Cerpen yang saya buat atas permintaan Istiana, November 2020. Fantasy, isekai, romance, magic.
Barangkali nasibnya takkan jadi seperti ini
seandainya ia tidak menyentuh cermin indah di toko antik yang kebetulan
dilewatinya di kota kecil itu—yang kemudian secara ajaib mengisapnya dan
membawanya ke negeri antah-berantah yang aneh ini.
Barangkali kedua tangannya takkan dirantai dan
tubuhnya diseret-seret seandainya ia punya hati dingin yang tak mudah tersentuh
kala melihat seorang anak kecil kelaparan, bahkan meski ia tidak kenal siapa
anak itu.
Barangkali… barangkali….
Seandainya… seandainya….
Ah, lelah sudah Nohan Tara, gadis berusia 17
tahun itu, berandai-andai. Yang ia harus lakukan sesegera mungkin adalah
membebaskan diri. Jika dia tidak sudi dijadikan budak di negara aneh yang asing
baginya.
Itu saja.
Biasanya Nohan tidak selengah itu, apalagi
jika hanya untuk mencuri sekerat roti gandum keras yang sudah berjamur dari
suatu kedai gubuk di pasar tradisional pertama yang ia temui di tempat asing
ini.
Tak disangka, paman gembrot penjaga kedai roti
itu memiliki suatu kekuatan ajaib yang tidak masuk akal! Secercah sinar meletup
di pergelangan tangan Nohan saat jemarinya menyentuh sekerat roti murahan itu,
lalu api membara sekonyong-konyong.
Kaget bukan kepalang—kekagetannya bahkan membuatnya
tak menyadari nyeri terbakar di pergelangan tangannya—Nohan hanya bisa termangu
saat si paman gembrot itu meneriakinya maling lantas menyiulkan melodi singkat
nan nyaring yang kemudian disusul kedatangan serombongan orang berjubah merah
darah dengan topi kerucut.
Yang kemudian merantai kedua tangan Nohan.
“Sihir”, gadis itu mendengar mereka berkata.
Tidak dibisik-bisikkan seolah itu rahasia, seperti halnya di negara—atau
“dunia”—asalnya. Tampaknya kekuatan-kekuatan ajaib yang disebut “sihir” itu
memang sesuatu yang lazim di tempat ini.
Sungguh, Nohan tak pernah menyangka, dirinya
yang seorang pencuri profesional—ya, dia bangga akan profesi itu yang bikin
orang-orang mencemoohnya—yang selama sepuluh tahun ditekuninya itu, ditaklukkan
dengan mudah hanya dengan “sihir”! Keterlaluan!
Maka, Nohan hanya bisa menggertakkan gigi:
perpaduan rasa teror, putus asa, dan amarah, bercampur baur hingga rasanya
tubuh mungil gadis itu kaku bak batu.
Akankah ia berakhir menjadi budak di
negara—“dunia”, berengsek! Nohan sudah tahu ini tidak lagi “dunia”-nya yang dia
kenal!—asing yang dipenuhi hal-hal tak masuk akal?
Setidaknya, ia bisa bernapas lega melihat anak
perempuan yang kelaparan itu berhasil memperoleh roti gandum ampasnya, meski
dengan mata berlinang air mata dan ekspresi bersalah yang ditujukan kepadanya.
‘Tidak apa,’ batin Nohan, ‘ini bukan salahmu.’
Semoga saja ucapan hatinya itu tersampaikan
kepada anak itu. Dengan demikian, mungkin Nohan bisa fokus ke kondisinya yang
di ujung tanduk ini. Ia tahu, manusia normal yang buta akan “sihir” takkan
mampu berbuat banyak. Namun, tak ada salahnya mencoba.
Ya, mencoba kabur dan bertaruh nyawa jauh
lebih baik dibanding pasrah menjadi budak di dunia sihir.
Maka, Nohan menggeram, menarik sekuat tenaga
tangannya yang dirantai hingga lepas dari genggaman musuh. Dan lari
pontang-panting secepat kakinya sanggup—setidaknya ia percaya diri dengan
kemampuan lari dan bersembunyinya, sebagai seorang pencuri ulung.
Hanya saja, lagi-lagi, sesuatu yang tak
kasatmata membuat kakinya terantuk hebat, keseimbangannya hilang, dan Nohan pun
jatuh berdebam ke tanah.
‘Habis sudah…’ pikir Nohan, memandangi sesosok
berjubah merah darah itu mengacungkan sebatang tongkat kecil ke arahnya. ‘Aku
tidak berdaya di hadapan sihir keparat itu! Secepat dan secerdik apa pun aku,
aku tak bisa menandingi sihir di dunia ini!’
Gadis itu pun memejamkan mata erat-erat. Yakin
bahwa itulah momen terakhir hidupnya.
Bibirnya bergetar saat memohon lirih, “To…
long….”
Bak menjawab doanya, tiba-tiba sepercik sinar
melesat melewati dirinya dari belakang, lantas masuk ke sela-sela rantai dan
berpendar terang.
Kemudian rantainya pecah berkeping-keping.
“A, apa—”
“Cepat, lari!!” sebuah suara menyusul
terdengar, dilatarbelakangi seruan-seruan panik gerombolan berjubah merah itu.
Nohan menoleh ke arah sumber suara pertama: pemuda
berambut putih tulang. Ia tampak tengah menggerakkan sebelah tangannya bak
menuliskan sesuatu di udara, yang disusul gelegar halilintar berkali-kali
lantas asap mengepul tebal.
Beruntung Nohan gadis yang cepat bertindak. Ia
tahu bahwa ini kesempatan emas untuknya melarikan diri. Di ekor matanya ia
melihat sekelebat bayangan pemuda—ya, pemuda yang menolongnya barusan—menyusul
di sisinya. Sempat kaget sesaat Nohan saat pemuda itu menggaet lengannya dan
menariknya agar berlari lebih cepat.
Nohan tidak sadar berapa lama mereka lari
bergandengan tangan. Yang pasti, mereka berhenti tepat di saat napasnya terasa
tercekat dan paru-parunya memberontak perlu udara.
Pemuda itu bicara, suaranya tak terdengar
kehabisan napas sama sekali, “Hei, jangan bilang kau belum menguasai Sihir
Gelembung Udara? Parah! Itu sihir dasar, tahu!”
Kini, Nohan memiliki waktu yang cukup untuk
memandangi sosok penyelamatnya dengan lekat. Ia pemuda bertubuh tinggi dan
cenderung ramping, rambut putih tulangnya memang yang paling mencolok, namun
bola mata peraknya justru yang paling menawan hingga membuat Nohan tak mampu
berkata-kata selama beberapa jenak—terpana.
“…. A-aku tidak tahu apa itu Sihir Gelembung
Udara! Ralat—aku tidak tahu apa-apa soal sihir!” balas Nohan, putus asa dan
kebingungan. “A-aku bahkan tidak tahu di mana ini!”
Si Pemuda membalas dengan decakan lidah, yang
jelas membikin jengkel Nohan menjadi-jadi. Tapi gadis itu sadar, berkat pemuda
itulah ia bisa bebas, ia harus berterima kasih.
Maka, dengan senyum yang agak dipaksakan,
Nohan berkata halus, “Terima kasih telah menyelamatkanku.”
“Aku tahu kau mencuri demi anak gelandangan di
pasar. Itulah yang mendorongku menyelamatkanmu. Tapi… jangan salah paham.”
Nohan hanya angkat bahu acuh tak acuh.
Pemuda bermata indah itu berkata lagi, kali
ini nadanya terheran-heran, “Kaubilang tidak tahu-menahu perihal sihir. Aneh,”
telunjuknya diletakkan di bawah dagu, tampak berpikir keras.
Nohan menjawab, dengan kebingungan yang tak
luntur pula, “Apanya yang aneh? Justru kalian yang bisa sihir itu yang aneh! Kukira
sihir-sihir seperti itu hanya ada di buku dongeng! Aku jelas-jelas nggak bisa
sihir!”
Bola mata perak pemuda itu menyipit, keningnya
berkerut tanda heran. Ia berkata dengan nada tinggi, “Haaah!? Kamu nggak waras,
ya!? Mana ada yang begitu? Anak kecil yang baru belajar berjalan pun sudah
pasti tahu Sihir Balon Benturan supaya tidak luka saat terjatuh. Ada sekrup
lepas di otakmu atau bagaimana!?”
Nohan mengerucutkan bibir, “Sembarangan kalau
bicara! Aku waras! Otakku masih berfungsi!”
Meski masih dengan ekspresi yang menunjukkan
kamu-pasti-sudah-gila, sang pemuda akhirnya mengalah. “Sudahlah. Yang penting,
sekarang kamu mau ke mana? Kita tidak mungkin di sini melulu.”
Rasanya ingin betul Nohan terduduk lemas di
tanah, memohon-mohon agar diberitahu jalan menuju dunianya kembali. Namun,
Nohan tersadar: tak ada yang menanti kepulangannya di dunia asal pula.
Jadi… untuk apa dia kembali ke sana?
Kendati demikian… apa yang bisa ia lakukan
untuk hidup di sini?
Entah sebab wajah Nohan menampakkan
kecemasannya, pemuda yang belum membeberkan namanya itu berkata, nada bicaranya
yang selalu tajam kini ia lembutkan sedikit, “Aku punya seorang kawan yang
memerlukan gadis seusiamu sebagai penjaga toko manisannya di ibukota Hasone.
Itu seandainya kau masih bingung ingin ke mana, tentu.”
Bagai terselamatkan dari jurang keputusasaan,
Nohan serta-merta mengangguk yakin. “Aku mau!”
“Kalau begitu, mari berangkat,” ajak si
Pemuda, mengulurkan tangannya dengan ekspresi wajah ogah-ogahan.
Nohan menyambut ulurannya, namun bertanya, “Boleh
kutahu namamu? Kukira karena akan jadi teman seperjalanan, sebaiknya saling
tahu nama.”
“Panggil saja Ferdinand,” balasnya singkat,
lantas, “sebaiknya kita obati dulu luka bakar di tanganmu itu.”
Begitulah perjalanan mereka berdua dimulai.
Yang ternyata hanya berlangsung singkat.
Sebab, masa lalu Ferdinand semakin gencar
mengejar hingga membahayakan nyawanya. Juga nyawa Nohan. Segalanya dimulai
sekitar dua minggu setelah mereka memulai perjalanan bersama, tepatnya di kota
kecil Esma.
Nohan yang pertama menyadari ada seseorang
yang membuntuti mereka, ia sudah terbiasa mengawasi sekitar sejak menjadi
maling: seorang pria berpostur besar berpakaian compang-camping seperti
pengemis, namun gerak-geriknya tampak halus bak orang terlatih.
“Apa pria besar itu kenalanmu? Dari tadi dia
mengikuti kita,” bisik Nohan kepada Ferdinand.
Ferdinand melirik ke arah mata Nohan, lantas
balas berbisik, “Kamu yakin?” yang dijawab anggukan oleh gadis itu. Ferdinand
menghela napas, berat, “Aku sudah lelah dikejar terus-menerus.”
Pemuda itu lantas berbalik badan, menatap
langsung ke arah pria yang dimaksud, “Ada perlu apa denganku?”
Pria yang ditatap agaknya terkejut sejenak,
namun ia dengan sigap memperbaiki sikapnya, “Tuan Muda, saya datang untuk
menjemput Anda pulang ke Kerajaan Shepina. Yang Mulia Raja menanti Anda meminang
putri semata wayangnya untuk dijadikan istri.”
“Bukannya dari dulu sudah kubilang tidak
mau!?”
Pria di hadapannya menggeleng, ekspresinya
menyesal, “Sayang sekali, Tuan Muda. Saya terpaksa menggunakan kekerasan.
Termasuk… menyakiti gadis di samping Anda.”
Sementara Nohan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya
mendengar percakapan tersebut, musuh dengan cekatan melempar sebilah belati ke
arah Nohan, menggores pipi kirinya hingga meneteskan darah. Barulah saat itu
Nohan sadar bahwa musuh mereka terlatih, bahkan dia yang pencuri hebat saja
tidak mampu menghalau belatinya.
Melihat luka Nohan, ekspresi Ferdinand sekonyong-konyong
kelam. Ia dengan panik melemparkan percikan-percikan api sihir hingga membuat
letupan besar. Musuh yang tak menduga, terkejut dan kehilangan keseimbangan.
Ferdinand memanfaatkan kesempatan tersebut, menarik
tangan Nohan dan mengaba-aba, “Ayo, lari!!”
Esma hanyalah kota kecil, tak ada pasar atau
kerumunan yang bisa membantu mereka berdua melebur di tengah hingga pengejar
kehilangan jejak. Ferdinand mendecakkan lidah, tampak putus asa. Ia tahu
situasinya sekarang sangat buruk—bukan bagi dia sendiri, melainkan bagi Nohan
pula.
“A, apa maksudnya?” Nohan bertanya dengan
napas terengah di tengah pelarian mereka yang mendesak, “dia memanggilmu Tuan
Muda!”
Ferdinand hanya bungkam, menoleh ke sana-sini
beberapa jenak, lantas menggaet lengan Nohan ke arah bangunan di kiri. Bangunan
itu kecil, dan kosong. Pas untuk persembunyian mereka, untuk sementara waktu.
Sengaja Nohan menunggu hingga napasnya tak
tersengal-sengal lagi. Gadis itu berharap Ferdinand secara sukarela memberinya
penjelasan.
Namun, tidak ada.
Ferdinand tidak memberi penjelasan apa-apa.
Dan itu membuat Nohan jengkel sekaligus putus
asa. Apa gadis itu segitu tidak dipercayai oleh Ferdinand?
“Hei, jawab aku!” paksanya, menuntut.
Alih-alih menjawab, Ferdinand malah mendekati
sang gadis, dengan tangan terulur. Ujung-ujung jemarinya menyentuh pipi Nohan
yang terluka: membuatnya terkesiap sesaat, dengan betapa dingin sentuhannya.
Dan, betapa lembut.
Ferdinand menghela napas, “Maaf,” ujarnya
lirih.
Memandang pemuda itu saat ini membuat Nohan
terheran, mestinya dia yang sekarang sedang terluka namun mengapa wajah
Ferdinand justru tampak lebih sakit dibanding lukanya sendiri?
“Sudahlah,” sergah Nohan, tetapi tidak menepis
tangan Ferdinand yang malah semakin melekat di wajahnya. “Toh, aku pencuri,
sudah terbiasa terluka. Ini bukan apa-apa. Kau tak perlu cemas.”
Ferdinand menggeleng, “Tidak. Luka gores oleh
benda tajam tetap akan meninggalkan bekas. Bahkan meski disembuhkan dengan
sihir,” ujarnya, dengan volume suara yang semakin lirih, bak berbisik.
Lantas, Nohan merasakan sensasi sejuk di luka
goresnya, perlahan namun pasti rasa sakitnya mereda: Ferdinand tengah
memulihkannya dengan sihir.
Ferdinand tumben-tumbenan diam. Ia tak bicara
sepatah kata pun. Bahkan tak ada sindiran tajam khasnya yang kerap membuat Nohan
jengkel. Jika pemuda itu tidak berbicara, rasanya waktu berjalan lambat sekali
bagi Nohan. Gadis itu merasakan firasat yang tak enak.
Suaranya berat saat Ferdinand akhirnya
berkata, “Hei, aku tahu aku sudah berjanji akan mengantarmu ke Hasone agar kau bisa
bekerja di sana, tapi…” ia memutus ucapannya, menghela napas berat—dan
tiba-tiba saja menyentuhkan dahinya ke dahi Nohan.
Sontak gadis itu merasa jantungnya seolah
hendak lepas. Wajah mereka begitu dekat!
“Ta… tapi apa?” gagap Nohan. Masih tidak tahu harus
menatap ke mana, lantaran mata perak Ferdinand membuatnya tak mampu berpaling.
Setidaknya, jika tidak menatapnya, mungkin debaran jantung Nohan akan
berkurang.
Kendati pun, seolah membaca isi hatinya,
Ferdinand berujar, kali ini tegas, “Tatap mataku, Nohan.”
Baru kali itu.
Baru kali itu Si Pemuda menyebut nama Si
Gadis.
Nohan menurut, ia menatap mata perak
Ferdinand. Meneguk ludah terpapar pesonanya.
“Aku ras Sharlier. Ras dengan kedudukan
tertinggi di kerajaan ini. Kami bisa memunculkan sayap dan diberkahi kekuatan
sihir di atas rata-rata. Kami hidup di suatu daratan yang mengapung di udara,
hanya sedikit orang luar yang mampu bertandang ke sana.”
Mata Nohan terbelalak, “Sa-sayap!?”
Ferdinand mengangguk, tersenyum, tetapi tampak
sendu. Hati Nohan entah kenapa sakit melihatnya. “Aku dipaksa menikah dengan
putri kerajaan, makanya aku kabur dan berkelana sendirian—hingga bertemu kamu.”
Lantas, tangannya kembali menyentuh luka gores
Nohan. “Kurasa, ini saatnya kita berpisah. Aku tak ingin kau terseret dalam
bahaya akibat aku lari dari masalahku sendiri.”
Nohan buru-buru menggeleng, “Aku pencuri,
sudah kubilang berkali-kali. Aku nggak selemah wanita di luaran sana! Aku… aku
bisa menemanimu!”
Terdengar bunyi pintu didobrak.
Pengejar mereka tiba.
Ferdinand mengecup kening Nohan—begitu
sekejap, sampai-sampai Nohan meragukan apakah itu nyata terjadi.
“Kuharap kita bisa berjumpa lagi, Nohan,”
lirihnya, sebelum mendorong punggung Nohan kuat-kuat disusul sensasi
berputar-putar yang membuat gadis itu pusing.
Hingga ia pun terjatuh.
Di tempat yang sama sekali berbeda dari
reruntuhan bangunan tempatnya bersama Ferdinand bersembunyi detik sebelumnya.
“Si… sihir?” bingung Nohan, yang hanya mampu
terduduk lemas—ia berada di tanah lapang berumput, “Ferdinand, dia…
memindahkanku dengan sihir?”
Gadis itu menyentuh keningnya.
Masih terasa hangat.
Bekas kecupan pemuda tersebut.
Dan terasa hangat pula.
Air mata yang mengalir di pipinya.
Gadis itu tak pernah berharap dan berdoa,
tetapi kali ini berbeda. Ia berharap dan berdoa, “Semoga aku bisa bertemu
dengannya lagi.”
Lantas berdiri tegak. Menyeka sebulir-dua
bulir air matanya.
“Aku tahu namanya. Aku tahu wajahnya. Aku tahu
ke mana dia akan pergi. Kami berjalan menuju kota yang sama” angguknya. “Jika
ke ibukota Hasone, aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.”
Gadis itu pun melangkah. Ia tidak lagi bingung
harus ke mana, sebab ada tempat—sosok—yang menjadi tujuannya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar