Fanfik Gundam SEED Athrun x Cagalli yang saya buat atas permintaan Long Live Asucaga, Februari 2021.
Baru kali ini Cagalli merasakan sesak yang
begitu dalam, kelam, dan gelam. Pun baru kali ini ia tahu dirinya bisa berlari
secepat itu, tanpa menatap jalan di hadapannya—atau tidak mampu, lantaran air
mata telah membayang di pelupuk matanya.
Betapa ia ingin mengutuk hidupnya!
Baru sekali seumur hidup ada pemuda yang
mengisi relung hatinya, walau tidak pernah lama ia berinteraksi dengannya, pemuda
itu selalu ada di sudut-sudut hati dan pikirannya selama beberapa tahun
belakangan.
Namun—tunangan!!
Dia ternyata sudah bertunangan!
Dengan seorang wanita berambut panjang indah,
berparas cantik jelita, berpolah anggun, bergarisketurunan terpandang.
Mana mungkin Cagalli bisa mengungguli wanita sesempurna
itu dan mendapatkan cinta pujaannya.
Athrun, Athrun, Athrun, Athrun—oh,
sungguh nyeri ia rasakan tiap kali nama itu terucap di bibirnya! Kendati
begitu, tak lepas nama tersebut dari bibir gadis itu, bak mantra yang menjadi
satu-satunya tali penyelamat jiwanya. Cagalli tahu, jika ia berhenti merapalkan
mantra itu, dirinya akan hancur, luluh lantak, hingga tak berbekas.
Setidaknya, biarkan bibirnya puas mengulang-ulang
nama itu, hingga ia tiba di rumahnya, di kamarnya, di tengah kesendirian dan
kegelapan; barulah ia boleh melepaskan seutas tali yang saat ini ia pegang
erat-erat—yang gadis itu tahu jelas, akan membawanya kepada tangisan berderai.
*
“Hei,” seorang pemuda berambut biru gelap
menepuk pundak Cagalli dari belakang, membuat Cagalli terkejut. Gadis itu
mengernyitkan dahi, tidak mengenal pemuda tersebut.
“Dari tadi kulihat kau hanya mondar-mandir di
sini terus. Perlu bantuan?” tanyanya lagi. Ucapannya langsung dan tanpa
basa-basi, yang justru membuat gadis berambut pirang itu curiga.
Cagalli menepis tangan pemuda itu dari pundak,
lantas menjawab dengan memalingkan wajah, “Tidak ada. Aku hanya sedang menunggu
teman.”
“Menunggu teman yang sudah satu jam belum
datang juga?” heran pemuda itu lagi.
Cagalli serta-merta menoleh ke arah pemuda
itu, tatapannya tajam menantang, “Kamu mengawasiku atau apa? Kenapa
bisa-bisanya tahu aku sudah di sini sejam?!”
Si pemuda mengangkat kedua tangannya, tanda
menyerah, “Oke, maaf. Bukan maksudku seperti itu. Aku hanya kebetulan lewat sekitar
sejam yang lalu dan melihatmu di sini,” memutus ucapannya sesaat begitu melihat
Cagalli yang semakin menyipitkan mata curiga, “kamu tahu Kota Februarius ini
salah satu spot wisata utama di Plants. Mestinya tidak aneh jika banyak yang
bolak-balik di sini, termasuk aku.”
Cagalli terdiam sejenak, berpikir. Sebenarnya
masuk akal perkataan pemuda itu. Apalagi ini di hari libur besar, bukan hanya
turis lokal yang berbondong-bondong ke Plants, bahkan turis asing seperti
Cagalli saja liburan kemari.
“Aku terpisah dari teman-temanku,” ujar gadis
itu, menghela napas panjang, lantas, “dan tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang
ke arah mana,” akunya akhirnya.
“Oh, anak tersesat?” balas pemuda itu, samar-samar
terdengar nada geli di suaranya, kemudian bertanya, “Tidak dikontak saja?”
Cagalli yang menyadari nada mengejek itu,
menjawab dengan agak kesal, “Aku tidak tahu di mana ponselku berada. Entah
terjatuh di toko suvenir yang kudatangi sebelumnya atau tidak sengaja tertinggal
di tas yang di bus atau kutitipkan ke kawan. Pokoknya, tidak ada padaku
sekarang.”
Pemuda itu bersidekap, jari-jari tangan kanannya
di bawah dagu, “Hmm… makanya kamu tidak bisa menghubungi dan dihubungi mereka.”
Ia lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebentuk ponsel pintar untuk
kemudian diulurkan kepada Cagalli, “Pakai ponselku, hubungi seseorang.”
“Ah,” Cagalli merespons ragu, “ta, tapi… itu
akan merepotkanmu.”
Pemuda itu meletakkan ponselnya ke telapak
tangan Cagalli—dengan agak memaksa, “Hubungi seseorang,” ulangnya.
Cagalli mengangguk, “Terima kasih,” lantas
menelepon kawannya.
Setelah bercakap-cakap sejenak, Cagalli memutus
sambungan telepon dan mengembalikan ponsel itu ke empunya, “Mereka sudah
kembali ke bus,” imbuhnya.
Pemuda itu mengangguk, “Akan ada yang menjemputmu?”
“Eeer…” gadis itu ragu-ragu, “iya, tapi
katanya mereka masih belum berkumpul semua. Jadi, aku harus menunggu.”
“Lama?” tanya pemuda itu lagi. Suaranya yang
bernada khawatir membuat Cagalli kontan menoleh kepadanya dan menatap wajahnya.
Oh, itulah pertama kalinya Cagalli dapat
memandangi wajah penolongnya itu lekat-lekat—dan kalau boleh jujur, Cagalli
tidak mungkin tidak tertarik dengan wajahnya yang tampan.
Urgh, Cagalli mendadak merasa jijik dengan
pikirannya sendiri: tampan? Cowok yang baru ditemuinya beberapa menit lalu?
Apalagi dia tadi sempat mengejeknya sebagai ‘anak tersesat’? Ayolah, yang benar
saja, Cagalli Yula Athha!!
Buru-buru gadis itu menepuk wajahnya dengan
agak keras. Berharap pikiran-pikiran aneh itu segera lenyap.
“Hei? Kamu kenapa?” tanya pemuda itu lagi,
terheran-heran dengan sikap Cagalli.
Cagalli membalas cepat, “Bukan apa-apa. Aku
hanya tiba-tiba merasa kantuk. Itu saja,” lalu teringat pertanyaan pemuda itu
sebelumnya, “dan—iya, sepertinya akan lama. Apalagi jarak parkir busnya cukup
jauh dari sini.”
“Oke,” imbuh pemuda berambut biru gelap itu lagi,
sambil mengecek arlojinya sesaat. “Kebetulan aku masih ada waktu, mau kutemani sampai
teman-temanmu datang?” tanya pemuda itu lagi, entah kenapa Cagalli merasa
betul-betul sedang diperlakukan seperti anak kecil yang tersesat—dia memang
sedang tersesat, tapi bukan anak kecil.
“Ta-tapi…” ragu Cagalli. Tetap saja, ia merasa
tidak enak jika harus merepotkan orang yang baru ditemuinya lebih dari ini.
Apalagi mereka sama-sama belum saling tahu nama.
“Tidak apa. Ayahku masih ada pertemuan dengan
rekan bisnisnya. Aku yakin bakal lama. Dan aku lebih yakin lagi bakal bosan
jika hanya menunggunya sendirian—ah! Mungkin lebih tepat kalau kubilang akulah yang minta ditemani olehmu.”
Cagalli tertegun sesaat. Ia menimbang-nimbang
perkataan pemuda itu barusan. Lantas memutuskan, “Kamu baik hati, ya.
Mencari-cari alasan hanya untuk menemaniku.”
Yang malah dibalas derai tawa singkat oleh si
pemuda.
“Jadi?” tanya pemuda itu lagi, nada suaranya
terdengar bersemangat.
“Oke, akan kutemani kau menunggu ayahmu,” balas Cagalli. “Supaya kau tidak bosan,”
diiringi cengiran ceria khasnya.
Cagalli memang pada dasarnya gadis yang mudah
akrab dengan siapa pun. Ia mudah berkenalan dengan orang baru, cepat
beradaptasi dengan lingkungannya, dan senantiasa dikelilingi kawan.
“Tapi,” potong gadis itu saat si pemuda
mengulurkan tangan ke arahnya—yang jelas membuat Cagalli terkejut, “kuharap aku
tahu namamu sebelum kita berpetualang bersama di Plants.”
Lantas ia tanpa ragu menyambut uluran tangan
si pemuda. Tangan pemuda itu dingin, sadar Cagalli; tetapi justru terasa
menyejukkan dan nyaman. Gadis itu menyukai sensasi yang diberikan tangan
tersebut.
“Panggil saja Athrun. Aku datang dari Orb.”
Athrun lantas menarik tangan Cagalli untuk
bangkit dari bangku taman yang sedari tadi didudukinya.
“Salam kenal, Athrun. Aku Cagalli. Dan, ternyata
kita sama-sama dari Orb,” balasnya diiringi senyum ceria, yang tampaknya
menular juga ke Athrun sebab pemuda itu membalasnya dengan senyum pula.
“Oke, mau kita mulai dari mana petualangan
hari ini?” canda Athrun, menimpali ucapan Cagalli sebelumnya, tentang
‘petualangan’ yang akan mereka lalui berdua. “Atau, jangan-jangan kamu tidak
tahu ada apa saja di Plants? Baru pertama kali ke sini, ‘kan?”
Tak disangka, gadis itu malah menjawabnya
dengan memberengut, “Hei! Meski baru pertama kali ke Plants, aku tahu
lokasi-lokasi wisatanya! Jangan meremehkanku yang pandai menghafal peta!”
ujarnya mantap, pipinya digembungkan sedikit tanda kesal.
Athrun tersenyum geli melihat sikap Cagalli
yang tampak manis itu, “Pandai menghafal peta, tapi tersesat?” sebelum akhirnya
berucap, “Baiklah, silakan Anda yang memimpin, Tuan Putri.”
Yang dibalas delikan tajam dari yang dipanggil
‘Tuan Putri’ barusan, “Sengaja ya!? Kamu sengaja memanggilku begitu untuk
mengejekku!? Sebelumnya memperlakukanku kayak anak kecil, sekarang begini! Ingin
membuatku kesal!?”
Lantaran, Cagalli sadar diri. Dilihat dari
sisi mana pun, dia jelas bukan tipe gadis yang cocok dipanggil ‘Tuan Putri’:
dengan fesyen favoritnya hanya terdiri dari kemeja flanel, celana jins yang
sobek di beberapa tempat, sepatu kets, dan topi baret.
Cagalli gadis yang tomboi.
Hanya saja, Athrun malah membalas dengan tawa—tawa
lepas yang membuat pipi pemuda itu berona cerah dan matanya menyipit di
ujung-ujungnya; yang nyatanya menjadi tawa Athrun yang tak pernah dilupakan
Cagalli selama bertahun-tahun setelahnya.
“Siapa bilang niatku ingin membuatmu jengkel?
Aku serius memanggilmu Tuan Putri! Sebab, buatku setiap gadis itu layaknya tuan
putri, tidak ada pengecualian. Apalagi buatmu, Cagalli.”
Semburat merah kemalu-maluan mewarnai wajah
Cagalli dengan cepat. Gadis itu merasa Athrun benar-benar cowok yang pandai
merebut hati wanita, “Pokoknya, hentikan panggilan memalukan itu, atau kau harus
mentraktirku crepes!”
“Oke, aku pilih mentraktirmu crepes,” balas Athrun lagi, menyeringai.
Oh, dia merasa menang kali ini. “Tuan Putri,” imbuhnya dengan sengaja,
mengisengi Cagalli agar gadis itu makin kesal.
Dengan pipi menggembung kesal dan langkah yang
dientak-entakkan, Cagalli menggiring Athrun menuju petualangan singkat mereka
berdua di hari itu: tujuan pertama, kios crepes.
Beberapa jam setelahnya, begitu tiba di bus
rombongan, Cagalli bercerita kepada teman-teman terbaiknya: bahwa ia barusan dipaksa menemani seorang pemuda yang
baru dikenalnya untuk menghabiskan waktu menunggui ayahnya mengurusi bisnis.
Dan, mungkin—dengan wajah yang bersemu
kemerahan—ia mengaku baru mengalami yang namanya jatuh cinta, untuk pertama
kali dalam hidupnya.
*
Orang bilang, cinta pertama itu takkan
berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya
waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.
Namun, permainan takdir tidak ada siapa pun
yang dapat menduganya.
Lima tahun berlalu, Cagalli kini bekerja di
suatu rumah sakit terbesar di ibukota Heliopolis. Semua berjalan sesuai
rencananya: belajar ilmu kedokteran di universitas favorit, lalu mengabdi
sebagai dokter untuk menolong banyak orang.
Hanya saja, ada satu yang tak berjalan sesuai
rencana—yang tak pernah terbayangkan akan terjadi: Athrun juga bekerja di rumah
sakit tersebut. Athrun—pemuda yang kebetulan ditemuinya di Plants lima tahun
lalu dan membantu Cagalli yang tersesat di sana seorang diri. Sosok yang selama
tahun-tahun belakangan ini memenuhi relung hatinya, berharap akan berjumpa
kembali suatu saat nanti untuk membalas budi.
Cagalli pikir, ia tidak akan pernah bertemu
lagi dengan pemuda yang menarik hatinya itu. Dipikirnya, seumur hidup dia
takkan sempat membayar utang budinya waktu di Plants.
“Eeh…? Cagalli?” panggil Athrun, wajahnya
tampak terkejut, tetapi dihiasi rona menyenangkan.
Saat itu, Cagalli hendak memperkenalkan diri bersama
serombongan koas angkatan baru kepada seorang manajer yang bekerja langsung di
bawah direktur utama rumah sakit tersebut.
Rasa-rasanya itu seperti mimpi saja.
Atau barangkali itu memang mimpi.
“A-Athrun?” ragu Cagalli. Ingin sekali gadis
itu mencubit pipinya sendiri keras-keras. Ia meragukan pandangan serta
pendengarannya. Benarkah yang ditatapnya itu Athrun? Benarkah suara yang
memanggilnya itu Athrun?
Dan—oh! Dia masih mengingat nama Cagalli!
Betapa kenyataan itu saja seolah mampu membuat hati Cagalli melonjak
kegirangan.
Athrun masih mengingat Cagalli, mengingat
namanya pula.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di tempat
begini. Sudah berapa tahun sejak Plants, ya?” susulnya, diiringi senyum santun.
“Li, lima tahun,” jawab Cagalli cepat, lantas
melanjutkan dengan agak malu-malu, “seingatku.”
Athrun lantas maju ke arahnya, mengulurkan
tangan. “Aku senang kita bisa bertemu lagi, bahkan bekerja di tempat yang
sama,” ujarnya diiringi senyum ramah.
Cagalli menyambut uluran tangannya—terkenang akan
momen-momen perkenalan mereka lima tahun silam di Plants, “Aku juga. Mohon
bantuanmu, Athrun.”
“Mohon bantuanmu juga. Kuharap aku bisa jadi
rekan kerja yang sepadan denganmu.”
Gadis pirang itu menggeleng, “Oh, tidak.
Justru mestinya aku yang bilang begitu, Tuan Manajer.”
Mendengar panggilan yang terlalu resmi itu,
Athrun serta-merta mengerutkan kening dan menghela napas, “Sebelum menjadi
seorang manajer, lima tahun lalu aku sudah lebih dulu menjadi temanmu. Sekarang
pun tetap sama. Aku masih temanmu. Jadi, aku dengan tegas melarangmu
memanggilku dengan jabatan seperti tadi. Panggil saja Athrun. Tanpa
embel-embel.”
Melihat Athrun yang tidak mampu menyembunyikan
kekesalan dan kebingungan dari gelagatnya membuat Cagalli pun tidak mampu
menahan tawa. “Ahaha! Baiklah, baiklah, Athrun-Tanpa-Embel-Embel-Yang-Masih-Jadi-Temanku.”
“Hei! Maksudku bukan begitu juga!” protes
Athrun.
Yang justru membawa tawa makin keras ke bibir
Cagalli, membuat mereka berdua ditatap heran oleh orang-orang di ruangan yang
sama.
Jika boleh jujur, sebetulnya saat itu Cagalli
sempat lupa bahwa mereka berdua sedang di situasi resmi bersama para
profesional lainnya. Bahwa mereka bukan sedang berdua saja, seperti halnya
sewaktu di Plants. Namun, sikap Athrun yang entah kenapa langsung akrab
dengannya membuat Cagalli turut mengabaikan suasana kaku dan resmi yang
melingkupi mereka.
Sekaligus membuat perasaan hangat di hati
Cagalli kian menguat. Dengan perlahan-lahan. Dan sembunyi-sembunyi.
Setidaknya—pikir Cagalli—kini dia sudah
berjumpa kembali dengan Athrun; sesuatu yang bahkan tidak pernah terbayangkan
akan terjadi olehnya selama ini.
Urusan hati, dibiarkan nanti saja.
Sebab, dia masih memiliki banyak waktu untuk
dilalui bersama Athrun. Selama dia masih bekerja di rumah sakit tersebut.
Cagalli memutuskan akan menikmati momen-momen
kebersamaannya dengan Athrun. Sebagai teman.
Jadi, urusan hati—lagi-lagi, dibiarkan nanti
saja.
Nanti saja.
Sebab, dia masih memiliki banyak waktu.
*
Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh Cagalli.
Untuk dia segera pergi dari tempat itu.
Sebelum dirinya luluh-lantak. Memandangi
pemuda yang sudah begitu akrab dengannya selama setahun belakangan ini,
bercakap-cakap dengan seorang gadis berambut panjang merah muda nan indah, yang
juga merupakan putri seorang konglomerat, yang sekaligus merupakan tunangan
Athrun: Lacus.
“Ah, Cagalli!”
Suara yang terlampau familier di telinganya. Yang
entah kenapa, tidak membuat Cagalli kuasa untuk mengabaikannya. Selalu seperti
itu.
Maka, seperti yang sudah ditebak oleh dirinya
sendiri, Cagalli menoleh—mengabaikan keinginannya untuk melarikan diri barusan,
“Oh, ternyata kau, Athrun. Ada apa?”
Kabar mengenai pertunangan mereka tiba di
telinga Cagalli baru dua hari yang lalu, yang membuat gadis itu berlari pulang
di tengah janji bertemu mereka untuk makan bersama di restoran kaki lima
favorit Athrun dan Cagalli.
“Hei, kamu sudah sehat? Dua hari yang lalu
kamu tiba-tiba pulang duluan dengan wajah pucat,” imbuh Athrun dengan ekspresi
cemas di wajahnya.
Cagalli meneguk ludah. Diliriknya Lacus yang
sedang berdiri di samping Athrun. Mereka tampak sangat cocok satu sama lain.
Dan membuat Cagalli ingin melarikan diri, lagi.
Gadis berambut pirang itu tertawa kaku, “A ha
ha, maaf, malam itu aku merusak acara makan kita. Dan… yah, aku sudah baik-baik
saja, Athrun.”
Mendengar kabar baik itu, Athrun menghela
napas. Postur tubuhnya yang barusan tampak tegang, kini melembut seolah-olah
ada beban yang baru lepas dari pundaknya.
“Kau bikin kami khawatir saja!” sergah pemuda
itu.
Lacus di sampingnya langsung merespons,
lengannya yang putih, mungil, dan tampak rapuh itu mengait di lengan
tunangannya. “Athrun, jangan kasar begitu. Kaudengar tadi, Cagalli baru sembuh
dari sakit.”
Cagalli otomatis memalingkan wajah, dari
pemandangan yang mengiris hatinya. Barangkali Lacus bukannya sengaja berniat bermesra-mesraan
dengan Athrun di depan mata Cagalli, hanya Cagalli saja yang berpikir begitu.
“Hei, kamu yakin baik-baik saja?” cemas Athrun
lagi, dilepasnya genggaman Lacus dari lengannya begitu saja, hanya untuk
melangkah mendekati Cagalli dan tanpa diduga-duga menempelkan dahinya ke dahi
Cagalli.
“Hm, tidak demam,” putus Athrun diiringi
senyum.
Tindakan pemuda yang tak disangka-sangka itu
jelas membuat hati Cagalli pontang-panting mendadak. Dengan panik, gadis itu
mendorong Athrun menjauh dan berbicara dengan nada kasar, “Aku bukan anak
kecil! Begini-begini, aku juga dokter—meski masih koas!”
Athrun malah tertawa mendengarnya, “Oke, maaf,
Calon Dokter Hebat!”—tawa biasa ditunjukkannya pada Cagalli tiap kali mereka
adu mulut selayaknya sahabat.
Oh—sahabat.
Baru kali itu Cagalli merasa dirinya
tertampar.
Sahabat.
Dia hanya sahabat Athrun, tidak lebih.
Mengapa selama ini Cagalli seolah tidak
menyadarinya? Malah tenggelam dalam harapan-harapan kosong yang justru
dipupuknya sendiri? Yang kini jelas-jelas akan menggiringnya ke patah hati?
Lacus terkikik di belakang mereka, “Dasar,
kalian ini dari dulu tidak berubah. Selalu akrab, ya. Seandainya aku juga punya
sahabat karib yang seperti kalian…” gumam Lacus. Suaranya terdengar manis dan
bersahaja. Cocok dengan wajah memesonanya.
Tapi setidaknya kamu punya Athrun sebagai tunanganmu, batin Cagalli. Yang sekonyong-konyong membuatnya merasa
bersalah dan membenci dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir demikian soal
Lacus! Padahal Cagalli kenal Lacus, dia gadis yang baik hati dan beruntung—ya,
beruntung sebab cintanya berbalas—berkebalikan dengan nasib Cagalli yang nahas.
Ya, bisa jadi ini hanya persoalan nasib. Yang
tidak bisa diupayakan oleh tangan Cagalli sendiri.
Maka, Cagalli sebaiknya cepat-cepat menyerah.
Sebelum lukanya terlanjur terlalu dalam hingga
tak dapat lagi disembuhkan.
Kemudian, tiba-tiba terdengar dering ponsel.
Milik Lacus. Gadis itu segera mengeceknya, membaca nama yang tertera di
layarnya, lantas tersenyum, “Oh! Dari Kira! Aku terima teleponnya dulu, ya!”
Setelah gadis berambut merah muda itu pergi
menjauh, Athrun dengan lesu bersandar ke tembok terdekat, wajahnya tertunduk.
Suaranya pelan saat dia berkata, “Kautahu, Cagalli? Kurasa Lacus dan Kira
saling menyukai.”
“Eh?”
Kabar itu terlampau mengejutkan. Saking
mengejutkannya, Cagalli sampai tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
Cagalli kenal Kira. Ia sahabat karib Athrun
sejak kecil, lalu mereka berkenalan dengan Lacus di universitas. Berbeda dengan
Athrun dan Lacus yang berasal dari keluarga terpandang dan kaya-raya, Kira
hanya anak biasa.
Cagalli sangka hubungan mereka bertiga tetap
bertahan meski Athrun dan Lacus telah bertunangan; ternyata… cinta segitiga
mereka serumit itu?
Ah, bukan. Bukan cinta segitiga, sebab Cagalli
pun masuk ke dalamnya.
“Ta-tapi, bukannya Lacus itu tunanganmu?
Bukannya kalian sudah bertunangan?” tanya Cagalli, tergagap-gagap. Entah dia
terlampau senang mendengar kabar itu, atau hanya terlampau gugup.
Athrun hanya angkat bahu, tampak acuh tak acuh,
tetapi Cagalli tahu dari wajahnya bahwa Athrun merasa sedih. “Yah, kukira tidak
semua orang bisa begitu beruntung, mendapatkan orang yang mereka cintai. Banyak
yang akhirnya harus merelakan orang yang dicintainya. Kurasa… mungkin begitu
nasib Lacus, yang terpaksa harus menikah denganku.”
Sungguh tidak tahan Cagalli menatap ekspresi
sedih di wajah Athrun!
Bagaimana mungkin pria sebaik hati, secerdas,
setampan, seramah, sehebat Athrun malah kehilangan kepercayaan diri? Dan malah
tertunduk lesu, berkata bahwa tunangan yang dicintainya ternyata tidak
mencintainya balik? Bahwa tunangannya yang sempurna itu malah mencintai pria
lain?
Tidak, tidak.
Biar Cagalli saja yang merasakan betapa pahit
pengalaman cinta yang tak berbalas.
Jangan Athrun.
Tidak boleh Athrun.
Maka, sembari mengiris sepotong hatinya
sendiri, Cagalli berkata dengan nada ceria yang ia tahu hanya dibuat-buat,
“Jangan murung begitu, Athrun! Masih ada aku! Aku pasti akan mendukung cinta
kalian berdua! Akan kubantu kau merebut kembali hati Lacus! Akan kujamin kau
berbahagia, selamanya!”
Gadis itu mengepalkan tangan kanan,
mengacungkannya ke arah Athrun, yang—diiringi senyum bahagia—dibalas Athrun
dengan menubrukkan kepalan tangannya juga: tanda persahabatan yang sering
mereka lakukan tiap kali ada salah satu di antara mereka berdua ada yang
tertimpa masalah.
Meski sebetulnya Cagalli tahu, di dalam
hatinya, bahwa yang tertimpa masalah lebih berat bukanlah Athrun, melainkan
dirinya sendiri.
Ya, dirinya sendiri.
Sebab ia tidak tahu lagi, harus dikemanakan
perasaan cintanya itu.
Harus dikemanakan….
*
Athrun membuangnya ke tumpukan sampah.
Dokumen-dokumen itu. Baginya tidak berguna lagi.
Yang pasti, Cagalli telah pergi. Diam-diam.
Tanpa berpamitan apa pun kepadanya.
Memang, siapalah Athrun?
Hanya sahabatnya.
Bukan, bukan.
Athrun memang belum pernah mengaku kepada
gadis itu secara langsung—apalagi berhubung dia sudah punya Lacus sebagai
tunangan—kepada Cagalli, bahwa ialah satu-satunya gadis yang mampu membuatnya
nyaman berada di dekatnya. Apalagi sudah beberapa tahun belakangan mereka
bekerja di tempat yang sama, di rumah sakit milik keluarga Zala, keluarga
Athrun.
Namun, tiba-tiba Cagalli dimutasi!
Dan bukan atas permintaan rumah sakit,
melainkan permintaannya sendiri!
Apa yang sebetulnya terjadi!?
Athrun tidak mengerti. Sungguh tidak mengerti
lagi.
Apa yang salah? Apa yang telah dia lakukan
hingga membuat Cagalli tidak ingin bersamanya lagi? Apa dia yang salah? Sikap
ragu-ragu dan setengah hati yang selalu lekat dengan dirinya? Apa memang karena
itu? Karena Athrun tidak berani mengambil keputusan? Baik soal
ketidakberaniannya untuk menentang sang ayah mengenai statusnya sebagai penerus
rumah sakit ini? Juga tentang ketidakberdayaannya untuk menolak pertunangannya
dengan Lacus?
Ya—Athrun menyadari—selama ini ia selalu
menunda-nunda, membuat ayahnya menunggu, Lacus menunggu, bahkan Cagalli
menunggu; sebab dia enggan bergerak dan mengambil tindakan.
Padahal ia menyadarinya, beberapa bulan yang
lalu, beberapa minggu usai dia memberitahu Cagalli bahwa ia merasa Lacus dan
Kira saling mencintai; Cagalli tiba-tiba mengajak Athrun, Lacus, juga Kira
untuk makan bersama di kedai ramen kaki lima langganan mereka berdua.
Padahal dulu Cagalli sendiri yang bilang ingin
merahasiakan kedai ramen tersebut dari siapa-siapa. Gadis itu bilang, ingin
menjadikan tempat itu sebagai semacam ‘markas rahasia’ antara dirinya dan
Athrun. Hanya dengan Athrun.
Mestinya Athrun langsung menyadari ada yang
tidak beres saat itu, ketika Cagalli mendadak mengajak orang lain ke kedai
rahasia mereka berdua.
Selama pertemuan, Cagalli duduk di samping
Kira, sementara Athrun dengan Lacus. Selama pertemuan, Cagalli hanya berbincang
dengan Kira: dengan keceriaannya, Cagalli dengan mudah membuka hati Kira dan
mengakrabkan diri dengannya, apalagi ternyata mereka sama-sama berhobi menonton
film.
Sementara, Athrun dan Lacus yang diabaikan,
terpaksa mencari bahan obrolan yang sebetulnya tidak begitu cocok. Athrun
mengakui, semenjak mengenal Lacus, belum pernah sekali pun dia bercakap-cakap
dengan gadis cantik itu lebih dari lima menit—kecuali jika ada Kira.
Maka, sungguh, perjamuan makan malam waktu itu
bagaikan neraka bagi Athrun.
Namun, seperti biasa, Athrun
menyembunyikannya.
Asalkan bisa bersama Cagalli. Asalkan Cagalli
menginginkannya.
Kini, ia telah kehilangan Cagalli.
Ia tidak boleh lagi terlambat mengambil
langkah dan bimbang lagi. Ia harus bergerak sekarang juga.
Maka, ia bangkit dari meja kerjanya, mengambil
dokumen-dokumen yang tadi dibuangnya ke tempat sampah, lantas melangkah.
Untuk yang pertama, ia selesaikan masalah
dengan ayahnya. Berbicara bahwa dia tidak ingin bertunangan dengan Lacus, bahwa
ia dan Lacus hanya menganggap satu sama lain sebagai sahabat; tidak lebih dan
tidak kurang.
Lalu, kedua, ia akan pergi menemui Lacus dan
Kira. Barangkali sambil mengajak mereka makan malam bersama, di restoran
kesukaan mereka, di ruangan yang privat. Untuk kemudian ia mengutarakan
perasaan yang sesungguhnya—mereka berdua pasti akan mendukungnya, bukan? Sebab
mereka adalah sahabat terbaik Athrun, setara dengan Cagalli—meski di beberapa
sisi, Cagalli mungkin menempati posisi yang lebih penting dibanding mereka
berdua: sebagai gadis yang dicintai Athrun.
Oh, ya.
Athrun mencintai Cagalli.
Itu, yang ketiga: dia harus melacak ke mana
perginya Cagalli. Dari dokumen mutasi Cagalli yang diterima olehnya—yang
barusan sempat dibuangnya ke tempat sampah saking kesal, marah, sedih, dan
hampa dia rasakan; Cagalli dimutasi ke kota Kaguya.
Jauh.
Itu kota yang jauh dari Heliopolis.
Seseorang dari Heliopolis harus terbang dengan
pesawat selama dua jam, disusul dengan perjalanan menggunakan kereta selama
hampir delapan jam, barulah tiba di kota Kaguya.
Aaah… Betapa banyak yang harus dilakukannya.
Betapa banyak yang harus dipersiapkannya.
Namun, tekadnya sudah bulat: ia tidak mau
kehilangan Cagalli.
Apa pun caranya, ia akan menemui lagi
sahabat—sekaligus gadis yang dicintainya itu.
“Cagalli, aku pasti akan menemukanmu.”
*
Sudah enam bulan Cagalli berada di desa
terpencil ini, Kaguya. Dia merasa sudah lebih tenang, lebih berkepala dingin,
dan lebih siap untuk menghadapi hatinya sendiri.
Tanpa kehadiran Athrun di sisi, ia bisa
melihat ke dalam jiwanya sendiri: apakah yang sebetulnya dia inginkan,
bagaimana akan dia alihkan perasaan yang selama ini disembunyikannya, apa yang
bisa dilakukannya mulai sekarang untuk mencari kebahagiaan baru?
Benar kata orang, pikir Cagalli, menjauh dari
cinta akan membantu menetralisirnya. Meski rasa kesepian merundungnya hingga
tak tertahankan.
Di
Kaguya, dia bisa fokus mengejar impiannya: menjadi dokter yang mengabdikan diri
pada masyarakat.
Bukannya
memikirkan Athrun dan cintanya yang tak berbalas.
“Dokter
Cagalli,” panggil resepsionis di depan ruangan praktiknya.
Cagalli
menaikkan alis, “Bukannya Anda bilang hari ini sudah tidak ada pasien?”
Suara
wanita tua yang dipekerjakannya itu terdengar agak ragu-ragu, tetapi juga penuh
ketertarikan, “Iya, tapi ada seseorang yang mencari Anda.”
Cagalli
semakin menaikkan alis. Siapa yang mencarinya? Apa ibu-ibu desa yang ingin
membagikan jagung hasil panen? Apa anak laki-laki yang kemarin membawa anjing
peliharaannya—menyangka Cagalli bisa mengobati hewan juga? Atau remaja tanggung
yang belakangan ini sering minta bantuan Cagalli untuk mengajarinya mengerjakan
PR sekolah?
“Siapa?”
tanya Cagalli.
Resepsionis
itu makin ragu-ragu, “Eerm…”
Lantas,
terdengar suara lain menyusul, “Biar saya langsung masuk ruangannya saja,
terima kasih.”
Deg.
Jantung
Cagalli mendadak berlompatan kegirangan.
Ia
akrab sekali dengan suara itu.
Athrun.
Apa
mungkin dia hanya bermimpi? Saking rindunya, dia dibayang-bayangi suara Athrun?
Barangkali itu hanya suara seseorang yang mirip dia? Lagipula, jika itu memang
Athrun, buat apa dia jauh-jauh ke Kaguya? Pastinya bukan hanya untuk
mengunjungi Cagalli. Siapa tahu dia hanya mengantar ayahnya dinas lagi—seperti
waktu mereka berjumpa pertama kali di Plants?
“Cagalli,
ini aku. Boleh aku masuk?” tanya suara itu lagi.
Athrun
atau bukan, Cagalli harus membukakan pintu baginya.
Meneguk
ludah gugup, Cagalli berkata, lirih dan berat, “Silakan.”
Dan,
di situlah dia: berdiri dengan tegapnya di ambang pintu, dengan jaket hitam dan
buts yang menjadi ciri khasnya, dengan rambut biru gelap dan mata tajamnya.
Sama
seperti dulu.
Sama
seperti yang Cagalli cintai selama ini.
Hanya
saja, Athrun di hadapannya kini tampak lelah—tapi ini wajar sebab dia baru
datang dari perjalanan jauh.
Dan
gugup.
“Hei,”
sapanya, singkat.
“Hei,”
balas Cagalli. Sama-sama tidak tahu harus bilang apa di situasi canggung
tersebut.
Setelah
beberapa menit berlalu dalam kesunyian, akhirnya Athrun angkat bicara,
“Akhirnya aku menemukanmu, Cagalli.”
Cagalli
mengangkat wajah, sebab mendengar suara Athrun yang penuh emosi. Dan menemukan Athrun
berwajah bingung dan cemas.
“A,
aku tidak tahu apa maksudmu,” balas Cagalli.
“Kau
pergi, Cagalli. Tanpa bilang apa-apa. Lacus mencemaskanmu, Kira mencemaskanmu,”
ujar Athrun, menghela napas panjang. “Terlebih aku.”
“Aku
ada di sini, tidak ke mana-mana. Kalian saja yang berlebihan,” balas Cagalli
lagi, diiringi tawa palsu—mengingatkan diri bahwa kecemasan Athrun bukan
berarti dia spesial baginya.
Namun,
Athrun tiba-tiba menangkap lengan Cagalli, suaranya mengeras ketika bicara,
“Apanya yang tidak ke mana-mana? Apanya yang berlebihan? Kau tidak bilang
apa-apa, tidak pamit, bahkan tidak membalas kontak dariku! Jangan bercanda,
Cagalli!”
Athrun
marah. Cagalli menyadarinya.
Tapi,
kenapa dia berhak merasa marah? Padahal Cagalli bersusah-payah pergi jauh untuk
sekedar melupakan cintanya?
“Aku
hanya sibuk! Itu saja!” elak gadis itu.
“Bukan!
Kau melarikan diri!” tukas pemuda itu.
Telak.
“Kau
melarikan diri dariku, Cagalli! Aku tahu itu! Sebab yang kulakukan sama
denganmu!”
Sama? Apanya yang sama? Jelas perasaan
mereka tidak sama.
Cagalli
menggeleng, “Tidak, tidak. Tidak ada yang sama
di antara kita.”
Athrun
sudah punya tunangan, mereka saling mencintai. Sementara Cagalli? Cintanya
kepada Athrun bertepuk sebelah tangan, selalu.
Athrun
mendecakkan lidah, lantas sekonyong-konyong menarik Cagalli. Ke dalam
pelukannya. Membuat Cagalli tertegun sesaat, saking terkejutnya membuat dia
tidak berdaya melawan. Dia bilang, “Kita sama-sama melarikan diri!”
Beberapa
jenak lewat dalam sunyi. Hanya ada napas mereka yang berbenturan satu sama
lain.
Namun,
Athrun memecahkan kesunyian. Lagi.
“Aku
sudah memutuskan pertunanganku dengan Lacus.”
Bagai
disambar petir di siang bolong, Cagalli mendorong Athrun kuat-kuat. Mundur
tertatih-tatih beberapa langkah. Lantas menunduk, dengan pundak merosot. Cagalli
bersidekap, memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Kemudian berjalan mondar-mandir
tak tentu arah. Bibirnya berkomat-kamit, seolah sedang bicara pada dirinya
sendiri.
Meyakinkan
dirinya sendiri.
“Tidak,
tidak, tidak. Kau tidak mungkin memutuskan Lacus. Kalian pasangan yang serasi.
Aku…” lirih Cagalli, suaranya tercekat, “aku sengaja pergi jauh-jauh agar tidak
merusak hubungan kalian. Aku, a, aku… tidak… bukan inginku begini….”
Kacau
rasanya.
Cagalli
tidak tahu harus apa. Dia merasa bersalah. Meskipun dia tahu bahwa itu—
“Itu
bukan salahmu, Cagalli. Itu keinginanku,” Athrun berkata, seolah membaca isi
pikiran Cagalli. Ekspresi dan nada suaranya serius.
Pemuda
itu perlahan melangkah, mendekati gadis impiannya. Dengan lembut, ia meraih
jemari Cagalli, mengecupnya seraya berbisik lembut, “Sebab yang kucintai itu
kamu. Kamulah yang kuinginkan. Selama ini.”
Cagalli
menatap wajah pemuda di hadapannya itu. Sudah berapa tahun ia mengharap
mendengar kata-kata itu dari bibir Athrun? Sudah berapa kali ia
membayang-bayangkan situasi ini di kepalanya?
Dan
kini, benar-benar terwujud?
Apa
ini kenyataan?
“Aku?
Bukan Lacus?” bingung Cagalli. Wajahnya terangkat, tetapi matanya seolah
bertanya-tanya.
Athrun
mengeratkan genggaman tangannya, “Buat apa aku membangkang kepada ayahku,
mentraktir Lacus dan Kira makan malam mewah, menjodohkan mereka berdua,
menyelesaikan semua pekerjaanku buru-buru, agar bisa kemari secepatnya? Kalau
bukan demi menemuimu dan menyatakan perasaanku secara langsung?”
Disusul
senyum kecil di bibirnya. Yang tampak manis.
Menghadirkan
sedikit ketenangan di hati dan pikiran Cagalli. “Ta, tapi….”
Athrun
menghela napas dalam-dalam, lantas bicara—dengan nada lembut namun tegas, “Aku
mencintaimu Cagalli. Bersediakah kau memercayai perkataan dan perasaanku ini?”
Membuat
segalanya tumpah-ruah.
Tidak
sampai sekejap mata, wajah Cagalli memerah cerah, disusul air mata yang tidak
bisa dibendungnya lagi. Emosi yang ditahannya berbulan-bulan di tengah
kesendirian di kota terpencil ini, seolah membuncah keluar.
Bahwa
ia kesepian.
Bahwa
ia rindu.
Bahwa
ia cinta.
Maka
Cagalli mengangguk kecil, mengiyakan.
Dengan
semburat merah di pipinya, Cagalli berkata, “Aku sudah tahu sejak pertama kali
kita bertemu di Plants,” ia memberi jeda, menatap pemuda itu lekat-lekat,
“bahwa kamu pandai merayu wanita, Athrun,” imbuhnya dihiasi cengiran lebar.
Air
mata sudah dihapus, dengan bantuan jemari Athrun—Cagalli teringat sensasi
jarinya yang terasa dingin, namun menyejukkan. Membuat perasaannya nyaman.
“Dan…
eerm…” balas Athrun, kali ini entah kenapa tampak lebih gugup dibanding
sebelumnya. Tangannya merogoh saku jaketnya, lantas mengeluarkan sebentuk kotak
kecil yang kemudian dibuka: cincin perak dengan ukiran bunga bermata rubi merah
delima.
Terlalu mewah, pikir Cagalli.
Barangkali
kebimbangannya itu tersampaikan lewat ekspresi wajahnya—sebab Cagalli memang
gadis yang ekspresif—sehingga Athrun terpaksa berbicara, nadanya iseng, “Pilihlah,
ambil cincin ini atau mentraktirku crepes?”
Cagalli
menghela napas, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu?”
Athrun
menyeringai, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu.”
Cagalli
tertawa kecil, “Aku baru tahu kau pendendam, Athrun. Masalahnya, di kota kecil
ini tidak ada kios crepes.”
Athrun
mengangkat alis, tahu kemenangan telah ada dalam genggamannya, “Kalau begitu,
kau terpaksa mengambil cincin ini dan menerima lamaranku.”
Tawa
Cagalli lepas, “Licik.”
Athrun
mengangkat bahu, “Cerdik.”
Cagalli
dengan senang hati mengulurkan tangan kirinya dan membiarkan Athrun menyelipkan
cincin perak itu ke jari manisnya. Ukurannya pas. Ukiran bunga dengan mata rubi
merahnya indah.
Orang bilang, cinta pertama itu takkan
berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya
waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.
Namun, ternyata tidak demikian bagi Cagalli.
Barangkali gadis itu hanya beruntung saja. Barangkali permainan takdir memihak
padanya. Atau barangkali, lantaran Athrunlah cinta pertamanya.
Yang pasti, cinta pertama Cagalli bersemi.
Dengan indah, memenuhi hatinya.
Sementara
crepes-nya? Cagalli berniat
mentraktir Athrun nanti, di Heliopolis. Sebab, dia tahu, dirinya akan kembali
ke kota itu, mendampingi Athrun.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar