalau begitu.”
“Tenang mengejar Hisakawa-san?
Padahal jelas dia terlampau sulit didekati kita-kita.”
“Aku sih, lebih demen Mikio-kun.
Fufu~”
“Si playboy itu? Mending
Seshomaru-san ke mana-mana. Meski
lebih cuek, sebetulnya dia lebih lembut sama perempuan.”
“Kalau buatku sih, paling pas Sesho-kun pacaran sama Mikio-kun
saja. Hehe~” mendadak satu suara nyaring menyahut. Serempak teman-temannya ber-ooh dan aah meresponsnya, seolah-olah itu ide terbrilian yang tak pernah
terpikirkan sebelumnya.
Kontan Tsukasa terbatuk-batuk, “Uhuk! Uhuk!”, saking kagetnya ia
mendengar ucapan siswi barusan.
Tsukuyo menoleh ke arahnya dengan raut wajah cemas, “Nii-san kenapa? Perlu minum?” yang
dibalas gelengan oleh kakaknya, tanpa berkata apa-apa—tidak bisa berkata, lebih
tepatnya.
Tsukasa menggeleng-gelengkan kepalanya, memutuskan untuk
menyudahi kegiatan mengupingnya. Perempuan kalau sudah bergosip seolah tiada
ujungnya. Dan tiada batasannya.
Mikio dengan Sesho? Betul-betul imajinasi yang terlalu liar.
Perempuan terkadang bisa lebih menakutkan, batin Tsukasa.
“Jadi, ada apa, Nii-san?
Tidak biasanya Nii-san duluan yang
menghampiriku,” ujar Tsukuyo, suaranya menyadarkan Tsukasa ke kenyataan.
Tsukasa menarik napas dalam-dalam, ini akan sulit dibicarakan
tanpa menyinggung perasaan Tsukuyo.
“Kudengar, kau ditembak cowok lagi hari ini,” mulainya.
“…. Aah, soal itu,” jawab sang adik, “iya, mantan ketua OSIS.”
Tsukasa membalas, “Dengar—”
“—Tapi kutolak dia. Cowok yang sebelum-sebelumnya juga,” potong
Tsukuyo. “Memangnya Nii-san dengar
dari siapa sih? Kok, tahu?”
Tsukasa mengembuskan napas keras-keras, “Mikio.”
“Oh, pantas. Mikio-san
selalu gerak cepat soal gosip,” cekikik Tsukuyo.
“Apalagi kalau sudah menyangkut kamu,” balas kakaknya serius,
yang malah disusul tawa lepas Tsukuyo.
Begitu tawanya mereda, Tsukuyo gantian bertanya, “Jadi, Nii-san menghampiriku hanya untuk
menanyakan ini?”
Tsukasa menggeleng, “Bukan hanya itu. Ada yang lebih penting:
kurasa kau terlampau menarik perhatian, maksudku, kau memang menarik perhatian
tapi ini sudah di tahap berbahaya.”
“Berbahaya? Maksudnya?”
Mereka tiba di depan pintu kelas. Tsukuyo hendak mengambil
seragam gantinya di meja sebelum pergi ke ruang ganti. Begitu pula Tsukasa.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti begitu melihat situasi meja Tsukuyo:
di atasnya tergeletak beberapa kuntum bunga mawar merah.
Beserta surat tanpa nama pengirim.
Tsukasa menatap lekat-lekat kedua benda itu, “Ini yang kumaksud.”
*
Surat tersebut hanya berisi satu kalimat:
“Aku bahagia kamu berada
di tempat yang sama denganku sekarang. Aku bahagia cowok itu ternyata bukan pacarmu.”
Di tempat yang sama… apa itu artinya si stalker juga murid sekolah ini? Tsukasa bertanya-tanya, sementara
di tangannya tergenggam shinai—pedang
bambu. Ia sedang latihan sore di dojo
sekolah bersama klubnya, sehari setelah kejadian surat kaleng itu.
Hanya di saat memegang shinai-lah
Tsukasa merasa dapat berpikir dengan jernih. Seolah segala-gala yang di luar,
menyusut dan menghilang. Otaknya bisa berputar lebih cepat dan terarah, seperti
menyusun ashisabaki—teknik melangkah—dengan
tepat untuk menentukan menyerang atau bertahan; untuk menarget kote, dou, atau malah men; atau
sekedar mengukur kekuatan lawan yang dihadapinya.
Seringkali adik-adik kelas di klubnya mengeluh jika disuruh
latihan suburi, dianggapnya hanya mengayun-ayunkan
pedang yang monoton. Membosankan, mereka bilang. Tapi, justru itulah dasarnya:
mengayun, berkali-kali. Hingga kedua tangannya terbiasa, bergerak tanpa
dipikir, menjadi refleks tubuhnya.
Usai 100 kali melakukan suburi,
disambung ashisabaki dan mengasah
kuda-kuda. Lalu, yang terakhir, latih tanding.
Semuanya menjadi rutinan Tsukasa tiap harinya. Saking
terbiasanya, tubuh pemuda itu justru terasa kaku jika latihan kendo dilewati
begitu saja.
Makanya, kalau soal melindungi Tsukuyo dari orang berbahaya,
Tsukasa cukup percaya diri. Dia merasa takkan kalah dari siapa pun asalkan ada shinai di tangannya.
Setelah melepas men
dan seluruh bogu—baju pelindung—yang
dikenakan, Tsukasa duduk bersimpuh di pinggir. Shinai diletakkan di sampingnya. Giliran ia menonton latih tanding
anggota klubnya yang lain.
Sementara itu, riuh-rendah sorakan penggemarnya terdengar dari
luar pintu. Semuanya wajah-wajah familiar yang sering dilihatnya saat latihan.
“Hisakawa-san! Kamu
keren banget!!”
“Kyaaa~ pakai bogu
atau nggak, tetap paling tampan!”
“Kami selalu mendukungmu, Hisakawa-kun!”
Tsukasa menghela napas, berusaha mengambil kembali
konsentrasinya yang terpecah.
Anak-anak perempuan itu selalu berisik, tapi ia tak setega itu
sampai mengusir mereka. Paling-paling ketua serta wakilnya yang selalu
kerepotan memperingatkan para siswi itu untuk mengecilkan suara dan tidak
mengganggu konsentrasi anggota yang latihan.
Hanya saja, di sudut matanya, hari ini Tsukasa melihat satu
sosok berdiri jauh di belakang para penggemarnya. Ia tidak mengenali siapa itu.
Yang pasti, jarang-jarang ada cowok yang menonton latihan kendonya.
“Mungkin dia baru tertarik masuk klub kendo?” saran Sesho saat
istirahat siang keesokan harinya.
“Masalahnya, aku merasa nggak nyaman dengan kehadirannya di dojo. Entah kenapa.”
“Apa nih? ‘Insting’-mu yang kamu bangga-banggakan itu yang
berbicara?” sambung Mikio. “Sudahlah, jadi orang jangan curigaan begitu,
Tsukasa!”
Tsukasa menghela napas, “Enak saja kalau bicara. Instingku ini
sudah menyelamatkanku dari bahaya berkali-kali, asal kautahu.”
Sesho menengahi, “Ya, ya. Instingmu yang keren itu. Daripada
bertengkar melulu, mending kalian buruan sudahi makan siangnya. Sebentar lagi
bel.”
Mikio berseru panik, “Waduh! Sudah jam segini! Aku ada urusan!”
Kontan Tsukasa dan Sesho menatapnya heran. Mikio langsung
menjawab pertanyaan mereka yang belum sempat terlontar, “Sama si Penjaga
Perpus. Itu lho, cewek yang berkacamata.”
Tsukasa mengangkat alisnya, “Tamaki?”
Sesho mengangguk, teringat, “Oh iya, kamu dan dia berteman sejak
kecil ya, Tsukasa,” lalu menoleh ke arah Mikio, “jadi, dia cewek yang kamu
dekati sekarang, Gentleman Playboy-kun?
Sudah menyerah soal Oosaki-san?”
Mikio bangkit dari kursinya, menepuk-nepuk celana seragamnya
yang berserakan remah-remah roti—makan siangnya melonpan dari kantin. Nyengir, dia bilang, “Oosaki-san punya bodyguard jagoan kendo sekolah sih. Aku nggak berani macam-macam
sama dia.” Lalu, ia menoleh pada Sesho, “Nggak usah cemburu gitu, Sesho. Kau
tetap yang paling pertama di hatiku!” balasnya, disusul kerlingan mata genit
dan gelak tawa.
Tsukasa menyahut, “Jangan bicara sembarangan. Belum lama ini aku
mendengar beberapa siswi punya hobi mengkhayal kau berpacaran dengan Sesho,
Mikio.”
Seshomaru sekonyong-konyong tersedak hebat. Dipukul-pukulnya
dadanya dengan panik.
Mikio, yang spontan membantu menepuk-nepuk punggung Sesho,
berujar heran, “Seriusan!??” yang setelah dibalas anggukan oleh Tsukasa,
langsung berkata lagi, “Celaka. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat dapat cewek
baru nih, supaya nggak dipacarin sama Sesho! Doakan aku supaya berhasil
mendapatkan Penjaga Perpus, yak!”
Lalu, pemuda itu enyah begitu saja.
Sementara Sesho sibuk meneguk air banyak-banyak, Tsukasa
berkata, “Kurasa Mikio bakal gagal. Dia bukan tipe cowok yang disukai Tamaki.”
Sesho mengangguk setuju, “Ya, soalnya jelas-jelas si Penjaga
Perpus itu sudah punya cowok yang disukainya sejak lama.”
Tsukasa menatap Sesho bertanya-tanya, “Siapa?”
Sesho hanya menjawab dengan helaan napas panjang. “Kamu tahu, dengan
sifat yang sangat bertolak belakang, kamu dan Mikio sebenarnya punya satu
persamaan?”
Tsukasa mengerutkan kening.
“Kalian sama-sama payah soal percintaan,” tukas Sesho,
mengakhiri pembicaraan.
*
Bunga mawar, pernak-pernik kecil semacam jepit rambut, bros, anting-anting,
dan kini… blus terusan. Ditemani setumpuk kertas berisi surat dan puisi cinta
yang saking banyaknya mesti dijejalkan ke dalam loker. Dan semuanya ditulis
dengan tulisan tangan yang sama.
Tubuh Tsukuyo bergetar hebat di samping kakaknya, menatap nanar loker
sepatunya yang mendadak penuh.
Saat itu sudah petang, sekolah sepi. Karena beberapa minggu
belakangan ini tindakan si stalker
bereskalasi makin parah, orangtua Tsukasa bersikeras agar putranya terus
menemani Tsukuyo, baik pergi maupun pulang sekolah. Bahkan di jam makan siang,
gadis itu tidak boleh lepas dari pengawasan.
Tsukasa mengangkat baju terusan tanpa lengan bercorak
bunga-bunga matahari itu dengan kedua tangan. Ukurannya pas dengan Tsukuyo.
“Nii-san…” lirih
Tsukuyo. Jari-jemarinya merenggut erat kemeja seragam kakaknya.
Rahang Tsukasa mengeras. Marah yang tertahan.
“Ini sudah kelewatan. Sebaiknya kita serius mencari siapa
dalangnya. Supaya kau bisa bersekolah dengan tenang juga, Tsukuyo,” jelas
Tsukasa, meraup semua pemberian si stalker
dari loker sepatu adiknya, merobek-robek setiap surat dan puisinya, dan membuangnya
ke tempat sampah terdekat bersama blus terusan itu.
Tsukuyo bahkan sudah tidak kuat memandang benda-benda itu.
Tubuhnya akan langsung meringkuk ketakutan tiap kali melihat tulisan tangan
yang kini sudah dikenalinya.
“Maaf, latihan kendoku kelamaan. Kita jadi pulang kesorean,”
ujar Tsukasa. Tangannya menepuk-nepuk puncak kepala Tsukuyo, menenangkannya.
Tsukuyo menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Aku sudah
tidak apa-apa, Nii-san. Mari,
sebaiknya kita segera pulang sebelum gelap.”
Mereka berjalan bersisian. Cuaca cerah petang itu, meski musim
gugur telah mendekati akhir.
Tangan Tsukasa tidak pernah lepas dari shinai yang digendong di sebelah bahunya. Instingnya seharian ini
berisik tanpa henti, seperti alarm yang menyala akibat bahaya.
“Sesho dan Mikio bilang instingku ini mengada-ada,” ujar Tsukasa
sambil mengedikkan bahu, berusaha membuat adiknya tertawa.
Berhasil, Tsukuyo tertawa tiap kali kedua nama sahabat karibnya
itu disebut. Gadis itu sering bilang kalau Sesho dan Mikio mirip tim lawak. “Terkadang
aku iri dengan persahabatan Nii-san
bersama Seshomaru-san dan Mikio-san. Kalian terlampau akrab. Seandainya
aku juga punya sahabat seperti mereka.”
Tsukasa langsung menegaskan, “Jangan, jangan. Sahabat seperti
mereka cuma bakal menyusahkan hidupmu. Kujamin!”
“Tuh kan, itu yang kumaksud ‘terlampau akrab’, Nii-san,” cekikik Tsukuyo.
Jalanan di rute pulang mereka sepi. Tak terlihat siapa pun di
sekitar.
Namun, Tsukasa mendengar ada langkah-langkah tak jauh di
belakang. Lagi-lagi instingnya berdering memperingatkan. Pemuda itu segera
menggenggam shinai-nya erat.
“Hraaaaaahh!! Mati kau!!”
Pekikan marah terdengar, membuat Tsukuyo terkejut seketika.
Namun, Tsukasa sudah siap sedia. Ditariknya shinai
dari pundak, diayunkan keras-keras tanpa dilepas dari kain penutupnya, dan
mengenai sesuatu—seseorang.
Bunyi benda logam terjatuh menyadarkan Tsukasa bahwa penyerang
itu, cowok yang mengenakan seragam sama dengan mereka itu, serius berusaha
membunuh Tsukasa dengan pisau lipat.
“Nii… Nii-san…” lirih
Tsukuyo terbata-bata.
Tidak salah lagi, dia memang si stalker.
Tsukasa menendang jauh-jauh pisau lipat si stalker, lalu mengajaknya bicara dengan shinai yang masih teracung mengancam, “Apa maumu sebetulnya?
Berani-beraninya kau membuat adikku ketakutan!”
Cowok yang masih tertelungkup di aspal jalanan itu tampak gemetar
hebat. Perawakannya kecil, kurus, wajahnya pucat dengan kacamata tebal yang
retak di pinggiran melapisi matanya yang sayu.
Namun, tak disangka oleh kedua bersaudara itu, sang stalker malah tertawa kecil, “Ternyata
kakaknya, toh. Ooh… hanya kakak, toh. Aku sungguh senang,” ujarnya sambil
menengadah: wajahnya berurai air mata dan keringat dingin.
Tsukasa segera mengenalinya, “Kau… cowok yang menonton latihanku
di dojo waktu itu!”
Namun, tiba-tiba ia berteriak histeris, “Aku hanya menyukainya!!
Aku sangat, sangat, sangat menyukai Oosaki-san!
Apa salahnya dengan itu!? Tapi, aku seperti ini: bertampang jelek, berkacamata,
menyedihkan! Mana pantas aku mendekati perempuan seanggun Oosaki-san!?”
Tsukasa beringsut sedikit demi sedikit, dengan sikap waspada
yang tanpa celah, berdiri di depan Tsukuyo, merentangkan tangannya yang bebas
di hadapan gadis itu untuk melindunginya.
Tanpa melihat sosoknya pun, Tsukasa tahu adik kembarnya itu
gemetar ketakutan.
“Tapi mestinya tidak begitu caranya, Nak,” sahut sebuah suara
baru. Suara yang teramat dikenal oleh Tsukasa maupun Tsukuyo.
“Tou-san!!” serempak
Tsukasa dan Tsukuyo.
Yang dipanggil malah cengar-cengir, “Halo, Anak-Anak. Aku cemas
kalian belum pulang sesore ini, makanya ingin jemput. Malah bertemu pemandangan
kacau begini.”
Ayah si kembar memungut pisau lipat yang terpental jauh, hampir
tercebur ke lubang selokan. Pria itu kemudian berjalan perlahan-lahan,
menghampiri si stalker.
Merasa terancam dengan kehadiran orang dewasa, si stalker mendadak merangkak mundur. Tubuhnya
gemetar hebat. Ia meringkuk dalam-dalam, seolah ingin menyatu dengan aspal.
“Ti-ti-ti-tidak… Ja-ja-jangan mende-de-kat…” gagapnya saat Shou,
ayah si kembar, mendekatinya dengan tangan terulur.
Tepat ketika jemari Shou menyentuh kepalanya, ia langsung
menjerit keras. Suaranya melengking. Wajahnya berurai air mata dan keringat. Tsukasa
yang melihat pemandangan itu berpikir kalau cowok yang belum diketahui namanya
itu teramat sangat menyedihkan.
“Aku tidak akan menyakitimu, Nak,” ujar sang ayah, menenangkan.
Namun, tampaknya ucapan tersebut tidak didengar. Suara yang berasal darinya
hanya sesenggukan tangis dan kata-kata tanpa arti.
Tsukuyo yang melihat pemandangan itu, merasa iba. Gadis itu
berbicara pada si stalker, masih
dengan tetap menjaga jarak. “Maaf, tapi yang kamu lakukan itu membuatku takut.
Bisa kauhentikan itu?”
Si stalker mengangkat
wajahnya sedikit, histerianya berhenti sesaat kala memandang wajah Tsukuyo.
Namun, dengan segera ia menunduk lagi. Dan gemetaran lagi.
Ayahnya menghela napas, lalu berkata pada Tsukasa, “Tsu, bisa
gendong dia? Kuat ‘kan?”
Bukannya menjawab, Tsukasa malah bertanya balik, “Mau dibawa ke
mana?”. Tidak mungkin ayahnya berpikiran membawanya ke polisi kan?
Ayahnya tersenyum, “Ke rumah kita. Aku ingin memberinya nasihat
cinta.”
“Haaahh!!?” heran Tsukasa. “Putramu sendiri saja tidak pernah
diberi nasihat cinta, kenapa malah orang nggak dikenal begini?”
Namun sang ayah hanya tertawa santai, “Salah kamu sendiri nggak
pernah meminta nasihatku. Haha~”
Tsukasa hanya membalasnya dengan helaan napas panjang, lalu
berjalan menghampiri si stalker yang
masih sesenggukan, “Jangan berontak lho, nanti kujatuhkan.”
Mendengar ancaman dari kakaknya, Tsukuyo berkata khawatir,
“Jangan kasar-kasar padanya, Nii-san.”
“Aku takkan kasar asalkan dia juga tidak kasar. Masalahnya, dia
sudah kasar kepadamu. Itu yang lebih tidak bisa kuampuni,” lalu mengangkat
tubuh ringkih si stalker itu dengan
mudahnya, ke sebelah pundak, seolah-olah satu tubuh manusia tambahan tidak
menjadi beban apa-apa.
Ayahnya menyahut, “Sudah, sudah. Berantemnya dilanjutkan di
rumah saja nanti,” yang disusul tawa santai.
Tsukuyo yang membalas, panik, “Tou-san! Jangan memperburuk suasana!”
Lalu, mereka berjalan beriringan.
*
Saat itu latihan klub pagi. Tsukasa sudah bersiap-siap di dojo, mengenakan bogu lengkap dengan nama keluarganya.
Di hadapannya, sesosok pemuda ringkih mengenakan bogu cadangan sekolah. Tangannya
gemetaran saat memegang shinai.
Tiba-tiba terlintas di pikiran Tsukasa, bahwa ini ide bagus:
latih tanding sebagai pelampiasan emosi si stalker.
Malam itu, di rumah keluarga Hisakawa, ayahnya dengan santai
berkata, “Kalau kamu butuh pelampiasan, jangan ke perempuan. Kan ada putraku.
Kamu bisa menantangnya latih tanding kendo. Atau sekalian minta diajari.”
Tsukasa serta-merta tidak setuju, “Kenapa harus aku? Dan kenapa
harus kendo?”
Ayahnya menatapnya, “Bukannya kamu sering bilang kendo membuatmu
tenang? Kenapa tidak kamu coba menularkannya ke orang lain?”
Dan Tsukasa hanya menghela napas, “Oke. Datang saja ke dojo sekolah kapan pun kamu mau,”
bilangnya, kepada si stalker yang
meski sudah tidak menangis dan gemetaran, tetap masih menunduk melulu tiap
diajak bicara.
Latih tanding dimulai, dengan Tsukuyo duduk di pinggir dojo, menonton dalam kesunyian. Gadis
itu merasa harus melihat baik-baik pertandingan ini.
“Baik, mari kita mulai,” ujar Tsukasa, lirih tapi tegas hingga
terdengar jelas ke seluruh penjuru dojo.
Teman satu klubnya yang bertindak sebagai wasit, mengumumkan,
“Latih tanding antara Hisakawa melawan—”
Ah ya, pikir Tsukasa. Dia bukan stalker lagi. Dia bukan penjahat yang mesti diwaspadai lagi. Dia
sudah menjadi lawan di dojo, yang
mungkin akan menjadi kawan di luar. Namanya….
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar