Cek di sini

Selasa, 29 Desember 2020

[COMMISSION] Nohan dan Ferdinand - Istiana


Cerpen yang saya buat atas permintaan Istiana, November 2020. Fantasy, isekai, romance, magic

 

Barangkali nasibnya takkan jadi seperti ini seandainya ia tidak menyentuh cermin indah di toko antik yang kebetulan dilewatinya di kota kecil itu—yang kemudian secara ajaib mengisapnya dan membawanya ke negeri antah-berantah yang aneh ini.

Barangkali kedua tangannya takkan dirantai dan tubuhnya diseret-seret seandainya ia punya hati dingin yang tak mudah tersentuh kala melihat seorang anak kecil kelaparan, bahkan meski ia tidak kenal siapa anak itu.

Barangkali… barangkali….

Seandainya… seandainya….

Ah, lelah sudah Nohan Tara, gadis berusia 17 tahun itu, berandai-andai. Yang ia harus lakukan sesegera mungkin adalah membebaskan diri. Jika dia tidak sudi dijadikan budak di negara aneh yang asing baginya.

Itu saja.

Biasanya Nohan tidak selengah itu, apalagi jika hanya untuk mencuri sekerat roti gandum keras yang sudah berjamur dari suatu kedai gubuk di pasar tradisional pertama yang ia temui di tempat asing ini.

Tak disangka, paman gembrot penjaga kedai roti itu memiliki suatu kekuatan ajaib yang tidak masuk akal! Secercah sinar meletup di pergelangan tangan Nohan saat jemarinya menyentuh sekerat roti murahan itu, lalu api membara sekonyong-konyong.

Kaget bukan kepalang—kekagetannya bahkan membuatnya tak menyadari nyeri terbakar di pergelangan tangannya—Nohan hanya bisa termangu saat si paman gembrot itu meneriakinya maling lantas menyiulkan melodi singkat nan nyaring yang kemudian disusul kedatangan serombongan orang berjubah merah darah dengan topi kerucut.

Yang kemudian merantai kedua tangan Nohan.

“Sihir”, gadis itu mendengar mereka berkata. Tidak dibisik-bisikkan seolah itu rahasia, seperti halnya di negara—atau “dunia”—asalnya. Tampaknya kekuatan-kekuatan ajaib yang disebut “sihir” itu memang sesuatu yang lazim di tempat ini.

Sungguh, Nohan tak pernah menyangka, dirinya yang seorang pencuri profesional—ya, dia bangga akan profesi itu yang bikin orang-orang mencemoohnya—yang selama sepuluh tahun ditekuninya itu, ditaklukkan dengan mudah hanya dengan “sihir”! Keterlaluan!

Maka, Nohan hanya bisa menggertakkan gigi: perpaduan rasa teror, putus asa, dan amarah, bercampur baur hingga rasanya tubuh mungil gadis itu kaku bak batu.

Akankah ia berakhir menjadi budak di negara—“dunia”, berengsek! Nohan sudah tahu ini tidak lagi “dunia”-nya yang dia kenal!—asing yang dipenuhi hal-hal tak masuk akal?

Setidaknya, ia bisa bernapas lega melihat anak perempuan yang kelaparan itu berhasil memperoleh roti gandum ampasnya, meski dengan mata berlinang air mata dan ekspresi bersalah yang ditujukan kepadanya.

‘Tidak apa,’ batin Nohan, ‘ini bukan salahmu.’

Semoga saja ucapan hatinya itu tersampaikan kepada anak itu. Dengan demikian, mungkin Nohan bisa fokus ke kondisinya yang di ujung tanduk ini. Ia tahu, manusia normal yang buta akan “sihir” takkan mampu berbuat banyak. Namun, tak ada salahnya mencoba.

Ya, mencoba kabur dan bertaruh nyawa jauh lebih baik dibanding pasrah menjadi budak di dunia sihir.

Maka, Nohan menggeram, menarik sekuat tenaga tangannya yang dirantai hingga lepas dari genggaman musuh. Dan lari pontang-panting secepat kakinya sanggup—setidaknya ia percaya diri dengan kemampuan lari dan bersembunyinya, sebagai seorang pencuri ulung.

Hanya saja, lagi-lagi, sesuatu yang tak kasatmata membuat kakinya terantuk hebat, keseimbangannya hilang, dan Nohan pun jatuh berdebam ke tanah.

‘Habis sudah…’ pikir Nohan, memandangi sesosok berjubah merah darah itu mengacungkan sebatang tongkat kecil ke arahnya. ‘Aku tidak berdaya di hadapan sihir keparat itu! Secepat dan secerdik apa pun aku, aku tak bisa menandingi sihir di dunia ini!’

Gadis itu pun memejamkan mata erat-erat. Yakin bahwa itulah momen terakhir hidupnya.

Bibirnya bergetar saat memohon lirih, “To… long….”


Bak menjawab doanya, tiba-tiba sepercik sinar melesat melewati dirinya dari belakang, lantas masuk ke sela-sela rantai dan berpendar terang.

Kemudian rantainya pecah berkeping-keping.

“A, apa—”

“Cepat, lari!!” sebuah suara menyusul terdengar, dilatarbelakangi seruan-seruan panik gerombolan berjubah merah itu.

Nohan menoleh ke arah sumber suara pertama: pemuda berambut putih tulang. Ia tampak tengah menggerakkan sebelah tangannya bak menuliskan sesuatu di udara, yang disusul gelegar halilintar berkali-kali lantas asap mengepul tebal.

Beruntung Nohan gadis yang cepat bertindak. Ia tahu bahwa ini kesempatan emas untuknya melarikan diri. Di ekor matanya ia melihat sekelebat bayangan pemuda—ya, pemuda yang menolongnya barusan—menyusul di sisinya. Sempat kaget sesaat Nohan saat pemuda itu menggaet lengannya dan menariknya agar berlari lebih cepat.

Nohan tidak sadar berapa lama mereka lari bergandengan tangan. Yang pasti, mereka berhenti tepat di saat napasnya terasa tercekat dan paru-parunya memberontak perlu udara.

Pemuda itu bicara, suaranya tak terdengar kehabisan napas sama sekali, “Hei, jangan bilang kau belum menguasai Sihir Gelembung Udara? Parah! Itu sihir dasar, tahu!”

Kini, Nohan memiliki waktu yang cukup untuk memandangi sosok penyelamatnya dengan lekat. Ia pemuda bertubuh tinggi dan cenderung ramping, rambut putih tulangnya memang yang paling mencolok, namun bola mata peraknya justru yang paling menawan hingga membuat Nohan tak mampu berkata-kata selama beberapa jenak—terpana.

“…. A-aku tidak tahu apa itu Sihir Gelembung Udara! Ralat—aku tidak tahu apa-apa soal sihir!” balas Nohan, putus asa dan kebingungan. “A-aku bahkan tidak tahu di mana ini!”

Si Pemuda membalas dengan decakan lidah, yang jelas membikin jengkel Nohan menjadi-jadi. Tapi gadis itu sadar, berkat pemuda itulah ia bisa bebas, ia harus berterima kasih.

Maka, dengan senyum yang agak dipaksakan, Nohan berkata halus, “Terima kasih telah menyelamatkanku.”

“Aku tahu kau mencuri demi anak gelandangan di pasar. Itulah yang mendorongku menyelamatkanmu. Tapi… jangan salah paham.”

Nohan hanya angkat bahu acuh tak acuh.

Pemuda bermata indah itu berkata lagi, kali ini nadanya terheran-heran, “Kaubilang tidak tahu-menahu perihal sihir. Aneh,” telunjuknya diletakkan di bawah dagu, tampak berpikir keras.

Nohan menjawab, dengan kebingungan yang tak luntur pula, “Apanya yang aneh? Justru kalian yang bisa sihir itu yang aneh! Kukira sihir-sihir seperti itu hanya ada di buku dongeng! Aku jelas-jelas nggak bisa sihir!”

Bola mata perak pemuda itu menyipit, keningnya berkerut tanda heran. Ia berkata dengan nada tinggi, “Haaah!? Kamu nggak waras, ya!? Mana ada yang begitu? Anak kecil yang baru belajar berjalan pun sudah pasti tahu Sihir Balon Benturan supaya tidak luka saat terjatuh. Ada sekrup lepas di otakmu atau bagaimana!?”

Nohan mengerucutkan bibir, “Sembarangan kalau bicara! Aku waras! Otakku masih berfungsi!”

Meski masih dengan ekspresi yang menunjukkan kamu-pasti-sudah-gila, sang pemuda akhirnya mengalah. “Sudahlah. Yang penting, sekarang kamu mau ke mana? Kita tidak mungkin di sini melulu.”

Rasanya ingin betul Nohan terduduk lemas di tanah, memohon-mohon agar diberitahu jalan menuju dunianya kembali. Namun, Nohan tersadar: tak ada yang menanti kepulangannya di dunia asal pula.

Jadi… untuk apa dia kembali ke sana?

Kendati demikian… apa yang bisa ia lakukan untuk hidup di sini?

Entah sebab wajah Nohan menampakkan kecemasannya, pemuda yang belum membeberkan namanya itu berkata, nada bicaranya yang selalu tajam kini ia lembutkan sedikit, “Aku punya seorang kawan yang memerlukan gadis seusiamu sebagai penjaga toko manisannya di ibukota Hasone. Itu seandainya kau masih bingung ingin ke mana, tentu.”

Bagai terselamatkan dari jurang keputusasaan, Nohan serta-merta mengangguk yakin. “Aku mau!”

“Kalau begitu, mari berangkat,” ajak si Pemuda, mengulurkan tangannya dengan ekspresi wajah ogah-ogahan.

Nohan menyambut ulurannya, namun bertanya, “Boleh kutahu namamu? Kukira karena akan jadi teman seperjalanan, sebaiknya saling tahu nama.”

“Panggil saja Ferdinand,” balasnya singkat, lantas, “sebaiknya kita obati dulu luka bakar di tanganmu itu.”

Begitulah perjalanan mereka berdua dimulai.

Yang ternyata hanya berlangsung singkat.

Sebab, masa lalu Ferdinand semakin gencar mengejar hingga membahayakan nyawanya. Juga nyawa Nohan. Segalanya dimulai sekitar dua minggu setelah mereka memulai perjalanan bersama, tepatnya di kota kecil Esma.

Nohan yang pertama menyadari ada seseorang yang membuntuti mereka, ia sudah terbiasa mengawasi sekitar sejak menjadi maling: seorang pria berpostur besar berpakaian compang-camping seperti pengemis, namun gerak-geriknya tampak halus bak orang terlatih.

“Apa pria besar itu kenalanmu? Dari tadi dia mengikuti kita,” bisik Nohan kepada Ferdinand.

Ferdinand melirik ke arah mata Nohan, lantas balas berbisik, “Kamu yakin?” yang dijawab anggukan oleh gadis itu. Ferdinand menghela napas, berat, “Aku sudah lelah dikejar terus-menerus.”

Pemuda itu lantas berbalik badan, menatap langsung ke arah pria yang dimaksud, “Ada perlu apa denganku?”

Pria yang ditatap agaknya terkejut sejenak, namun ia dengan sigap memperbaiki sikapnya, “Tuan Muda, saya datang untuk menjemput Anda pulang ke Kerajaan Shepina. Yang Mulia Raja menanti Anda meminang putri semata wayangnya untuk dijadikan istri.”

“Bukannya dari dulu sudah kubilang tidak mau!?”

Pria di hadapannya menggeleng, ekspresinya menyesal, “Sayang sekali, Tuan Muda. Saya terpaksa menggunakan kekerasan. Termasuk… menyakiti gadis di samping Anda.”

Sementara Nohan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya mendengar percakapan tersebut, musuh dengan cekatan melempar sebilah belati ke arah Nohan, menggores pipi kirinya hingga meneteskan darah. Barulah saat itu Nohan sadar bahwa musuh mereka terlatih, bahkan dia yang pencuri hebat saja tidak mampu menghalau belatinya.

Melihat luka Nohan, ekspresi Ferdinand sekonyong-konyong kelam. Ia dengan panik melemparkan percikan-percikan api sihir hingga membuat letupan besar. Musuh yang tak menduga, terkejut dan kehilangan keseimbangan.

Ferdinand memanfaatkan kesempatan tersebut, menarik tangan Nohan dan mengaba-aba, “Ayo, lari!!”

Esma hanyalah kota kecil, tak ada pasar atau kerumunan yang bisa membantu mereka berdua melebur di tengah hingga pengejar kehilangan jejak. Ferdinand mendecakkan lidah, tampak putus asa. Ia tahu situasinya sekarang sangat buruk—bukan bagi dia sendiri, melainkan bagi Nohan pula.

“A, apa maksudnya?” Nohan bertanya dengan napas terengah di tengah pelarian mereka yang mendesak, “dia memanggilmu Tuan Muda!”

Ferdinand hanya bungkam, menoleh ke sana-sini beberapa jenak, lantas menggaet lengan Nohan ke arah bangunan di kiri. Bangunan itu kecil, dan kosong. Pas untuk persembunyian mereka, untuk sementara waktu.

Sengaja Nohan menunggu hingga napasnya tak tersengal-sengal lagi. Gadis itu berharap Ferdinand secara sukarela memberinya penjelasan.

Namun, tidak ada.

Ferdinand tidak memberi penjelasan apa-apa.

Dan itu membuat Nohan jengkel sekaligus putus asa. Apa gadis itu segitu tidak dipercayai oleh Ferdinand?

“Hei, jawab aku!” paksanya, menuntut.

Alih-alih menjawab, Ferdinand malah mendekati sang gadis, dengan tangan terulur. Ujung-ujung jemarinya menyentuh pipi Nohan yang terluka: membuatnya terkesiap sesaat, dengan betapa dingin sentuhannya. Dan, betapa lembut.

Ferdinand menghela napas, “Maaf,” ujarnya lirih.

Memandang pemuda itu saat ini membuat Nohan terheran, mestinya dia yang sekarang sedang terluka namun mengapa wajah Ferdinand justru tampak lebih sakit dibanding lukanya sendiri?

“Sudahlah,” sergah Nohan, tetapi tidak menepis tangan Ferdinand yang malah semakin melekat di wajahnya. “Toh, aku pencuri, sudah terbiasa terluka. Ini bukan apa-apa. Kau tak perlu cemas.”

Ferdinand menggeleng, “Tidak. Luka gores oleh benda tajam tetap akan meninggalkan bekas. Bahkan meski disembuhkan dengan sihir,” ujarnya, dengan volume suara yang semakin lirih, bak berbisik.

Lantas, Nohan merasakan sensasi sejuk di luka goresnya, perlahan namun pasti rasa sakitnya mereda: Ferdinand tengah memulihkannya dengan sihir.

Ferdinand tumben-tumbenan diam. Ia tak bicara sepatah kata pun. Bahkan tak ada sindiran tajam khasnya yang kerap membuat Nohan jengkel. Jika pemuda itu tidak berbicara, rasanya waktu berjalan lambat sekali bagi Nohan. Gadis itu merasakan firasat yang tak enak.

Suaranya berat saat Ferdinand akhirnya berkata, “Hei, aku tahu aku sudah berjanji akan mengantarmu ke Hasone agar kau bisa bekerja di sana, tapi…” ia memutus ucapannya, menghela napas berat—dan tiba-tiba saja menyentuhkan dahinya ke dahi Nohan.

Sontak gadis itu merasa jantungnya seolah hendak lepas. Wajah mereka begitu dekat!

“Ta… tapi apa?” gagap Nohan. Masih tidak tahu harus menatap ke mana, lantaran mata perak Ferdinand membuatnya tak mampu berpaling. Setidaknya, jika tidak menatapnya, mungkin debaran jantung Nohan akan berkurang.

Kendati pun, seolah membaca isi hatinya, Ferdinand berujar, kali ini tegas, “Tatap mataku, Nohan.”

Baru kali itu.

Baru kali itu Si Pemuda menyebut nama Si Gadis.

Nohan menurut, ia menatap mata perak Ferdinand. Meneguk ludah terpapar pesonanya.

“Aku ras Sharlier. Ras dengan kedudukan tertinggi di kerajaan ini. Kami bisa memunculkan sayap dan diberkahi kekuatan sihir di atas rata-rata. Kami hidup di suatu daratan yang mengapung di udara, hanya sedikit orang luar yang mampu bertandang ke sana.”

Mata Nohan terbelalak, “Sa-sayap!?”

Ferdinand mengangguk, tersenyum, tetapi tampak sendu. Hati Nohan entah kenapa sakit melihatnya. “Aku dipaksa menikah dengan putri kerajaan, makanya aku kabur dan berkelana sendirian—hingga bertemu kamu.”

Lantas, tangannya kembali menyentuh luka gores Nohan. “Kurasa, ini saatnya kita berpisah. Aku tak ingin kau terseret dalam bahaya akibat aku lari dari masalahku sendiri.”

Nohan buru-buru menggeleng, “Aku pencuri, sudah kubilang berkali-kali. Aku nggak selemah wanita di luaran sana! Aku… aku bisa menemanimu!”

Terdengar bunyi pintu didobrak.

Pengejar mereka tiba.

Ferdinand mengecup kening Nohan—begitu sekejap, sampai-sampai Nohan meragukan apakah itu nyata terjadi.

“Kuharap kita bisa berjumpa lagi, Nohan,” lirihnya, sebelum mendorong punggung Nohan kuat-kuat disusul sensasi berputar-putar yang membuat gadis itu pusing.

Hingga ia pun terjatuh.

Di tempat yang sama sekali berbeda dari reruntuhan bangunan tempatnya bersama Ferdinand bersembunyi detik sebelumnya.

“Si… sihir?” bingung Nohan, yang hanya mampu terduduk lemas—ia berada di tanah lapang berumput, “Ferdinand, dia… memindahkanku dengan sihir?”

Gadis itu menyentuh keningnya.

Masih terasa hangat.

Bekas kecupan pemuda tersebut.

Dan terasa hangat pula.

Air mata yang mengalir di pipinya.

Gadis itu tak pernah berharap dan berdoa, tetapi kali ini berbeda. Ia berharap dan berdoa, “Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi.”

Lantas berdiri tegak. Menyeka sebulir-dua bulir air matanya.

“Aku tahu namanya. Aku tahu wajahnya. Aku tahu ke mana dia akan pergi. Kami berjalan menuju kota yang sama” angguknya. “Jika ke ibukota Hasone, aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.”

Gadis itu pun melangkah. Ia tidak lagi bingung harus ke mana, sebab ada tempat—sosok—yang menjadi tujuannya.

 

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar