Cek di sini

Sabtu, 03 April 2021

[COMMISSION] Cinta di Kala Pertama - Long Live Asucaga

Fanfik Gundam SEED Athrun x Cagalli yang saya buat atas permintaan Long Live Asucaga, Februari 2021.

 

Baru kali ini Cagalli merasakan sesak yang begitu dalam, kelam, dan gelam. Pun baru kali ini ia tahu dirinya bisa berlari secepat itu, tanpa menatap jalan di hadapannya—atau tidak mampu, lantaran air mata telah membayang di pelupuk matanya.

Betapa ia ingin mengutuk hidupnya!

Baru sekali seumur hidup ada pemuda yang mengisi relung hatinya, walau tidak pernah lama ia berinteraksi dengannya, pemuda itu selalu ada di sudut-sudut hati dan pikirannya selama beberapa tahun belakangan.

Namun—tunangan!!

Dia ternyata sudah bertunangan!

Dengan seorang wanita berambut panjang indah, berparas cantik jelita, berpolah anggun, bergarisketurunan terpandang.

Mana mungkin Cagalli bisa mengungguli wanita sesempurna itu dan mendapatkan cinta pujaannya.

Athrun, Athrun, Athrun, Athrun—oh, sungguh nyeri ia rasakan tiap kali nama itu terucap di bibirnya! Kendati begitu, tak lepas nama tersebut dari bibir gadis itu, bak mantra yang menjadi satu-satunya tali penyelamat jiwanya. Cagalli tahu, jika ia berhenti merapalkan mantra itu, dirinya akan hancur, luluh lantak, hingga tak berbekas.

Setidaknya, biarkan bibirnya puas mengulang-ulang nama itu, hingga ia tiba di rumahnya, di kamarnya, di tengah kesendirian dan kegelapan; barulah ia boleh melepaskan seutas tali yang saat ini ia pegang erat-erat—yang gadis itu tahu jelas, akan membawanya kepada tangisan berderai.

*


“Hei,” seorang pemuda berambut biru gelap menepuk pundak Cagalli dari belakang, membuat Cagalli terkejut. Gadis itu mengernyitkan dahi, tidak mengenal pemuda tersebut.

“Dari tadi kulihat kau hanya mondar-mandir di sini terus. Perlu bantuan?” tanyanya lagi. Ucapannya langsung dan tanpa basa-basi, yang justru membuat gadis berambut pirang itu curiga.

Cagalli menepis tangan pemuda itu dari pundak, lantas menjawab dengan memalingkan wajah, “Tidak ada. Aku hanya sedang menunggu teman.”

“Menunggu teman yang sudah satu jam belum datang juga?” heran pemuda itu lagi.

Cagalli serta-merta menoleh ke arah pemuda itu, tatapannya tajam menantang, “Kamu mengawasiku atau apa? Kenapa bisa-bisanya tahu aku sudah di sini sejam?!”

Si pemuda mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah, “Oke, maaf. Bukan maksudku seperti itu. Aku hanya kebetulan lewat sekitar sejam yang lalu dan melihatmu di sini,” memutus ucapannya sesaat begitu melihat Cagalli yang semakin menyipitkan mata curiga, “kamu tahu Kota Februarius ini salah satu spot wisata utama di Plants. Mestinya tidak aneh jika banyak yang bolak-balik di sini, termasuk aku.”

Cagalli terdiam sejenak, berpikir. Sebenarnya masuk akal perkataan pemuda itu. Apalagi ini di hari libur besar, bukan hanya turis lokal yang berbondong-bondong ke Plants, bahkan turis asing seperti Cagalli saja liburan kemari.

“Aku terpisah dari teman-temanku,” ujar gadis itu, menghela napas panjang, lantas, “dan tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang ke arah mana,” akunya akhirnya.

“Oh, anak tersesat?” balas pemuda itu, samar-samar terdengar nada geli di suaranya, kemudian bertanya, “Tidak dikontak saja?”

Cagalli yang menyadari nada mengejek itu, menjawab dengan agak kesal, “Aku tidak tahu di mana ponselku berada. Entah terjatuh di toko suvenir yang kudatangi sebelumnya atau tidak sengaja tertinggal di tas yang di bus atau kutitipkan ke kawan. Pokoknya, tidak ada padaku sekarang.”

Pemuda itu bersidekap, jari-jari tangan kanannya di bawah dagu, “Hmm… makanya kamu tidak bisa menghubungi dan dihubungi mereka.” Ia lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebentuk ponsel pintar untuk kemudian diulurkan kepada Cagalli, “Pakai ponselku, hubungi seseorang.”

“Ah,” Cagalli merespons ragu, “ta, tapi… itu akan merepotkanmu.”

Pemuda itu meletakkan ponselnya ke telapak tangan Cagalli—dengan agak memaksa, “Hubungi seseorang,” ulangnya.

Cagalli mengangguk, “Terima kasih,” lantas menelepon kawannya.

Setelah bercakap-cakap sejenak, Cagalli memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel itu ke empunya, “Mereka sudah kembali ke bus,” imbuhnya.

Pemuda itu mengangguk, “Akan ada yang menjemputmu?”

“Eeer…” gadis itu ragu-ragu, “iya, tapi katanya mereka masih belum berkumpul semua. Jadi, aku harus menunggu.”

“Lama?” tanya pemuda itu lagi. Suaranya yang bernada khawatir membuat Cagalli kontan menoleh kepadanya dan menatap wajahnya.

Oh, itulah pertama kalinya Cagalli dapat memandangi wajah penolongnya itu lekat-lekat—dan kalau boleh jujur, Cagalli tidak mungkin tidak tertarik dengan wajahnya yang tampan.

Urgh, Cagalli mendadak merasa jijik dengan pikirannya sendiri: tampan? Cowok yang baru ditemuinya beberapa menit lalu? Apalagi dia tadi sempat mengejeknya sebagai ‘anak tersesat’? Ayolah, yang benar saja, Cagalli Yula Athha!!

Buru-buru gadis itu menepuk wajahnya dengan agak keras. Berharap pikiran-pikiran aneh itu segera lenyap.

“Hei? Kamu kenapa?” tanya pemuda itu lagi, terheran-heran dengan sikap Cagalli.

Cagalli membalas cepat, “Bukan apa-apa. Aku hanya tiba-tiba merasa kantuk. Itu saja,” lalu teringat pertanyaan pemuda itu sebelumnya, “dan—iya, sepertinya akan lama. Apalagi jarak parkir busnya cukup jauh dari sini.”

“Oke,” imbuh pemuda berambut biru gelap itu lagi, sambil mengecek arlojinya sesaat. “Kebetulan aku masih ada waktu, mau kutemani sampai teman-temanmu datang?” tanya pemuda itu lagi, entah kenapa Cagalli merasa betul-betul sedang diperlakukan seperti anak kecil yang tersesat—dia memang sedang tersesat, tapi bukan anak kecil.

“Ta-tapi…” ragu Cagalli. Tetap saja, ia merasa tidak enak jika harus merepotkan orang yang baru ditemuinya lebih dari ini. Apalagi mereka sama-sama belum saling tahu nama.

“Tidak apa. Ayahku masih ada pertemuan dengan rekan bisnisnya. Aku yakin bakal lama. Dan aku lebih yakin lagi bakal bosan jika hanya menunggunya sendirian—ah! Mungkin lebih tepat kalau kubilang akulah yang minta ditemani olehmu.”

Cagalli tertegun sesaat. Ia menimbang-nimbang perkataan pemuda itu barusan. Lantas memutuskan, “Kamu baik hati, ya. Mencari-cari alasan hanya untuk menemaniku.”

Yang malah dibalas derai tawa singkat oleh si pemuda.

“Jadi?” tanya pemuda itu lagi, nada suaranya terdengar bersemangat.

“Oke, akan kutemani kau menunggu ayahmu,” balas Cagalli. “Supaya kau tidak bosan,” diiringi cengiran ceria khasnya.

Cagalli memang pada dasarnya gadis yang mudah akrab dengan siapa pun. Ia mudah berkenalan dengan orang baru, cepat beradaptasi dengan lingkungannya, dan senantiasa dikelilingi kawan.

“Tapi,” potong gadis itu saat si pemuda mengulurkan tangan ke arahnya—yang jelas membuat Cagalli terkejut, “kuharap aku tahu namamu sebelum kita berpetualang bersama di Plants.”

Lantas ia tanpa ragu menyambut uluran tangan si pemuda. Tangan pemuda itu dingin, sadar Cagalli; tetapi justru terasa menyejukkan dan nyaman. Gadis itu menyukai sensasi yang diberikan tangan tersebut.

“Panggil saja Athrun. Aku datang dari Orb.”

Athrun lantas menarik tangan Cagalli untuk bangkit dari bangku taman yang sedari tadi didudukinya.

“Salam kenal, Athrun. Aku Cagalli. Dan, ternyata kita sama-sama dari Orb,” balasnya diiringi senyum ceria, yang tampaknya menular juga ke Athrun sebab pemuda itu membalasnya dengan senyum pula.

“Oke, mau kita mulai dari mana petualangan hari ini?” canda Athrun, menimpali ucapan Cagalli sebelumnya, tentang ‘petualangan’ yang akan mereka lalui berdua. “Atau, jangan-jangan kamu tidak tahu ada apa saja di Plants? Baru pertama kali ke sini, ‘kan?”

Tak disangka, gadis itu malah menjawabnya dengan memberengut, “Hei! Meski baru pertama kali ke Plants, aku tahu lokasi-lokasi wisatanya! Jangan meremehkanku yang pandai menghafal peta!” ujarnya mantap, pipinya digembungkan sedikit tanda kesal.

Athrun tersenyum geli melihat sikap Cagalli yang tampak manis itu, “Pandai menghafal peta, tapi tersesat?” sebelum akhirnya berucap, “Baiklah, silakan Anda yang memimpin, Tuan Putri.”

Yang dibalas delikan tajam dari yang dipanggil ‘Tuan Putri’ barusan, “Sengaja ya!? Kamu sengaja memanggilku begitu untuk mengejekku!? Sebelumnya memperlakukanku kayak anak kecil, sekarang begini! Ingin membuatku kesal!?”

Lantaran, Cagalli sadar diri. Dilihat dari sisi mana pun, dia jelas bukan tipe gadis yang cocok dipanggil ‘Tuan Putri’: dengan fesyen favoritnya hanya terdiri dari kemeja flanel, celana jins yang sobek di beberapa tempat, sepatu kets, dan topi baret.

Cagalli gadis yang tomboi.

Hanya saja, Athrun malah membalas dengan tawa—tawa lepas yang membuat pipi pemuda itu berona cerah dan matanya menyipit di ujung-ujungnya; yang nyatanya menjadi tawa Athrun yang tak pernah dilupakan Cagalli selama bertahun-tahun setelahnya.

“Siapa bilang niatku ingin membuatmu jengkel? Aku serius memanggilmu Tuan Putri! Sebab, buatku setiap gadis itu layaknya tuan putri, tidak ada pengecualian. Apalagi buatmu, Cagalli.”

Semburat merah kemalu-maluan mewarnai wajah Cagalli dengan cepat. Gadis itu merasa Athrun benar-benar cowok yang pandai merebut hati wanita, “Pokoknya, hentikan panggilan memalukan itu, atau kau harus mentraktirku crepes!”

“Oke, aku pilih mentraktirmu crepes,” balas Athrun lagi, menyeringai. Oh, dia merasa menang kali ini. “Tuan Putri,” imbuhnya dengan sengaja, mengisengi Cagalli agar gadis itu makin kesal.

Dengan pipi menggembung kesal dan langkah yang dientak-entakkan, Cagalli menggiring Athrun menuju petualangan singkat mereka berdua di hari itu: tujuan pertama, kios crepes.

Beberapa jam setelahnya, begitu tiba di bus rombongan, Cagalli bercerita kepada teman-teman terbaiknya: bahwa ia barusan dipaksa menemani seorang pemuda yang baru dikenalnya untuk menghabiskan waktu menunggui ayahnya mengurusi bisnis.

Dan, mungkin—dengan wajah yang bersemu kemerahan—ia mengaku baru mengalami yang namanya jatuh cinta, untuk pertama kali dalam hidupnya.

*

Orang bilang, cinta pertama itu takkan berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.

Namun, permainan takdir tidak ada siapa pun yang dapat menduganya.

Lima tahun berlalu, Cagalli kini bekerja di suatu rumah sakit terbesar di ibukota Heliopolis. Semua berjalan sesuai rencananya: belajar ilmu kedokteran di universitas favorit, lalu mengabdi sebagai dokter untuk menolong banyak orang.

Hanya saja, ada satu yang tak berjalan sesuai rencana—yang tak pernah terbayangkan akan terjadi: Athrun juga bekerja di rumah sakit tersebut. Athrun—pemuda yang kebetulan ditemuinya di Plants lima tahun lalu dan membantu Cagalli yang tersesat di sana seorang diri. Sosok yang selama tahun-tahun belakangan ini memenuhi relung hatinya, berharap akan berjumpa kembali suatu saat nanti untuk membalas budi.

Cagalli pikir, ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan pemuda yang menarik hatinya itu. Dipikirnya, seumur hidup dia takkan sempat membayar utang budinya waktu di Plants.

“Eeh…? Cagalli?” panggil Athrun, wajahnya tampak terkejut, tetapi dihiasi rona menyenangkan.

Saat itu, Cagalli hendak memperkenalkan diri bersama serombongan koas angkatan baru kepada seorang manajer yang bekerja langsung di bawah direktur utama rumah sakit tersebut.

Rasa-rasanya itu seperti mimpi saja.

Atau barangkali itu memang mimpi.

“A-Athrun?” ragu Cagalli. Ingin sekali gadis itu mencubit pipinya sendiri keras-keras. Ia meragukan pandangan serta pendengarannya. Benarkah yang ditatapnya itu Athrun? Benarkah suara yang memanggilnya itu Athrun?

Dan—oh! Dia masih mengingat nama Cagalli! Betapa kenyataan itu saja seolah mampu membuat hati Cagalli melonjak kegirangan.

Athrun masih mengingat Cagalli, mengingat namanya pula.

“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu di tempat begini. Sudah berapa tahun sejak Plants, ya?” susulnya, diiringi senyum santun.

“Li, lima tahun,” jawab Cagalli cepat, lantas melanjutkan dengan agak malu-malu, “seingatku.”

Athrun lantas maju ke arahnya, mengulurkan tangan. “Aku senang kita bisa bertemu lagi, bahkan bekerja di tempat yang sama,” ujarnya diiringi senyum ramah.

Cagalli menyambut uluran tangannya—terkenang akan momen-momen perkenalan mereka lima tahun silam di Plants, “Aku juga. Mohon bantuanmu, Athrun.”

“Mohon bantuanmu juga. Kuharap aku bisa jadi rekan kerja yang sepadan denganmu.”

Gadis pirang itu menggeleng, “Oh, tidak. Justru mestinya aku yang bilang begitu, Tuan Manajer.”

Mendengar panggilan yang terlalu resmi itu, Athrun serta-merta mengerutkan kening dan menghela napas, “Sebelum menjadi seorang manajer, lima tahun lalu aku sudah lebih dulu menjadi temanmu. Sekarang pun tetap sama. Aku masih temanmu. Jadi, aku dengan tegas melarangmu memanggilku dengan jabatan seperti tadi. Panggil saja Athrun. Tanpa embel-embel.”

Melihat Athrun yang tidak mampu menyembunyikan kekesalan dan kebingungan dari gelagatnya membuat Cagalli pun tidak mampu menahan tawa. “Ahaha! Baiklah, baiklah, Athrun-Tanpa-Embel-Embel-Yang-Masih-Jadi-Temanku.”

“Hei! Maksudku bukan begitu juga!” protes Athrun.

Yang justru membawa tawa makin keras ke bibir Cagalli, membuat mereka berdua ditatap heran oleh orang-orang di ruangan yang sama.

Jika boleh jujur, sebetulnya saat itu Cagalli sempat lupa bahwa mereka berdua sedang di situasi resmi bersama para profesional lainnya. Bahwa mereka bukan sedang berdua saja, seperti halnya sewaktu di Plants. Namun, sikap Athrun yang entah kenapa langsung akrab dengannya membuat Cagalli turut mengabaikan suasana kaku dan resmi yang melingkupi mereka.

Sekaligus membuat perasaan hangat di hati Cagalli kian menguat. Dengan perlahan-lahan. Dan sembunyi-sembunyi.

Setidaknya—pikir Cagalli—kini dia sudah berjumpa kembali dengan Athrun; sesuatu yang bahkan tidak pernah terbayangkan akan terjadi olehnya selama ini.

Urusan hati, dibiarkan nanti saja.

Sebab, dia masih memiliki banyak waktu untuk dilalui bersama Athrun. Selama dia masih bekerja di rumah sakit tersebut.

Cagalli memutuskan akan menikmati momen-momen kebersamaannya dengan Athrun. Sebagai teman.

Jadi, urusan hati—lagi-lagi, dibiarkan nanti saja.

Nanti saja.

Sebab, dia masih memiliki banyak waktu.

*

Tidak banyak waktu yang dimiliki oleh Cagalli. Untuk dia segera pergi dari tempat itu.

Sebelum dirinya luluh-lantak. Memandangi pemuda yang sudah begitu akrab dengannya selama setahun belakangan ini, bercakap-cakap dengan seorang gadis berambut panjang merah muda nan indah, yang juga merupakan putri seorang konglomerat, yang sekaligus merupakan tunangan Athrun: Lacus.

“Ah, Cagalli!”

Suara yang terlampau familier di telinganya. Yang entah kenapa, tidak membuat Cagalli kuasa untuk mengabaikannya. Selalu seperti itu.

Maka, seperti yang sudah ditebak oleh dirinya sendiri, Cagalli menoleh—mengabaikan keinginannya untuk melarikan diri barusan, “Oh, ternyata kau, Athrun. Ada apa?”

Kabar mengenai pertunangan mereka tiba di telinga Cagalli baru dua hari yang lalu, yang membuat gadis itu berlari pulang di tengah janji bertemu mereka untuk makan bersama di restoran kaki lima favorit Athrun dan Cagalli.

“Hei, kamu sudah sehat? Dua hari yang lalu kamu tiba-tiba pulang duluan dengan wajah pucat,” imbuh Athrun dengan ekspresi cemas di wajahnya.

Cagalli meneguk ludah. Diliriknya Lacus yang sedang berdiri di samping Athrun. Mereka tampak sangat cocok satu sama lain. Dan membuat Cagalli ingin melarikan diri, lagi.

Gadis berambut pirang itu tertawa kaku, “A ha ha, maaf, malam itu aku merusak acara makan kita. Dan… yah, aku sudah baik-baik saja, Athrun.”

Mendengar kabar baik itu, Athrun menghela napas. Postur tubuhnya yang barusan tampak tegang, kini melembut seolah-olah ada beban yang baru lepas dari pundaknya.

“Kau bikin kami khawatir saja!” sergah pemuda itu.

Lacus di sampingnya langsung merespons, lengannya yang putih, mungil, dan tampak rapuh itu mengait di lengan tunangannya. “Athrun, jangan kasar begitu. Kaudengar tadi, Cagalli baru sembuh dari sakit.”

Cagalli otomatis memalingkan wajah, dari pemandangan yang mengiris hatinya. Barangkali Lacus bukannya sengaja berniat bermesra-mesraan dengan Athrun di depan mata Cagalli, hanya Cagalli saja yang berpikir begitu.

“Hei, kamu yakin baik-baik saja?” cemas Athrun lagi, dilepasnya genggaman Lacus dari lengannya begitu saja, hanya untuk melangkah mendekati Cagalli dan tanpa diduga-duga menempelkan dahinya ke dahi Cagalli.

“Hm, tidak demam,” putus Athrun diiringi senyum.

Tindakan pemuda yang tak disangka-sangka itu jelas membuat hati Cagalli pontang-panting mendadak. Dengan panik, gadis itu mendorong Athrun menjauh dan berbicara dengan nada kasar, “Aku bukan anak kecil! Begini-begini, aku juga dokter—meski masih koas!”

Athrun malah tertawa mendengarnya, “Oke, maaf, Calon Dokter Hebat!”—tawa biasa ditunjukkannya pada Cagalli tiap kali mereka adu mulut selayaknya sahabat.

Oh—sahabat.

Baru kali itu Cagalli merasa dirinya tertampar.

Sahabat.

Dia hanya sahabat Athrun, tidak lebih.

Mengapa selama ini Cagalli seolah tidak menyadarinya? Malah tenggelam dalam harapan-harapan kosong yang justru dipupuknya sendiri? Yang kini jelas-jelas akan menggiringnya ke patah hati?

Lacus terkikik di belakang mereka, “Dasar, kalian ini dari dulu tidak berubah. Selalu akrab, ya. Seandainya aku juga punya sahabat karib yang seperti kalian…” gumam Lacus. Suaranya terdengar manis dan bersahaja. Cocok dengan wajah memesonanya.

Tapi setidaknya kamu punya Athrun sebagai tunanganmu, batin Cagalli. Yang sekonyong-konyong membuatnya merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir demikian soal Lacus! Padahal Cagalli kenal Lacus, dia gadis yang baik hati dan beruntung—ya, beruntung sebab cintanya berbalas—berkebalikan dengan nasib Cagalli yang nahas.

Ya, bisa jadi ini hanya persoalan nasib. Yang tidak bisa diupayakan oleh tangan Cagalli sendiri.

Maka, Cagalli sebaiknya cepat-cepat menyerah.

Sebelum lukanya terlanjur terlalu dalam hingga tak dapat lagi disembuhkan.

Kemudian, tiba-tiba terdengar dering ponsel. Milik Lacus. Gadis itu segera mengeceknya, membaca nama yang tertera di layarnya, lantas tersenyum, “Oh! Dari Kira! Aku terima teleponnya dulu, ya!”

Setelah gadis berambut merah muda itu pergi menjauh, Athrun dengan lesu bersandar ke tembok terdekat, wajahnya tertunduk. Suaranya pelan saat dia berkata, “Kautahu, Cagalli? Kurasa Lacus dan Kira saling menyukai.”

“Eh?”

Kabar itu terlampau mengejutkan. Saking mengejutkannya, Cagalli sampai tidak percaya pada pendengarannya sendiri.

Cagalli kenal Kira. Ia sahabat karib Athrun sejak kecil, lalu mereka berkenalan dengan Lacus di universitas. Berbeda dengan Athrun dan Lacus yang berasal dari keluarga terpandang dan kaya-raya, Kira hanya anak biasa.

Cagalli sangka hubungan mereka bertiga tetap bertahan meski Athrun dan Lacus telah bertunangan; ternyata… cinta segitiga mereka serumit itu?

Ah, bukan. Bukan cinta segitiga, sebab Cagalli pun masuk ke dalamnya.

“Ta-tapi, bukannya Lacus itu tunanganmu? Bukannya kalian sudah bertunangan?” tanya Cagalli, tergagap-gagap. Entah dia terlampau senang mendengar kabar itu, atau hanya terlampau gugup.

Athrun hanya angkat bahu, tampak acuh tak acuh, tetapi Cagalli tahu dari wajahnya bahwa Athrun merasa sedih. “Yah, kukira tidak semua orang bisa begitu beruntung, mendapatkan orang yang mereka cintai. Banyak yang akhirnya harus merelakan orang yang dicintainya. Kurasa… mungkin begitu nasib Lacus, yang terpaksa harus menikah denganku.”

Sungguh tidak tahan Cagalli menatap ekspresi sedih di wajah Athrun!

Bagaimana mungkin pria sebaik hati, secerdas, setampan, seramah, sehebat Athrun malah kehilangan kepercayaan diri? Dan malah tertunduk lesu, berkata bahwa tunangan yang dicintainya ternyata tidak mencintainya balik? Bahwa tunangannya yang sempurna itu malah mencintai pria lain?

Tidak, tidak.

Biar Cagalli saja yang merasakan betapa pahit pengalaman cinta yang tak berbalas.

Jangan Athrun.

Tidak boleh Athrun.

Maka, sembari mengiris sepotong hatinya sendiri, Cagalli berkata dengan nada ceria yang ia tahu hanya dibuat-buat, “Jangan murung begitu, Athrun! Masih ada aku! Aku pasti akan mendukung cinta kalian berdua! Akan kubantu kau merebut kembali hati Lacus! Akan kujamin kau berbahagia, selamanya!”

Gadis itu mengepalkan tangan kanan, mengacungkannya ke arah Athrun, yang—diiringi senyum bahagia—dibalas Athrun dengan menubrukkan kepalan tangannya juga: tanda persahabatan yang sering mereka lakukan tiap kali ada salah satu di antara mereka berdua ada yang tertimpa masalah.

Meski sebetulnya Cagalli tahu, di dalam hatinya, bahwa yang tertimpa masalah lebih berat bukanlah Athrun, melainkan dirinya sendiri.

Ya, dirinya sendiri.

Sebab ia tidak tahu lagi, harus dikemanakan perasaan cintanya itu.

Harus dikemanakan….

*

Athrun membuangnya ke tumpukan sampah. Dokumen-dokumen itu. Baginya tidak berguna lagi.

Yang pasti, Cagalli telah pergi. Diam-diam. Tanpa berpamitan apa pun kepadanya.

Memang, siapalah Athrun?

Hanya sahabatnya.

Bukan, bukan.

Athrun memang belum pernah mengaku kepada gadis itu secara langsung—apalagi berhubung dia sudah punya Lacus sebagai tunangan—kepada Cagalli, bahwa ialah satu-satunya gadis yang mampu membuatnya nyaman berada di dekatnya. Apalagi sudah beberapa tahun belakangan mereka bekerja di tempat yang sama, di rumah sakit milik keluarga Zala, keluarga Athrun.

Namun, tiba-tiba Cagalli dimutasi!

Dan bukan atas permintaan rumah sakit, melainkan permintaannya sendiri!

Apa yang sebetulnya terjadi!?

Athrun tidak mengerti. Sungguh tidak mengerti lagi.

Apa yang salah? Apa yang telah dia lakukan hingga membuat Cagalli tidak ingin bersamanya lagi? Apa dia yang salah? Sikap ragu-ragu dan setengah hati yang selalu lekat dengan dirinya? Apa memang karena itu? Karena Athrun tidak berani mengambil keputusan? Baik soal ketidakberaniannya untuk menentang sang ayah mengenai statusnya sebagai penerus rumah sakit ini? Juga tentang ketidakberdayaannya untuk menolak pertunangannya dengan Lacus?

Ya—Athrun menyadari—selama ini ia selalu menunda-nunda, membuat ayahnya menunggu, Lacus menunggu, bahkan Cagalli menunggu; sebab dia enggan bergerak dan mengambil tindakan.

Padahal ia menyadarinya, beberapa bulan yang lalu, beberapa minggu usai dia memberitahu Cagalli bahwa ia merasa Lacus dan Kira saling mencintai; Cagalli tiba-tiba mengajak Athrun, Lacus, juga Kira untuk makan bersama di kedai ramen kaki lima langganan mereka berdua.

Padahal dulu Cagalli sendiri yang bilang ingin merahasiakan kedai ramen tersebut dari siapa-siapa. Gadis itu bilang, ingin menjadikan tempat itu sebagai semacam ‘markas rahasia’ antara dirinya dan Athrun. Hanya dengan Athrun.

Mestinya Athrun langsung menyadari ada yang tidak beres saat itu, ketika Cagalli mendadak mengajak orang lain ke kedai rahasia mereka berdua.

Selama pertemuan, Cagalli duduk di samping Kira, sementara Athrun dengan Lacus. Selama pertemuan, Cagalli hanya berbincang dengan Kira: dengan keceriaannya, Cagalli dengan mudah membuka hati Kira dan mengakrabkan diri dengannya, apalagi ternyata mereka sama-sama berhobi menonton film.

Sementara, Athrun dan Lacus yang diabaikan, terpaksa mencari bahan obrolan yang sebetulnya tidak begitu cocok. Athrun mengakui, semenjak mengenal Lacus, belum pernah sekali pun dia bercakap-cakap dengan gadis cantik itu lebih dari lima menit—kecuali jika ada Kira.

Maka, sungguh, perjamuan makan malam waktu itu bagaikan neraka bagi Athrun.

Namun, seperti biasa, Athrun menyembunyikannya.

Asalkan bisa bersama Cagalli. Asalkan Cagalli menginginkannya.

Kini, ia telah kehilangan Cagalli.

Ia tidak boleh lagi terlambat mengambil langkah dan bimbang lagi. Ia harus bergerak sekarang juga.

Maka, ia bangkit dari meja kerjanya, mengambil dokumen-dokumen yang tadi dibuangnya ke tempat sampah, lantas melangkah.

Untuk yang pertama, ia selesaikan masalah dengan ayahnya. Berbicara bahwa dia tidak ingin bertunangan dengan Lacus, bahwa ia dan Lacus hanya menganggap satu sama lain sebagai sahabat; tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu, kedua, ia akan pergi menemui Lacus dan Kira. Barangkali sambil mengajak mereka makan malam bersama, di restoran kesukaan mereka, di ruangan yang privat. Untuk kemudian ia mengutarakan perasaan yang sesungguhnya—mereka berdua pasti akan mendukungnya, bukan? Sebab mereka adalah sahabat terbaik Athrun, setara dengan Cagalli—meski di beberapa sisi, Cagalli mungkin menempati posisi yang lebih penting dibanding mereka berdua: sebagai gadis yang dicintai Athrun.

Oh, ya.

Athrun mencintai Cagalli.

Itu, yang ketiga: dia harus melacak ke mana perginya Cagalli. Dari dokumen mutasi Cagalli yang diterima olehnya—yang barusan sempat dibuangnya ke tempat sampah saking kesal, marah, sedih, dan hampa dia rasakan; Cagalli dimutasi ke kota Kaguya.

Jauh.

Itu kota yang jauh dari Heliopolis.

Seseorang dari Heliopolis harus terbang dengan pesawat selama dua jam, disusul dengan perjalanan menggunakan kereta selama hampir delapan jam, barulah tiba di kota Kaguya.

Aaah… Betapa banyak yang harus dilakukannya. Betapa banyak yang harus dipersiapkannya.

Namun, tekadnya sudah bulat: ia tidak mau kehilangan Cagalli.

Apa pun caranya, ia akan menemui lagi sahabat—sekaligus gadis yang dicintainya itu.

“Cagalli, aku pasti akan menemukanmu.”

*

Sudah enam bulan Cagalli berada di desa terpencil ini, Kaguya. Dia merasa sudah lebih tenang, lebih berkepala dingin, dan lebih siap untuk menghadapi hatinya sendiri.

Tanpa kehadiran Athrun di sisi, ia bisa melihat ke dalam jiwanya sendiri: apakah yang sebetulnya dia inginkan, bagaimana akan dia alihkan perasaan yang selama ini disembunyikannya, apa yang bisa dilakukannya mulai sekarang untuk mencari kebahagiaan baru?

Benar kata orang, pikir Cagalli, menjauh dari cinta akan membantu menetralisirnya. Meski rasa kesepian merundungnya hingga tak tertahankan.

Di Kaguya, dia bisa fokus mengejar impiannya: menjadi dokter yang mengabdikan diri pada masyarakat.

Bukannya memikirkan Athrun dan cintanya yang tak berbalas.

“Dokter Cagalli,” panggil resepsionis di depan ruangan praktiknya.

Cagalli menaikkan alis, “Bukannya Anda bilang hari ini sudah tidak ada pasien?”

Suara wanita tua yang dipekerjakannya itu terdengar agak ragu-ragu, tetapi juga penuh ketertarikan, “Iya, tapi ada seseorang yang mencari Anda.”

Cagalli semakin menaikkan alis. Siapa yang mencarinya? Apa ibu-ibu desa yang ingin membagikan jagung hasil panen? Apa anak laki-laki yang kemarin membawa anjing peliharaannya—menyangka Cagalli bisa mengobati hewan juga? Atau remaja tanggung yang belakangan ini sering minta bantuan Cagalli untuk mengajarinya mengerjakan PR sekolah?

“Siapa?” tanya Cagalli.

Resepsionis itu makin ragu-ragu, “Eerm…”

Lantas, terdengar suara lain menyusul, “Biar saya langsung masuk ruangannya saja, terima kasih.”

Deg.

Jantung Cagalli mendadak berlompatan kegirangan.

Ia akrab sekali dengan suara itu.

Athrun.

Apa mungkin dia hanya bermimpi? Saking rindunya, dia dibayang-bayangi suara Athrun? Barangkali itu hanya suara seseorang yang mirip dia? Lagipula, jika itu memang Athrun, buat apa dia jauh-jauh ke Kaguya? Pastinya bukan hanya untuk mengunjungi Cagalli. Siapa tahu dia hanya mengantar ayahnya dinas lagi—seperti waktu mereka berjumpa pertama kali di Plants?

“Cagalli, ini aku. Boleh aku masuk?” tanya suara itu lagi.

Athrun atau bukan, Cagalli harus membukakan pintu baginya.

Meneguk ludah gugup, Cagalli berkata, lirih dan berat, “Silakan.”

Dan, di situlah dia: berdiri dengan tegapnya di ambang pintu, dengan jaket hitam dan buts yang menjadi ciri khasnya, dengan rambut biru gelap dan mata tajamnya.

Sama seperti dulu.

Sama seperti yang Cagalli cintai selama ini.

Hanya saja, Athrun di hadapannya kini tampak lelah—tapi ini wajar sebab dia baru datang dari perjalanan jauh.

Dan gugup.

“Hei,” sapanya, singkat.

“Hei,” balas Cagalli. Sama-sama tidak tahu harus bilang apa di situasi canggung tersebut.

Setelah beberapa menit berlalu dalam kesunyian, akhirnya Athrun angkat bicara, “Akhirnya aku menemukanmu, Cagalli.”

Cagalli mengangkat wajah, sebab mendengar suara Athrun yang penuh emosi. Dan menemukan Athrun berwajah bingung dan cemas.

“A, aku tidak tahu apa maksudmu,” balas Cagalli.

“Kau pergi, Cagalli. Tanpa bilang apa-apa. Lacus mencemaskanmu, Kira mencemaskanmu,” ujar Athrun, menghela napas panjang. “Terlebih aku.”

“Aku ada di sini, tidak ke mana-mana. Kalian saja yang berlebihan,” balas Cagalli lagi, diiringi tawa palsu—mengingatkan diri bahwa kecemasan Athrun bukan berarti dia spesial baginya.

Namun, Athrun tiba-tiba menangkap lengan Cagalli, suaranya mengeras ketika bicara, “Apanya yang tidak ke mana-mana? Apanya yang berlebihan? Kau tidak bilang apa-apa, tidak pamit, bahkan tidak membalas kontak dariku! Jangan bercanda, Cagalli!”

Athrun marah. Cagalli menyadarinya.

Tapi, kenapa dia berhak merasa marah? Padahal Cagalli bersusah-payah pergi jauh untuk sekedar melupakan cintanya?

“Aku hanya sibuk! Itu saja!” elak gadis itu.

“Bukan! Kau melarikan diri!” tukas pemuda itu.

Telak.

“Kau melarikan diri dariku, Cagalli! Aku tahu itu! Sebab yang kulakukan sama denganmu!”

Sama? Apanya yang sama? Jelas perasaan mereka tidak sama.

Cagalli menggeleng, “Tidak, tidak. Tidak ada yang sama di antara kita.”

Athrun sudah punya tunangan, mereka saling mencintai. Sementara Cagalli? Cintanya kepada Athrun bertepuk sebelah tangan, selalu.

Athrun mendecakkan lidah, lantas sekonyong-konyong menarik Cagalli. Ke dalam pelukannya. Membuat Cagalli tertegun sesaat, saking terkejutnya membuat dia tidak berdaya melawan. Dia bilang, “Kita sama-sama melarikan diri!”

Beberapa jenak lewat dalam sunyi. Hanya ada napas mereka yang berbenturan satu sama lain.

Namun, Athrun memecahkan kesunyian. Lagi.

“Aku sudah memutuskan pertunanganku dengan Lacus.”

Bagai disambar petir di siang bolong, Cagalli mendorong Athrun kuat-kuat. Mundur tertatih-tatih beberapa langkah. Lantas menunduk, dengan pundak merosot. Cagalli bersidekap, memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Kemudian berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Bibirnya berkomat-kamit, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.

Meyakinkan dirinya sendiri.

“Tidak, tidak, tidak. Kau tidak mungkin memutuskan Lacus. Kalian pasangan yang serasi. Aku…” lirih Cagalli, suaranya tercekat, “aku sengaja pergi jauh-jauh agar tidak merusak hubungan kalian. Aku, a, aku… tidak… bukan inginku begini….”

Kacau rasanya.

Cagalli tidak tahu harus apa. Dia merasa bersalah. Meskipun dia tahu bahwa itu—

“Itu bukan salahmu, Cagalli. Itu keinginanku,” Athrun berkata, seolah membaca isi pikiran Cagalli. Ekspresi dan nada suaranya serius.

Pemuda itu perlahan melangkah, mendekati gadis impiannya. Dengan lembut, ia meraih jemari Cagalli, mengecupnya seraya berbisik lembut, “Sebab yang kucintai itu kamu. Kamulah yang kuinginkan. Selama ini.”

Cagalli menatap wajah pemuda di hadapannya itu. Sudah berapa tahun ia mengharap mendengar kata-kata itu dari bibir Athrun? Sudah berapa kali ia membayang-bayangkan situasi ini di kepalanya?

Dan kini, benar-benar terwujud?

Apa ini kenyataan?

“Aku? Bukan Lacus?” bingung Cagalli. Wajahnya terangkat, tetapi matanya seolah bertanya-tanya.

Athrun mengeratkan genggaman tangannya, “Buat apa aku membangkang kepada ayahku, mentraktir Lacus dan Kira makan malam mewah, menjodohkan mereka berdua, menyelesaikan semua pekerjaanku buru-buru, agar bisa kemari secepatnya? Kalau bukan demi menemuimu dan menyatakan perasaanku secara langsung?”

Disusul senyum kecil di bibirnya. Yang tampak manis.

Menghadirkan sedikit ketenangan di hati dan pikiran Cagalli. “Ta, tapi….”

Athrun menghela napas dalam-dalam, lantas bicara—dengan nada lembut namun tegas, “Aku mencintaimu Cagalli. Bersediakah kau memercayai perkataan dan perasaanku ini?”

Membuat segalanya tumpah-ruah.

Tidak sampai sekejap mata, wajah Cagalli memerah cerah, disusul air mata yang tidak bisa dibendungnya lagi. Emosi yang ditahannya berbulan-bulan di tengah kesendirian di kota terpencil ini, seolah membuncah keluar.

Bahwa ia kesepian.

Bahwa ia rindu.

Bahwa ia cinta.

Maka Cagalli mengangguk kecil, mengiyakan.

Dengan semburat merah di pipinya, Cagalli berkata, “Aku sudah tahu sejak pertama kali kita bertemu di Plants,” ia memberi jeda, menatap pemuda itu lekat-lekat, “bahwa kamu pandai merayu wanita, Athrun,” imbuhnya dihiasi cengiran lebar.

Air mata sudah dihapus, dengan bantuan jemari Athrun—Cagalli teringat sensasi jarinya yang terasa dingin, namun menyejukkan. Membuat perasaannya nyaman.

“Dan… eerm…” balas Athrun, kali ini entah kenapa tampak lebih gugup dibanding sebelumnya. Tangannya merogoh saku jaketnya, lantas mengeluarkan sebentuk kotak kecil yang kemudian dibuka: cincin perak dengan ukiran bunga bermata rubi merah delima.

Terlalu mewah, pikir Cagalli.

Barangkali kebimbangannya itu tersampaikan lewat ekspresi wajahnya—sebab Cagalli memang gadis yang ekspresif—sehingga Athrun terpaksa berbicara, nadanya iseng, “Pilihlah, ambil cincin ini atau mentraktirku crepes?”

Cagalli menghela napas, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu?”

Athrun menyeringai, “Pembalasan sewaktu di Plants dulu.”

Cagalli tertawa kecil, “Aku baru tahu kau pendendam, Athrun. Masalahnya, di kota kecil ini tidak ada kios crepes.”

Athrun mengangkat alis, tahu kemenangan telah ada dalam genggamannya, “Kalau begitu, kau terpaksa mengambil cincin ini dan menerima lamaranku.”

Tawa Cagalli lepas, “Licik.”

Athrun mengangkat bahu, “Cerdik.”

Cagalli dengan senang hati mengulurkan tangan kirinya dan membiarkan Athrun menyelipkan cincin perak itu ke jari manisnya. Ukurannya pas. Ukiran bunga dengan mata rubi merahnya indah.

Orang bilang, cinta pertama itu takkan berakhir bahagia. Mereka bilang, cinta pertama pasti pupus seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan memudar hingga akhirnya tidak bersisa.

Namun, ternyata tidak demikian bagi Cagalli. Barangkali gadis itu hanya beruntung saja. Barangkali permainan takdir memihak padanya. Atau barangkali, lantaran Athrunlah cinta pertamanya.

Yang pasti, cinta pertama Cagalli bersemi.

Dengan indah, memenuhi hatinya.

Sementara crepes­-nya? Cagalli berniat mentraktir Athrun nanti, di Heliopolis. Sebab, dia tahu, dirinya akan kembali ke kota itu, mendampingi Athrun.

 

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar