Cerpen yang saya buat atas permintaan Tsukiha Tsukiharu, Januari 2021.
“Uwah~ kamarmu biasa banget, Yui. Terlampau rapi, malah!”
Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulut cewek
berambut pendek berwarna pucat itu, yang sekaligus adalah teman masa kecil
Yuichi: Oozora Ui.
“Kamu cowok kan? Kenapa bisa serapi ini sih?
Biasanya cowok nggak rapi kan?” lanjutnya lagi, mencerocos tanpa henti sembari
menggeret koper besarnya masuk ke ruang utama apartemen Yuichi—yang mulai hari
ini akan menjadi apartemen mereka berdua: Yuichi dan Ui.
Ya, Shigure Yuichi dan Oozora Ui akan tinggal
di bawah atap yang sama mulai hari ini.
Tidak ada yang aneh dari itu, setidak-tidaknya
begitulah isi pikiran Yuichi dan Ui. Meski sering kali, mereka dipandang aneh
oleh teman-teman sebayanya sewaktu masih di desa sebab hubungan mereka yang
terlalu akrab.
Yuichi menyelak, sembari tangannya merebut
gagang koper Ui tiba-tiba dan menggantikan cewek itu menggeretnya, “Sejak masih
di desa dulu, kamu sudah sering masuk kamarku! Yang selalu rapi! Mestinya kamu
nggak perlu seheran itu, dasar berlebihan!”
Ui membalas dengan kalimat yang masih sama
panjangnya, “Yaaah… kukira kamu sudah berubah di kota besar. Atau, siapa tahu
kota besar mengubahmu. Kan biasanya begitu orang-orang!”
Yuichi menggeleng-geleng melihat Ui yang masih
saja banyak tingkah, “Dari tadi biasanya begini, biasanya begitu. Biasa
melulu!”
“Ehehehe~” balas Ui, cengengesan.
Cowok itu lalu mengarahkan kakinya ke kanan,
ke satu-satunya kamar kosong di apartemen tersebut.
“Bawaanmu cuma ini?” tanya Yuichi lagi,
menyingkir dari ambang pintu agar sahabatnya itu bisa masuk dan melihat
langsung kamar barunya dengan jelas.
Ui mengangguk, “Sisanya dikirim pakai
ekspedisi. Yang kubawa hanya satu koper itu. Isinya hanya pakaian, laptop, dan
alat-alat menggambar. Mungkin besok atau lusa sampai.”
Yuichi mengangguk.
“Kamu lapar kan? Sudah kusiapkan makanan
seadanya, kare. Kamu mau?”
Ui tersenyum lebar mendengarnya. Wajar, sebab
sudah sejak di stasiun tadi perutnya keroncongan.
“Mau! Mau kare atau omurice atau ramen instan pun, pasti bakal kulahap dalam sekejap!
Apa saja tidak masalah, yang penting perut bisa kenyang!” balas Ui riang.
Yuichi turut tersenyum juga. Sudah setahun
mereka terpisahkan, semenjak Yuichi pergi ke Tokyo setelah diterima bekerja
sebagai programmer di suatu studio
gim yang baru beberapa tahun merintis bisnisnya.
“Oke, kutunggu di ruang tengah. Kamu bongkar-bongkar
saja dulu,” jelas Yuichi, bermaksud menata makanan yang akan disajikannya
terlebih dulu di meja agar kawan lamanya itu bisa segera bersantap.
Namun, Ui malah mematung, kepalanya
ditelengkan ke kanan dan kiri sembari jari telunjuknya ditaruh di depan bibir.
Yuichi selalu geli saat melihat tingkah Ui yang seperti itu, menurutnya Ui
seperti burung perkutut saja.
Ui malah nyengir, “Nanti saja beres-beresnya,
kalau aku nggak malas!”
Yuichi menghela napas, “Dasar! Kalau begitu,
bantu aku menyiapkan meja.”
Ruang tengah menjadi satu-satunya ruangan
serbaguna. Televisi menyala di depan meja. Menayangkan acara ulasan suatu maid café di bilangan Shibuya, yang
sekaligus menjadi ajang promosi kafe yang ternyata sedang mengadakan event spesial dengan kostum kucing.
“Ah!” seru Ui, “ada maid café! Duh! Manis-manis banget para maid-nya! Pakai kostum kucing! Apalagi yang berambut kucir dua itu!
Aku suka! Suka!” cerocos Ui, matanya yang fokus ke layar televisi, tampak
berbinar-binar.
Yuichi menghela napas lelah, “Kesukaanmu
terhadap yang beginian nggak berubah juga, ya.”
Mendengar respons kawannya itu, Ui kontan
menggembungkan pipi. Kesal rupanya.
“Beginian apa maksudmu? Matamu masih normal
kan? Nggak lihat itu maid lucu manis imut
dan bikin pengin peluk-peluk? Pasti mereka itu empuk dan lembut semuanya!”
serunya, lantas melanjutkan, “kayaknya kamu sudah perlu pakai kacamata, Yui!”
“Makan dulu, sana. Katanya sudah keroncongan
kan?” balas Yuichi, kali ini malas meladeni Ui. “Lagipula, sudah kubilang
berkali-kali, jangan panggil aku Yui! Kita jadi sering disangka pacaran karena
pakai nama panggilan imut-imut begitu.”
Cewek yang diajaknya bicara ternyata sudah
melahap sesendok besar nasi karenya. “Yui ya, Yui! Pokoknya Yui! Aku maunya
panggil Yui! Yui melulu, selamanya!”
“Setop.”
“Aku mau setop asalkan Yui menemaniku ke maid café yang tadi!”
“Aku bakal memasakkanmu yang enak-enak asalkan
kamu berhenti mengajakku ke tempat-tempat begituan.”
“Aku bakal terus memanggilmu Yui, di depan
orang banyak, kalau kau terus bilang maid
café itu ‘tempat begituan’. Dan jangan kira aku bisa dibujuk dengan makanan
enak.”
“Aku bakal—ergh! Setop! Ini nggak ada
habis-habisnya!!” seru Yuichi tiba-tiba.
Membuat Ui tertawa dan berkata bangga, “Aku
menang! Skor 1-0 untuk Ui!”
Yuichi menghela napas lelah, menepukkan
tangannya ke wajah.
“Dan aku terima tawaranmu untuk masak yang
enak-enak! Y-U-I ♥”
Tidak tahan dengan sikap semena-mena cewek
rambut pendek itu, Yuichi menyentil dahi Ui. Jelas-jelas karena gemas, bukan
untuk menyakitinya sama sekali.
“Adaow!” jerit Ui, hiperbola. Lalu dengan
ekspresi horor yang dilebih-lebihkan, ia berseru, “KDRT! Yui, suami yang
menyiksa Ui, istrinya yang paling menggemaskan!”
Geregetan, akhirnya Yuichi mengalah. “Oke!
Oke! Nanti kutemani ke maid café!
Sekarang, makan!”
Ui cengir lebar, “Yessir!”
*
“Kamu serius bisa pergi sendiri? Yakin nggak
bakal nyasar? Sudah tahu tempatnya? Peta di ponselmu sudah diatur? Tahu harus
naik kereta di jalur mana? Nanti kalau ragu, tanya saja ke petugas stasiun, dan
kalau tersesat di jalan, kamu cari saja pos pol—”
“Sejak kapan Yui jadi emakku, sih? Kalau
kesasar, cari pos polisi. Kalau nggak tahu jalur kereta mana, tanya ke petugas
stasiun. Blablablabla. Nggak sekalian tanya aku sudah bawa saputangan atau
belum? Atau bekal makan siang sudah dimasukkan ke tas atau belum?”
“Oh iya! Bekal makan siangmu sudah dibawa, kan?”
Kalau biasanya Yuichi yang setengah mati
berusaha menghentikan ucapan Ui yang tiada habisnya, kali ini Ui mengambil
inisiatif duluan—soalnya kalau tidak, bisa-bisa mereka tidak berangkat juga ke
kantor!
Maka Ui menepukkan kedua tangannya di depan
wajah Yuichi. Plok!
“Yui! Semua sudah siap. Paham?”
Yuichi mengedip-edipkan matanya sesaat,
terkejut dengan tepukan tangan Ui tepat di depan wajahnya, seolah-olah dia baru
tersadar.
“O, ooh… Baiklah.”
Ui mengangguk puas, bibirnya terangkat dengan
senyum, “Sip! Ayo, kita berangkat!”
Hari ini hari pertama Ui bekerja. Gadis yang
sejak kecil bercita-cita menjadi ilustrator itu akhirnya berhasil mewujudkan
impiannya dan diterima sebagai ilustrator tetap di suatu studio desain. Tugas
utama studio tersebut mendesain dan menggambar karakter untuk produk-produk
komersial, namun sesekali mereka dapat pekerjaan membuat latar belakang untuk
anime atau gim juga.
Makanya, wajar jika Ui begitu bersemangat di
hari pertamanya bekerja ini. Wajahnya berseri-seri, pipinya merah merona, matanya
berbinar-binar. Yang paling penting, senyum cerah tidak pernah lepas dari
bibirnya.
Yuichi yang melihat kawan baiknya sebahagia
itu, tidak tahan untuk tidak menepuk-nepuk puncak kepalanya, maka dilakukanlah
itu.
“A-apaan sih, Yui?” ujar Ui, kaget karena
tiba-tiba ada sebentuk tangan hangat di atas kepalanya. Padahal gadis itu sudah
berpenampilan terbaik dengan mengenakan topi baret merah muda persik
favoritnya. “Topiku! Topiku nanti jatuh! Nanti rusak!”
Namun malah dibalas Yuichi dengan tawa, “Memangnya
topimu semurahan apa sampai bisa rusak hanya karena kutepuk-tepuk sedikit?”
“Hei! Tidak sopan!” protes Ui, “ini kubeli pas
lulus SMA, sebagai bentuk keseriusanku mau menjadi ilustrator profesional,
tahu!” imbuhnya, sambil mendorong Yuichi keluar pintu. “Buruan berangkat, kalau
nggak nanti aku bisa telat! Meski aku nggak peduli kalau kamu masih mau di
depan pintu begini sampai siang nanti dan diomeli atasanmu sampai dipecat,
Yui!”
Mendengar itu, Yuichi melirik arlojinya di
tangan kiri: sudah menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Gawat.
“Ayo!” aba-abanya sembari menarik lengan Ui di
belakangnya. Mereka berlari secepatnya, menuruni tangga apartemennya.
Kira-kira 10 menit kemudian mereka sudah tiba
di stasiun terdekat. Yuichi terpaksa menunggu kereta berikutnya di jalur
2—kereta yang biasa ia naiki sudah keburu berangkat 2 menit lalu, sementara
kereta Ui tidak lama lagi akan tiba di jalur 4.
“Yui? Jalur keretamu di seberang tuh.”
Yuichi hanya mengangguk dan bergumam lirih,
“Hmm.”
“Sudah telat, bukan?”
Yuichi balas dengan menghela napas, “Sudah
kukabari rekan kerjaku.”
Ui tersenyum, lalu menowel pinggang Yuichi
jahil, “Nggak usah ditemani. Aku sudah dewasa, kautahu!”
Yuichi menahan jari-jemari Ui yang tidak bisa
diam itu dengan menggenggamnya, lalu menatap mata gadis lekat-lekat, rasa
khawatir kentara jelas tergambar di wajah pemuda itu. “Tapi kamu baru kali ini
tinggal di Tokyo. Mesti kuberitahu kau, kota besar itu tidak semuanya berisi
yang baik-baik. Apalagi di jam-jam sibuk begini, aku khawatir kamu terjepit di
kereta.”
Ui mengerucutkan bibir, “Tapi bukan berarti
kamu mengantarku sampai depan kantor! Aku bukan anak TK, tahu!”
Yuichi membalas, wajahnya memerah sedikit,
“Siapa bilang aku mau mengantarmu sampai kantor? Aku hanya ingin memastikan
kamu naik kereta dengan benar dan nggak terjepit di pintu!”
“Aku sudah mengecek jadwal keretanya
berkali-kali: kamu yang cerewet menyuruhku sejak kemarin malam! Jadi, mana
mungkin salah lagi! Kalau salah, ya berarti itu salahmu! Kalau gara-gara itu
aku telat dan dipecat dari perusahaan impianku, ya berarti kamu harus
bertanggung jawab dan menikahiku!”
balas sang gadis mungil dengan suara lantang, membuat orang-orang di sekitar
mereka kontan menoleh.
Yuichi dan Ui mendadak jadi pusat perhatian di
peron tersebut.
Ui mendadak menutup mulutnya, baru sadar
ucapan apa yang baru saja dilontarkannya. Sungguh, dia hanya kelepasan bicara
tadi.
Yuichi mendadak malu hingga rasa-rasanya cowok
itu ingin masuk lubang saja jika bisa.
Dan mendadak, wajah mereka berdua terasa
begitu panas hingga terona merah seperti kepiting rebus.
Beberapa detik lewat dalam kesunyian—parahnya,
bukan hanya mereka berdua tapi bahkan orang-orang sekitar di peron pun turut
diam. Hanya terdengar bunyi pengumuman kedatangan dan keberangkatan kereta dari
pengeras suara stasiun. Selain itu, semua orang mendadak sunyi, kehilangan
suara.
Beberapa detik lagi kereta Ui akan tiba.
Yuichi memberanikan diri bersuara duluan,
lebih karena dia tidak tahan melihat Ui menundukkan wajahnya karena malu. “A…
aku ke peron seberang ya. Keretamu sebentar lagi tiba, ‘kan?”
Gadis itu mengangguk singkat. Hanya itu
jawaban yang Yuichi dapatkan dan cowok itu harus puas dengan itu.
“Ha… hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari
aku kalau sudah tiba di kantormu.”
Lagi-lagi dibalas hanya dengan anggukan sunyi.
Petugas stasiun sudah mengumumkan kereta di jalur 4 akan tiba. Dari kejauhan
pun sudah terdengar suara kereta yang menderu.
“Bye,”
tukas Yuichi, mengakhiri percakapan mereka di pagi itu, lantas berlari
tunggang-langgang layaknya buronan yang baru saja melakukan kejahatan.
Meninggalkan sahabat baiknya sejak kecil, yang masih tertunduk dengan wajah
merah di pinggir rel.
*
“Halo! Selamat datang kembali! Panggil saja aku
Subaru, Oniisan!”
Tahu-tahu saja ada gadis maid berambut hitam pendek yang tak dikenal di apartemen Yuichi dan
Ui hari ini. Maid tersebut menyapa Yuichi
yang baru saja pulang bekerja dan masih berdiri di ambang pintu. Cowok itu
hanya bisa mematung di tempat saking kagetnya.
Hari itu tepat seminggu setelah kejadian
perpisahan yang canggung antara dirinya dan Ui di stasiun pada hari pertama Ui
masuk kerja. Belum kelar rasa canggung waktu itu, kini sudah ada kejadian yang
berpotensi membuat panas otaknya lagi.
“Ha-haaah??”
Maid itu kembali menyapa,
dengan suara cempreng yang agak menyakitkan telinga, “Oniisan mau makan dulu? Mandi dulu? Atau—”
Mendengar dialog yang terlalu pasaran di komik-komik
dewasa yang dulu sering dibawa ke sekolah oleh kawan-kawannya, Yuichi kontan
mengangkat kedua tangannya dan berkata gelagapan, “Se-sebentar! Aku nggak
paham!”
Beruntung pada detik itu, Ui muncul dari ruang
tengah, “Ah! Yui! Kamu sudah pulang?” seolah-olah menjadi penyelamat Yuichi
yang dalam sekejap merasa akan tenggelam dalam kepanikannya sendiri.
Barulah setelah melihat kemunculan Ui yang
masih membawa pentab di tangannya,
Yuichi menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi di apartemennya.
“Maid
ini kenalanmu, Ui?” tembak Yuichi. Tangannya menunjuk dengan tidak sopan ke
arah maid yang kini perhatiannya
teralihkan kepada Ui.
Ui mengangguk, senyum riang terkembang di
wajahnya. Tampak bangga sekali ia saat berbicara, “Iya! Subaru bukan sekedar
kenalan lho! Dia itu sudah menjadi adikku! Bahkan nama keluarga kami sama:
Oozora! ‘Kan, Subaru?” tanyanya, memalingkan wajah ke arah si maid.
Si maid
mengangguk mengiyakan, lantas membalas, “Subaru dan Ui-neesan satu kantor, nama keluarganya pun sama. Terus, Ui-neesan bilang tinggal seatap dengan
teman masa kecilnya. Subaru penasaran, makanya ingin berkunjung. Nggak Subaru
sangka, teman yang dimaksud ternyata cowok! Dan namanya mirip pula: Ui dan Yui!
Sudah seperti berjodoh~”
“Hei, hei, Subaru! Sudah berkali-kali kubilang
kalau Yui itu teman biasa. Yaah, setara kakak cowok, lah. Kamu nggak perlu
membesar-besarkan,” jelas Ui. Kata-katanya begitu lugas.
Gadis itu kemudian berpaling, “Yui, kenapa
malah bengong di situ? Ayo, masuk! Atau, kamu terpesona dengan betapa imutnya maid-ku? Kuperingatkan lho, Subaru hanya
milikku!”
Yuichi menghela napas, “Aku baru pulang kerja,
sudah disambut aneh-aneh begini. Kenapa hidupku nggak bisa normal kalau ada
kamu, Ui?”
Ui serta-merta menggembungkan pipinya, memeluk
Subaru dari belakang, “Apa maksudnya itu? Mestinya kamu turut senang kalau aku
senang! Aku baru dapat maid, lho! Sungguhan,
lho! Maid yang bisa disentuh,
dipeluk, diendus, diraba-raba! Ini surga dunia, lho!”
Pletak!
Yuichi menyentil dahi Ui, “Jaga mulutmu! Perkataanmu
tadi sudah kayak om-om mesum saja, Ui!”
“Jadi om-om mesum nggak masalah kok! Bwek!”
balas si gadis, menjulurkan lidah. Ia lalu beralih lagi ke Subaru, “Subaru, ayo
lanjutkan pekerjaan kita! Abaikan saja oniisan
membosankan itu!” lantas menggenggam tangan maid
tersebut dan menariknya ke kamar.
Yuichi menebak, paling-paling dia memaksa
Subaru mengenakan baju maid hanya
karena ingin menggambar maid. Pemuda
itu menggeleng-geleng, “Aku ingin mengasihani Subaru, tapi tampaknya dia juga
cukup menikmati cosplay-nya itu.”
Tidak lama kemudian, omelet sosis sudah
tersaji dengan nasi putih di atas meja di ruang tengah. Setidaknya, hanya itu
yang bisa Yuichi sajikan dengan bahan-bahan terbatas di lemari pendingin.
Yuichi mengetuk pintu kamar Ui dan memanggil,
“Hei, kalian berdua, cepat keluar. Kita makan dulu.”
Yang lebih dulu membuka pintu ternyata Subaru,
masih belum juga melepas kostum maid-nya.
Yuichi bertanya-tanya dalam hati, mau sampai kapan kedua gadis itu melakukan
hal yang sia-sia.
“Oh, Yui-niisan!”
sapa Subaru, yang melangkah keluar dengan langkah yang agak melompat-lompat.
Girang sekali tampaknya dia.
“Makan malam?” kali ini Ui yang berkata, dia
masih duduk di depan meja kerjanya. Yuichi balas mengangguk. Ui melanjutkan,
“Menunya?”
“Omelet sosis,” balas Yuichi singkat.
Yang dibalas cengiran lebar dari Ui, sebab itu
salah satu menu favoritnya.
Makan malam mereka berlangsung ribut,
setidaknya begitu menurut pendapat Yuichi. Makan berdua Ui saja sudah ribut,
apalagi ditambah Subaru yang ceriwisnya minta ampun. Obrolannya pun masih
seputar maid melulu.
Ui mengeluh, “Haaah… Aku kekurangan asupan maid, nih. Yui nggak mau menemaniku ke maid café, sih.”
Subaru menanggapi secepat kilat, membuat
Yuichi kehilangan momentum untuk membela diri, “Eeeh?? Kenapa nggak mau?”
Baru Yuichi membuka mulut, sudah keburu
disalip Ui lagi, “Soalnya Niisan-mu
yang membosankan itu berpendapat kalau maid
hobi om-om mesum.”
Yuichi ingin memotong, tapi keburu Subaru
duluan, “Eeeh?? Yui-niisan memangnya
bukan om-om mesum?”
“Aku bukan—” baru Yuichi bersuara, sudah
keburu teredam suara Ui yang membalas menggebu-gebu.
“Seandainya ada satu maid lagi di sini, aku nggak akan menagih-nagih Yui melulu untuk
menemaniku ke maid café. Aku akan
puas hanya dengan memiliki Subaru dan satu maid
lagi. Haaaah… Padahal di sana Yui bisa makan dan minum yang enak-enak dan
dilayani pelayan cantik. Dasar Yui jahat, pelit, membosankan, berpikiran
sempit, nggak bisa diajak kompromi, tukang ngibul, janji-janji palsu—”
“SETOP!!” Yuichi menggebrak meja. “Oke, oke!
Sini, biar aku yang pakai kostum maid-nya!
Biar kamu puas dan berhenti menjelek-jelekkanku di depan orang yang baru
kukenal hari ini!”
Serta-merta wajah Ui berbinar, cengir mewarna.
“Sekarang juga? Detik ini juga?”
Yuichi menghela napas keras-keras, “Terserah
kamu mau sekarang atau besok! Yang penting percakapan ini selesai! Aku hanya
mau makan dengan tenang!”
“Yeaaay~” seru Ui riang, segera ia beranjak dari
ruang itu untuk pergi ke kamarnya, dan kembali tidak sampai semenit
kemudian—sambil menenteng kostum maid
merah muda dengan motif bunga matahari kecil-kecil di celemeknya. “Kurasa yang
ini ukurannya pas buat Yui!”
Komentar terakhirnya itu membuat Yuichi
bertanya-tanya sebenarnya berapa banyak dan beragamnya koleksi kostum maid Ui.
Tapi, otaknya menyadari ada masalah yang lebih besar dibanding itu, masalah
yang dicarinya sendiri.
Meneguk ludah gugup, Yuichi menerima pakaian
yang disodorkan.
“Nggak usah tegang begitu, Niisan! Dijamin Niisan bakal tampil memesona!” ujar Subaru sambil menepuk-nepuk
pundak Yuichi.
“Percaya diri dong, Yui! Meski kamu sama
sekali nggak populer, begitu pakai kostum maid
pasti populer! Memang begitu keajaiban kostum maid!” imbuh Ui, sambil mendorong Yuichi ke pintu kamarnya.
“Mana ada keajaiban kayak gitu!” geram Yuichi.
“Sudah, sudah!” angguk Subaru, sambil membantu
mendorong Yuichi pula bersama Ui. “Ayo, segera ganti pakaian, Yui-niisan! Kami menunggu~”
Sebelum menutup pintu kamarnya, Yuichi
mengultimatum mereka berdua, “Awas saja kalau ada yang mual-mual dan muntah
begitu melihatku mengenakan kostum maid
merah muda begini! Nggak akan kumaafkan kalian!”
Dari luar pintu kamarnya, Yuichi bisa
mendengar cekikik dua gadis itu.
Yuichi menarik napas dalam-dalam dan
mengepalkan tangannya: cowok sejati nggak akan menjilat ludahnya sendiri!
Pemuda itu pun mulai mengganti pakaiannya
dengan tekad baja seolah ia akan bertempur di medan perang, yang sama sekali
tidak cocok dengan kostum maid yang
manis dan lucu.
“Aku pasti bakal jadi bahan tertawaan.”
*
Sore itu, tiba-tiba masuk pesan tak diduga ke
ponsel Yuichi. Dari Subaru.
“Yui-niichan! Hari ini bakal ada berita bagus lho! Dari
Ui-neechan lho! Nantikan dengan tidak
sabar di rumah, ya~!”
Yuichi membacanya sambil mengerutkan kening.
Sejak ‘insiden’ kostum maid beberapa
minggu lalu yang ternyata berakhir—sesuai dugaan—tawa terbahak-bahak Subaru, kebingungan
Ui, dan perasaan kacau-balau Yuichi, cowok itu jadi agak curigaan tiap kali
Subaru bilang akan ada ‘kejutan’, apalagi kalau sudah kongkalikong dengan Ui.
Kombinasi keisengan mereka berdua tidak
terkalahkan.
“Oh iya! Sekalian Subaru kirim foto kita berdua pakai kostum maid waktu itu! Yui-niichan belum punya kan?”
Membaca pesan kedua dari Subaru, Yuichi
buru-buru membalas singkat, “Nggak usah!”
Yuichi masih ingat benar insiden tersebut,
melekat jelas di otaknya dan selalu berhasil membuatnya menggertakkan gigi tiap
kali ingat.
Malam itu, begitu keluar kamar dengan kostum maid merah muda motif bunga matahari,
kedua gadis tersebut menyambutnya dengan respons yang bertolak belakang: Subaru
dengan tawa keras membahana, Ui dengan kepala ditelengkan ke samping dan bertanya
dengan nada terheran-heran.
“Kok, sepertinya ada yang kurang, ya? Kayak
ada yang salaaaah, gitu? Kenapa, ya? Apanya yang beda, ya?” bingung Ui.
“Bwahaha… Ya iyalah, nggak pas! Ya iyalah ada
yang salah! Bwahahaha~ Yui-niichan
imut bangeeeet! Subaru kalah!”
Mendengar serta melihat respons keduanya
membuat perasaan Yuichi campur-aduk: malu, kesal, sedih, bahkan jijik dengan
dirinya sendiri bercampur jadi satu.
“Ya iyalah, nggak pas! Aku cowok!” balas
Yuichi sambil mengentakkan kakinya keras-keras menuju Ui. Lantas mencubit pipinya
gemas, “Kamu kan yang menyuruhku! Kamu sendiri kan! Ayo, tanggung jawab!”
Dengan pipi masih dicubit, Ui membela diri,
“Heshinya hoshum myaid hisa hihin
syiha syaja hadi hanis!”
“Manis apanya? Kamu saja nggak suka!” kesal Yuichi,
lalu berpaling ke Subaru, “Hei, yang di sana! Berhenti tertawa!”
Subaru buru-buru menutup mulutnya, setidaknya
dia sudah berusaha menahan tawanya, meski tetap saja gagal.
Alih-alih berhenti tertawa, Subaru justru
mengeluarkan ponsel pintarnya dan berkata seolah ia baru mendapat ide brilian,
“Yuk, foto bareng, Yui-niichan!”
“Ogah ba—”
Mata Ui segera berbinar mendengarnya, “Hihe
hagus!” lantas meloloskan dari cubitan Yuichi, mengambil ponsel Subaru dan
berkata pada gadis itu, “Sana, berdiri bersebelahan dengan Yui! Biar aku yang
memotret kalian! Ini bakal jadi kenang-kenangan indah dan bakal kusimpan
baik-baik!”
Yuichi mendengus sambil bergumam lirih, “… Indah
apanya…. Nggak usah disimpan segala….” namun cowok itu—seperti biasa—menurut
saja diperintah Ui meski sambil mengeluh tiada henti.
Lamunan Yuichi terusik dengan bunyi ponselnya:
Subaru mengirimkan foto mereka berkostum maid
waktu itu. “Sudah dibilang, nggak usah dikirim…. Dasar Oozora Kuadrat
menyusahkan.”
Ui pulang tepat setelah Yuichi selesai mandi. Ia
memergoki gadis itu tengah mengintip lauk makan malam yang sudah Yuichi sajikan
di atas meja.
“Ah, Yui! Malam ini menunya rebusan lobak?”
tanyanya dengan nada kecewa. Ui tukang pilih-pilih makanan. Lobak termasuk yang
tidak disukainya.
Yuichi menghela napas, “Makan sayur, supaya
sehat! Lagian, ada ayam kecap juga, tuh.”
“Aku nggak makan sayur pun, tetap sehat kok!
Pupku juga selalu lancar kok! Yui saja yang terlampau kayak emak-emak,
mengurusiku lebih parah dibanding ibuku sendiri!”
Yuichi menyilangkan tangan, “Kalau tidak mau,
nanti kupaksa makan! Dan sudah kubilang berkali-kali, cewek nggak boleh nyebut
‘pup pup’ sembarangan!”
Alih-alih berhenti, Ui semakin menjadi, “Suka-suka
aku mau ngomong apa! Suka-suka aku juga mau makan apa! Pokoknya aku cuma mau makan
ayam kecap! Yui habisin lobaknya sampai puas, sana!” cerocosnya tanpa henti,
lalu kabur secepat kilat ke kamarnya.
Namun, beberapa detik setelahnya, gadis itu
kembali melongokkan kepala dari pintu kamarnya, memanggil, “Ah, aku jadi lupa
bilang. Perusahaan game developer-mu
sudah resmi akan bekerja sama dengan kantorku, Yui. Subaru ditunjuk jadi
penanggungjawabnya dan aku jadi stafnya.”
Sekonyong-konyong Yuichi mempertanyakan
pendengarannya, “Haaah?”
“Artinya, kita bakal buat gim bareng, Yui.
Senang ya! Hehe~”
Lantas gadis itu menutup pintu kamarnya.
Membuat Yuichi yang belum mencerna kabar mengejutkan tersebut dengan baik,
semakin bertanya-tanya apa dia tidak salah dengar.
Buru-buru Yuichi menghampiri pintu kamar Ui
dan berbicara dari luar, “Aku… nggak salah dengar kan? Kamu… serius?”
Suara Ui terdengar sedikit teredam dari balik
pintu kamar, “Iya. Impian kita dari kecil akhirnya bisa terwujud, Yui,” ada
sedikit aksen haru dari nada suara Ui. Gadis itu pasti menganggap kerja sama
perusahaan mereka bagai takdir khusus. Sesuatu yang sakral, yang barangkali
akan mengubah sesuatu dalam hubungan mereka berdua.
Namun, Yui yang masih terkejut, tidak mampu
merespons apa-apa.
“Ini, sih… bukannya sekedar ‘berita bagus’,
Subaru,” lirihnya ke udara kosong.
*
Yuichi tiba di maid café tujuan sedikit lebih cepat dibanding waktu janjian. Cowok
itu melongok ke sana-sini, mencari rambut pucat yang ditemuinya setiap hari. Seorang
maid menghampirinya, bertanya apa dia
sudah bikin janji? Jika sudah, atas nama siapa?
Maka, dengan kegugupan yang kentara—mestinya
Ui yang mengurus beginian! Malu sekali rasanya Yuichi bercakap-cakap dengan maid sungguhan!—Yuichi menjawab, “Eerm…
atas nama Oozora Ui?”
Wajah maid
berkuncir ekor kuda itu tampak paham, “Oh! Nona yang sudah memesan jauh-jauh
hari! Aku mengingatnya karena dia begitu antusias!”
Di kepala Yuichi langsung terbayang wajah dan
gestur Ui yang penuh semangat saat memesan tempat untuk hari ini, membuat
Yuichi tidak bisa menahan senyum.
“Dia baru mendapat proyek besar pertamanya.
Aku ingin mendukungnya sekuat tenaga, makanya aku menemaninya ke sini,” ujar
Yuichi lagi kepada maid yang hendak
mengantarnya ke meja di sisi jendela, agak ke belakang kafe. Maid tersebut membalasnya dengan senyum.
Ui mengajak Yuichi ke maid café sebagai perayaan dimulainya kolaborasi kedua perusahaan
mereka. Padahal Yuichi awalnya enggan, sebab dimulainya kolaborasi berarti
mereka berdua baru akan mulai bekerja
keras. Harusnya perayaan dilakukan setelah
bekerja keras.
Namun, dasar Ui, dia malah memaksa,
mengungkit-ungkit janji Yuichi untuk mengajaknya ke maid café. Berhubung sudah janji, terpaksa Yuichi menurut.
“Aku harus menjadikan hari ini lebih spesial
lagi demi dia,” ujar Yuichi, penuh maksud. Tiba-tiba muncul ide bagus di
kepalanya, yang ia harap akan membuat Ui senang.
Namun, di tengah perjalanan ke mejanya,
sekonyong-konyong ada dua lengan mungil melingkar di pinggang, memeluknya dari
belakang. Suara bernada riang terdengar menyusul, “Yui! Curang! Kamu sudah sama
maid duluan!”
Sang maid
tampak sama terkejutnya dengan Yuichi.
“Hei! Jangan main peluk-peluk orang
sembarangan!” protes Yuichi, wajahnya memanas, sementara maid di sampingnya terkikik tertahan.
Alih-alih melepas, Ui malah makin mengeratkan
pelukannya. Gadis itu bahkan menggesek-gesekkan pipinya ke punggung Yuichi,
“Nggak mau! Dingin tahu! Di luar gerimis, tahu! Aku butuh kehangatan, Yui!”
Yui melepas jari-jemari Ui yang mungil dari
tubuhnya dengan paksa, lantas menunjuk maid
yang jadi salah tingkah di dekat mereka, “Itu! Ada maid! Yang kamu puja-puja! Peluk maid saja, sana! Cewek nggak boleh peluk cowok sembarangan! Kalau
itu cowok jahat gimana?”
Ui mengerucutkan bibirnya kesal, “Tapi ini
Yui! Yui nggak jahat! Lagian, kita teman sejak kecil, tinggal seatap pula!
Nggak masalah!” protes Ui, lantas beralih ke maid yang melayani mereka, “Oh, wahai maid cantik berkuncir kuda! Boleh kupeluk? Berhubung teman sejak
kecilku ini pelit banget dipeluk.”
Maid tersebut memandang
bingung Yuichi, yang dibalas pemuda itu dengan tatapan mohon maaf. Lantas,
dengan agak mengalah, ia membiarkan Ui memeluknya erat-erat.
“Ui! Ayo, ke meja dulu! Kalau berlama-lama,
sisa waktu kita terbuang percuma!”
Ui berbalik menoleh Yuichi, “Uuh… Kenapa waktu
kunjungan maid café dibatasi per jam,
sih?” lantas menuruti perkataan Yuichi dan berjalan dengan patuh menuju meja
pesanan mereka.
Di luar hujan menderas walau tidak berpetir.
Meja mereka yang bersisian dengan jendela membuat Yuichi dan Ui dapat melihat
betapa derasnya hujan sore itu. Yuichi melirik Ui dan berkata, “Kuharap tidak
ada petir. Kalau nanti kamu takut, kita pulang saja.”
Ui berpaling dari jendela dan menatap Yuichi.
Suaranya lirih, “Yui, kamu ingat? Waktu SD dulu aku pernah numpang main gim di
rumahmu saat hujan deras dan tahu-tahu padam listrik?”
Yuichi mengerutkan kening, mana mungkin dia
melupakan kejadian itu. Yuichi terjebak di sekolah karena hujan dan Ui bermain
gim konsol sendirian di rumahnya. “Ya, mana mungkin aku lupa. Listrik padam
satu desa gara-gara tersambar petir.”
Ui mengangguk samar, “Sejak saat itu, aku
takut petir.”
“Ya, kamu pasti trauma. Sendirian di rumah
orang dan dikelilingi kegelapan. Aku menyesal waktu itu tidak nekat saja
menerobos hujan untuk menyusulmu cepat-cepat. Wajar kamu takut petir sejak saat
itu.”
Kali ini, Ui justru menggeleng, “Bukan. Bukan
itu,” suaranya makin lirih, “aku takut petir karena… aku merasa bersalah telah
menghilangkan save-an gim milikmu. Gara-gara
listrik padam mendadak. Mestinya… aku nggak main gim di rumahmu.”
Yuichi tertegun. Ia baru dengar soal itu.
Selama ini dia mengira Ui takut petir hanya karena trauma biasa, yang tidak ada
hubungan dengan dirinya. “A-aku… baru tahu. Kamu nggak pernah ngomong soal
itu.”
Sebagai balasan, Ui tersenyum sendu, “Itu
karena aku takut kamu marah. Aku tahu kamu mati-matian menamatkan gim itu, tapi
malah kuhilangkan datanya,” gadis itu lantas mendadak sunyi beberapa jenak,
“maafkan aku.”
Baru Yuichi ingin membalas, namun seorang maid terlanjur menginterupsi dengan
mengantarkan makanan penutup mereka: parfait
crepes dengan dua ceri merah sebagai topping untuk Ui dan limun soda untuk
Yuichi.
Dengan cekatan, Yuichi mengambil kedua ceri
itu sebelum sang maid meletakkannya
di atas meja. Ui kontan menjerit, “Hei! Itu milikku!!” yang hanya dibalas
Yuichi singkat, “Tunggu, aku hanya pinjam sebentar.”
Ui menggembungkan pipinya sambil bilang terima
kasih kepada maid, “Pinjam? Buat apa?
Seenaknya merebut ceri orang!”
“Sudah, kamu diam dulu, ya?” tukas Yuichi.
Tangannya dengan canggung mengikatkan kedua tangkai ceri itu menjadi satu,
membuat lingkaran yang seukuran cincin. “Kemarikan tanganmu.”
Masih dengan pipi menggembung kesal dan
ekspresi bingung, gadis itu menurut saja dan menengadahkan tangan kanannya ke
arah Yuichi, mengira akan diberikan kembali cerinya.
Namun, bukannya diletakkan begitu saja, Yuichi
malah meraih tangan Ui dan—betapa mata Ui terbelalak heran di momen
itu—melingkarkan ceri itu di jari manis Ui. Sebagai cincin.
“Eh? Lho? Sebentar…” Ui tergagap-gagap. “Kok?
Ini kayak cincin saja, Yui? Lucu sih, tapi… Aku nggak paham?”
Yuichi tersenyum, “Memang cincin. Untuk
sementara.” Yang dibalas dengan raut bingung dan alis terangkat di wajah Ui.
Maka, Yuichi berkata lagi, “Ui, aku bisa minta
keluargaku mengirim konsol lamaku di desa dan main ulang gim waktu itu sampai
tamat. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi soal itu.”
Ui mengangguk lemah.
“Lalu, mulai sekarang kita bisa main gim
bareng banyak-banyak. Bahkan mewujudkan impian kita dulu untuk membuat gim
bersama. Itu… kalau kamu bersedia untuk tetap bersamaku di masa depan.”
Kontan wajah Ui memerah. Sekujur tubuhnya
panas. Tangannya yang mungil menutup di depan bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Ia
tidak mampu berkata apa-apa.
Yuichi segera merasa ingin kabur saja dari
tempat itu, sebab momen-momen sunyi itu membuatnya takut. Masalahnya, ia belum
mendapat jawaban dari Ui. Maka, pemuda itu melirik kawannya itu ragu-ragu.
Menanti jawaban.
Ui, di sisi lain, tersenyum bahagia. Senyuman
yang jarang diperlihatkannya—bukan cengiran iseng atau tawa riang, melainkan
senyum tulus yang tampak dewasa.
Lantas, gadis itu berkata, “Terima kasih, Yui.
Aku dengan senang hati ingin terus bersamamu, selamanya.”
Tepuk tangan dan siulan meriah yang mendadak
dari seisi kafe menyadarkan Yuichi dan Ui bahwa bukan mereka berdua saja yang
memperhatikan momen-momen berharga tersebut.
Maid berkuncir kuda memanggil
kawan-kawannya yang segera berbondong memberikan selamat kepada mereka berdua.
“Wah, selamat! Semoga berbahagia!”
“Semua menu yang Anda berdua makan hari ini
digratiskan!”
“Baru kali ini sepanjang karierku, aku melihat
ada yang melamar di maid café!”
“Sebaiknya kita ambil foto buat
kenang-kenangan!”
Mendengar yang terakhir itu, Yuichi kontan
menolak, “Oh, tidak usah, terima kasih.”
Ui, di sisi lain meja, sudah berdiri duluan.
“Oke! Ayo, kita berfoto, Yui! Sebelum cerinya keburu kumakan!” sambil menarik
lengan Yuichi.
Yuichi, salah fokus saking paniknya, malah
bertanya, “Cerinya masih mau kamu makan?”
Yang dibalas dengan cengiran—kali ini yang
biasa terlihat, cengiran usil, “Tentu saja mau!” dari Ui yang kini telah resmi
menjadi tunangannya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar