Cek di sini

Jumat, 08 Januari 2021

[Cerpen] Bunga di Ujung Hidung Anjingku

 Bunga di Ujung Hidung Anjingku

(Duniamimpigie)

 

Tumbuh bunga di ujung hidung anjingku.

Kelopaknya mungil berwarna kuning keemasan serupa bulunya. Serupa dedaunan pohon ginkgo di luar jendela apartemenku di musim kering. Aku menyukainya. Kurasa bunga kecil itu cocok untuk anjing lemon beagle-ku.

Aku suka anjing.

Aku suka bunga.

Kini, kumiliki anjing berbunga.

Hidupku sempurna.

… Sampai detik ini aku masih bertanya-tanya kapan ia lahir, saking inginnya aku merayakan ulang tahunnya. Namun, tiap kali kutanya, anjing berbungaku hanya mengguguk saja.

*


Pengidap pertama penyakit Parasit Bunga—bukan nama ilmiah yang dikeluarkan para peneliti secara resmi, tapi aku dan masyarakat awam lainnya lebih suka menyebutnya demikian—ditemukan kira-kira dua bulan yang lalu. Setidaknya, itu yang kompak dilaporkan oleh media massa di negara-negara besar di seluruh penjuru dunia. Meskipun, banyak orang berspekulasi bahwa sebetulnya pandemi ini sudah berlangsung lebih lama dari itu.

Masyarakat dunia gempar seketika. Ramai menyalahkan sekelompok pendaki Gunung Lamayahi yang telah memetik dan membawa pulang rumput Bunga Dewies. Padahal warga setempat sudah memperingatkan bahwa jenis rumput itu dilarang dibawa pergi dari puncak gunung tersebut, sebab, mereka percaya itu bunga piaraan dewa-dewi yang bersemayam di sana. Jika dibawa turun, tentu saja dewa-dewi penguasa jagat itu akan marah besar dan menimpakan azab kepada umat manusia.

Aku tidak memercayainya.

Maksudku, aku tidak memercayai dewa-dewi itu. Baik keberadaan mereka maupun kelihaian mereka perihal mengurus bunga ataupun umat manusia—mengingat situasi keduanya kacau-balau. Omong kosong saja.

Setelahnya, para peneliti gabungan dari universitas-universitas terkemuka di dunia berlomba mencari tahu penyebab munculnya penyakit tersebut dan kecurigaan pertama mereka terarah pada Bunga Dewies. Lantaran pasien pertama yang tercatat—yang adalah pendaki berkebangsaan Achni—mengaku telah memetik bunga sakral yang membeku sepanjang tahun tersebut, membawanya turun ke kaki gunung hingga meleleh, lantas menyeduhnya sebagai teh.

Segera setelah meminum tehnya, muncul dua kuntum bunga berwarna bangbang di pelipis kanan sang pendaki.

Aku jadi teringat Maleek.

Pria itu dulu pernah berangan-angan muncul penyakit yang indah di dunia ini. Aku mengangguk saja sambil lalu waktu itu, tak begitu peduli. Toh, itu bukan kali pertama—dan aku yakin bukan pula kali terakhirnya—dia mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.

Maleek memang pria yang pikirannya penuh dengan ide-ide tidak masuk akal.

Menurutku, ‘penyakit yang indah’ bukan ide terliarnya. Jauh dari itu, malah. Aku tidak mau menjabarkan apa-apa saja imajinasi liar Maleek lainnya, aku tidak seluang itu dan jelas aku tidak ingin terlampau sering mengungkit-ungkit pria itu lagi.

Hanya saja, tiap kali aku melihat orang dengan bunga beragam warna dan bentuk tumbuh di kepala, wajah, lengan, dan kaki di televisi atau internet (bagian dada dan perut jarang kulihat, karena jelas itu bukan bagian-bagian yang bisa diekspos sembarangan), aku langsung teringat Maleek dan ide anehnya itu.

Barangkali detik ini dia sedang menulis kerangka novel baru berkat Pandemi Parasit Bunga ini.

Barangkali cerita mengenai ‘penyakit yang indah’ yang sejak lama didamba-dambakannya untuk ditulis, akan terwujud berkat pandemi ini.

Guk.

Ah, Anjing memanggilku.

Ya, anjingku bernama Anjing. Aku terlampau malas—meski alasan yang sering kuutarakan ke orang lain adalah: aku bukan orang yang kreatif—untuk memberinya nama lain.

Anjing bernama Anjing. Itu sudah cukup bagus buatku.

“Hei, kau tak ingin ulang tahunmu dirayakan?”

Aku ingat hari pertama menyaksikan sekuntum bunga kuning keemasan berkelopak empat tumbuh di ujung hidung Anjing. Aku sampai mengerjap-erjapkan mata, tak percaya. Merasa bak kembali ke masa beberapa tahun silam, saat membaca buku cerita anak bergambar di ruang kerja Maleek—ada salah satunya tentang seekor anjing yang menanam bunga dengan penuh kasih-sayang dan keuletan, namun sang bunga menolak mekar bertahun-tahun hingga akhirnya si anjing keburu mati sebelum melihatnya mekar. Kisah yang terlalu tragis untuk cerita anak, sebetulnya.

Di hari pertama itu, saking tak percayanya aku hanya bisa terbengong-bengong sepanjang pagi, menatap bunga mungil di hidung Anjing.

Baru pada tengah harinya tubuhku mau diajak bekerja sama dan bisa bergerak untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Begitu berdiri di depan meja resepsionis, barulah kusadar kalau itu rumah sakit untuk manusia, bukan hewan. Pantas saja orang-orang menatapku aneh.

Seorang perawat berbusana bagaikan astronot segera menghampiri, memasangkan masker bulat yang menyesakkan ke wajahku—tanpa meminta izin!—dan mengambil Anjing dari pelukanku—ya, aku juga baru sadar kalau aku menggendongnya begitu saja di tangan, tanpa kurungan, tanpa setidaknya kain selimut.

Perawat itu bilang dengan nada tinggi, “Anda harus segera dicek juga,” seolah-olah menyalahkanku yang panik membawa anjingku yang kemungkinan besar terpapar Parasit Bunga tanpa pengaman apa pun ke ruang publik.

Tapi aku sedang panik.

Apa boleh buat, ‘kan?

Mana ada orang yang bisa berpikir jernih di kala panik.

Maka aku menurut saja waktu itu. Diantar—dengan agak didorong-dorong paksa—ke ruang periksa. Lalu aku diini-itukan dengan berbagai peralatan kedokteran yang sama sekali tak kupahami. Lantas ditanyai ini-itu pula oleh banyak orang yang berpakaian seperti astronot, aku bahkan tidak bisa mengenali lagi yang mana dokter, yang mana perawat, yang mana pegawai kebersihan, dan yang mana penjual susu di kantin rumah sakit.

Saat itu inginnya aku cepat-cepat pulang saja.

Mengambil Anjing dari entah ruang periksa mana, lalu memanggil taksi dan pulang ke apartemen kami berdua. Masa bodoh dengan dunia sekitar yang ikut terpapar dan sekarat akibat penyakit kami—penyakit Anjing, maksudku, karena aku belum ketahuan positif atau tidaknya terjangkit Parasit Bunga.

Aku jadi teringat Maleek.

Kali pertama aku bertegur sapa dengan pria itu adalah di hari ulang tahunnya. Katanya, dia sedang mencari makan siang di jalanan sekitar rumah—padahal seingatku kala itu pukul 6 petang, karena aku baru keluar kantor—lalu tahu-tahu dia melihat kucing berbulu hitam yang menatapnya lekat-lekat. Dia bilang kucing itu menyuruhnya untuk mengikuti. Usai berjalan jauh-jauh mengekor kucing itu, sampailah ia ke hadapanku.

Ucapan pertama yang keluar dari bibirnya untukku:

“Seekor kucing hitam mengantarku kepadamu. Apa kau sebetulnya penyihir yang sedang menyamar dan kucing hitam tadi pesuruhmu?”

‘Mau menggombal pun ada batasnya!’, begitulah pikirku kala itu.

Aku dalam kondisi lelah fisik dan mental setelah seharian mencoba melobi klien untuk menyewa jasa perusahaanku untuk proyek konstruksinya, di perjalanan pulang malah dicegat seorang pria tak dikenal yang tahu-tahu meracau tanpa juntrungan!

Dia bahkan menuduhku penyihir! Memangnya dia kira ini abad ke-15, apa? Aku bakal dieksekusi setelah dituduh penyihir tanpa dasar, begitu!?

Geram aku!

Baru aku ingin menjawab, “Maaf, saya sedang buru-buru. Tak ada waktu untuk meladeni apa pun urusan Anda”, tapi Maleek sudah keburu melanjutkan ocehannya.

“Kebetulan hari ini aku berulang tahun. Mau kutraktir sesuatu? Belum makan, ‘kan?”

Ketika aku ingin menjawab—untuk kesekian kalinya—lagi-lagi Maleek menyalip, “Sebagai gantinya, aku ingin kau mengajariku mantra pemanggil barang. Aku selalu kesusahan mencari sesuatu di saat kuperlukan dan itu bikin aku frustrasi. Kautahu ‘kan?”

Kukira dia sinting.

Ralat. Kuyakin dia sinting.

Hanya saja, aku malah turut dengannya. Bak kerbau yang dicocok hidung. Bak ikan yang dijala pelet lezat.

Terpancing. Terpancing. Ah.

Barangkali aku begitu kesepian saat itu.

Dan lelah.

Beberapa jam usai perkenalan—kalau memang fenomena ajaib itu bisa disebut perkenalan—dan makan siang yang-bagiku-makan-malam, dia akhirnya sadar kalau aku bukan penyihir. Tetapi, sebagai gantinya, aku menawarkan diri untuk mencarikan barang-barang yang diperlukannya meski tanpa mantra, sejak hari itu.

*

Guk.

Anjing menyambut kepulanganku, tepat di balik pintu apartemen.

Ia kini memiliki mahkota bunga yang melingkari kepala. Ia jadi tampak manis sekali, seolah hendak diikutkan kontes.

Aku baru dari rumah sakit, mengambil hasil laboratorium milikku dan Anjing—akhirnya rumah sakit manusia yang kudatangi dalam keadaan panik pekan lalu bersedia bekerja sama dengan klinik hewan terdekat untuk mengurus kasus Anjing.

Konon, hasilnya Anjing positif terjangkit Parasit Bunga. Sementara aku tidak.

Bagaimana bisa begitu?

Tapi, aku memang bukan majikan yang penuh kasih sayang, kuakui.

Aku tidak pernah memeluk atau menciumi Anjing tiap kali akan berangkat maupun sepulang kerja. Biasa saja. Pun tidak pernah kupanggil-panggil ia dengan sayang atau bersikap gemas padanya.

Meski begitu, aku tetap merasa sangat amat tersinggung ketika salah satu dokter rumah sakit menahan lima detik kepulanganku hanya untuk memberiku nasihat-yang-ingin-kuludahkan-kembali-padanya, “Ma’am, tolong jangan lempar anjing peliharaan Anda begitu saja dari jendela apartemen. Bagaimanapun, dia hewan peliharaan yang bernyawa, yang telah menemani hidup Anda selama ini. Jangan mengakhiri hidupnya dengan cara kejam. Jika Anda berkenan, boleh datang lagi untuk melaksanakan eutanasia terhadapnya. Jangan lupa terapkan pola hidup sehat jika Anda bersikeras ingin tetap memeliharanya.”

Sungguh, seandainya ludah bisa berupa kata-kata, ingin kuludahi balik dia dengan kata-kata serupa!!

Tapi sebagai wanita dewasa bermartabat, aku hanya membalas sopan selayak yang kulakukan saat berhadapan dengan klien atau atasan, “Baik, terima kasih atas saran Anda, Dok.”

Kutatap Anjing di depanku. Ekornya bergerak-gerak.

Setiap bunga yang melingkari kepalanya memiliki warna dan bentuk yang seragam: kuning lemon yang sesekali diselingi putih—dari berita-berita yang kudengar, para peneliti berhasil mengetahui bahwa Parasit Bunga mengambil warna dari pigmen tubuh inangnya.

Jadi, kalau aku tertular Parasit Bunga, bunganya akan sewarna gading dengan bercak hitam atau kadru, mungkin?

Kalau Maleek, pasti kelopaknya berwarna sawo matang dengan aksen hitam. Seperti warna rambut dan kulitnya. Atau mungkin sedikit campuran biru langit, seperti warna matanya.

Ah, aku jadi teringat Maleek lagi.

Maleek alergi bulu hewan. Padahal aku suka anjing, tapi tak bisa kupelihara sementara aku tinggal seatap dengannya.

Hampir sepuluh tahun lamanya kami hidup bersama. Tidak menikah, sebab aku maupun Maleek sama-sama tidak berniat ke arah sana. Apalagi memiliki anak.

Makanya, setidaknya aku ingin memelihara hewan berbulu—anjing, kalau boleh.

Pria itu sebetulnya membolehkanku memelihara apa pun—“Dengan catatan bukan naga atau dinosaurus atau paus yang besarnya melebihi rumah kita,” ucapnya dengan mimik serius, seolah seorang waras benar-benar mungkin memelihara ketiga makhluk yang dilontarkannya barusan—juga asalkan hewan itu ditempatkan di ruangan pojok yang tidak perlu dimasukinya dalam kondisi apa pun.

Tapi aku urung waktu itu, memikirkan kesehatan Maleek, apalagi mengingat kesibukannya sebagai penulis.

Tapi tak masalah, toh kini aku punya Anjing. Keinginanku sudah terkabul.

Anjing datang begitu saja saat aku baru pindah ke apartemen ini. Tepat di hari ulang tahunku tiga tahun silam. Yang sekaligus menjadi hari perpisahanku dengan Maleek.

Takdir memang aneh. Aku berjumpa Maleek di hari ulang tahunnya, hanya untuk berpisah kemudian di hari ulang tahunku.

Aku lupa apa yang jadi penyebab perpisahan kami. Yang pasti, kami berpisah begitu saja. Tak ada drama, pertumpahan air mata, pecahnya barang, atau adu mulut lantang-lantang.

Aku bilang, “Ingin pergi.”

Lalu Maleek bilang, “Silakan.”

Begitu saja.

Selesai.

Tanpa kelanjutan apa-apa.

“Hei, kapan kamu berulang tahun? Apa akan terjadi sesuatu yang memutarbalikkan hidupku lagi di hari ulang tahunmu, Anjing?”

Namun, lagi-lagi, anjing berbungaku hanya mengguguk.

*

Sepanjang pekan ini Anjing semakin sulit berjalan akibat bunga-bunga yang tumbuh lebat di kaki-kakinya.

Meski begitu, aku tidak menemukan kesulitan berarti untuk merapikan seluruh penjuru apartemen agar Anjing bisa bergerak dengan nyaman, meski harus terseok-seok.

Pasti lain halnya andai aku masih hidup bersama Maleek.

Tidur seranjang dengan Maleek berarti tidur di atas tumpukan buku, dalam artian sebenarnya.

Di kolong ranjang Maleek terdapat ‘hutan ajaib’—setidaknya dia menyebutnya demikian—yang saking penuhnya dengan buku, aku merasa takkan sanggup kalau harus membongkar dan merapikan semua. Untung saja Maleek tidak pernah meminta bantuanku untuk mencari buku, tak peduli yang di kolong ranjang maupun yang berserakan di rak-rak, laci-laci, bahkan di lantai ruang televisi, ruang makan, dan dapur rumah kami.

Ralat, rumahnya.

Sementara, apartemen mungil ini rumahku. Bersama Anjing.

Yang tidak berserakan buku.

Apartemenku minimalis, rapi dan tertata. Aku sampai heran bagaimana bisa aku tahan bertahun-tahun tinggal bersama orang yang kerjanya menaruh buku di sembarang tempat.

Omong-omong, yang terkonfirmasi terjangkit Parasit Bunga di seluruh dunia pada pekan ini sudah mencapai 1 juta jiwa, hanya tiga bulan semenjak penyakit tersebut ditemukan. Dan angka itu belum termasuk makhluk hidup selain manusia.

Sedangkan kematian sudah mencapai 50 ribu jiwa—lagi-lagi angkanya hanya untuk manusia—termasuk di dalamnya si Pendaki yang memetik Bunga Dewies dari puncak Gunung Lamayahi.

Panik melanda seisi dunia, mengingat persebaran serta tingkat kematian yang begitu tinggi. Namun, tampaknya masing-masing orang memiliki cara mengatasi paniknya: ada yang berdoa sepanjang hari—berlutut dan bersujud di tempat ibadah, mengharap ampunan Tuhan dan Dewa-Dewi; ada yang memborong barang-barang kebutuhan pokok serta obat-obatan, hanya untuk dibiarkan terbengkalai hingga akhirnya tersia-siakan sementara orang yang betul-betul memerlukannya justru tidak bisa mendapatkannya; ada yang menyikut sana-sini untuk mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik meski pakai cara culas; ada yang acuh tak acuh, tetap bepergian sekehendak hati seolah sedang tidak berada di puncak masa pandemi; ada yang—kalau yang ini aku tidak mengerti isi pikiran mereka—berdemo besar-besaran menuntut pemerintah negaranya mundur dari tampuk kekuasaan hanya karena gagal menyediakan tisu toilet selama tiga bulan masa pandemi untuk setiap warga negaranya.

Yang pasti, tiap kali keluar rumah, semua orang disarankan—dan dipaksa—mengenakan masker pernapasan yang bentuknya bulat, seperti cangkang telur, yang dipasang menutupi seluruh wajah. Itu karena para peneliti memastikan penyebaran pandemi ini melalui serbuk yang terdapat di kelopak-kelopak bunga parasit hidup yang masuk melalui saluran pernapasan.

Oh.

Ini berarti, sudah hampir sebulan aku hidup berdampingan dengan Anjing yang telah dinyatakan positif terjangkit Parasit Bunga, namun sampai detik ini belum ada bunga berwarna-warni yang tumbuh di tubuhku.

Tak ada yang tahu—dan tak perlu ada yang tahu—bahwa aku sedikit mengharapkannya.

Mengharapkan tumbuhnya bunga-bunga kecil yang indah di tubuhku.

Lantaran baru kemarin ini di apartemen seberang, aku melihat sosok wanita dengan Parasit Bunga berukuran besar di kepalanya, warnanya putih bercorak nila. Ia tampak anggun sekali, bagai mengenakan topi lebar wanita bangsawan zaman dulu, sedang berjalan di karpet merah di suatu peragaan busana internasional. Aku tidak peduli bahwa pada kenyataannya ia sedang dibaringkan di usungan untuk dibawa masuk ambulans untuk dikirim entah ke rumah sakit khusus karantina Parasit Bunga mana.

Aku tidak peduli.

Rasanya kini kumengerti maksud Maleek dengan ‘penyakit yang indah’, lantaran aku sendiri sudah terpincut oleh Parasit Bunga ini.

Dan berharap memilikinya.

Aku mengelus kepala Anjing yang bermahkotakan bunga, sementara kaki-kakinya bak mengenakan kaus kaki bunga, “Hei, apa kau bahagia hidup bersamaku tiga tahun ini? Meskipun aku belum pernah merayakan ulang tahunmu?”

*

Subuh ini Anjing telah pergi. Meninggalkanku.

Tubuhnya diselubungi bunga-bunga.

Hingga tanpa sisa.

Ia tampak begitu indah.

Beberapa hari sebelumnya, pihak rumah sakit menghubungiku agar mereka dibiarkan menjemput Anjing—mengingat kondisinya sudah sangat parah. Mereka juga mengingatkanku agar menghubungi balik jika Anjing telah mengembuskan napas terakhirnya untuk dikuburkan jauh-jauh dari peradaban, atau dibakar hingga menjadi abu, atau dilarungkan ke laut yang luas dan dalam.

Namun, tidak.

Aku tidak mengabari siapa-siapa apa-apa.

Sekadar menguburkan jasad Anjing di pekarangan kecil di balkon apartemenku. Hanya ditemani cahaya matahari fajar yang redup di awal musim dingin.

Upacara pemakaman yang begitu khidmat, bagiku.

Dan kuharap, bagi Anjing juga.

Bohong jika kubilang aku tidak menitikkan air mata barang satu-dua kali, sebab setegar apa pun, aku tetaplah manusia. Maka, buru-buru aku mengambil ponsel, mencari-cari nama yang sudah tiga tahun tak kuacuhkan. Mengetik dan mengirimkan satu kalimat saja, pendek—sebab rasanya aku bisa hancur jika tidak:

“Selamat ulang tahun, Maleek.”

Aku lantas memungut beberapa kuntum bunga yang terserak di tanah makam yang masih basah, bekas Parasit Bunga yang berguguran dari tubuh hewan peliharaan kesayanganku.

Bunga-bunga itu semuanya layu.

Sementara dari kejauhan, sayup-sayup terdengar iringan lagu yang belakangan ini mendadak banyak diputar:

It’s time to go

You are infected

I guess you are a different kind of human

This world you live in is not a place for someone like you

Mothership will take you home, higher higher

Come on let us take you home (*)

 

Mungkin sembari menunggu balasan dari Maleek, aku akan menyeduh teh.

Itu andai dia membalas.

Semoga.

*

Ilustrasi oleh asteRiesling



<Dari: Maleek. 34 minggu yang lalu>

Ah, Sonya? Terima kasih, aku bahkan lupa kalau berulang tahun. Urgh, berapa umurku sekarang? Yang pasti, bukan lagi usia yang cocok untuk berburu unicorn. Dan… eeer… apa pengelanaanmu selama tiga tahun ini menarik? Maksudku, apa kau berhasil menemukan apa yang kaucari?

 

<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>

Anjingmu? Terjangkit Parasit Bunga? Oh, aku turut berduka cita. Jadi, kau ditemani pendamping setia sepanjang perjalananmu, mengetahuinya aku jadi tenang. Mungkin kau sendiri tidak sadar, tapi kamu tipe manusia yang gampang kesepian, kautahu?

 

<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>

Maksudku, aku mengkhawatirkanmu, Sonya.

 

<Dari: Maleek. 33 minggu yang lalu>

Gerbang kastelku senantiasa terbuka lebar untukmu. Kembalilah. Aku membutuhkanmu (bukan untuk mencari barang yang kuperlukan, tentu).

 

<Dari: Maleek. 28 minggu yang lalu>

Kau tidak membalas pesanku selama berminggu-minggu. Aku takut aku salah bicara. Kalau iya, maafkan aku. Aku tidak bermaksud memaksamu untuk kembali.

 

<Dari: Maleek. 28 minggu yang lalu>

Bunga tumbuh di makam anjingmu!? Ah, menakjubkan! Berarti benar yang diberitakan! Sudah tahu? Tumbuh bunga di setiap lokasi pemakaman pasien Parasit Bunga!! Di musim salju yang lebat begini! Dan bunga-bunganya tidak menularkan penyakit!! Ini keajaiban!!

 

<Dari: Maleek. 20 minggu yang lalu>

Mereka bilang mungkin vaksin bisa dibuat dari bunga-bunga yang tumbuh di makam pasien Parasit Bunga. Ini berita yang luar biasa.

 

<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>

Hei, ada apa? Mimpi buruk? Tidak bisa tidur? Telepon saja aku. Kamu enggan karena tahu aku tidak suka bertelepon ‘kan? Dari dulu kau selalu begitu, terlampau mengenalku sampai-sampai tidak mengenali dirimu sendiri. Kau perlu tahu, aku membiarkanmu pergi tiga tahun lalu karena ingin menghargai keinginanmu. Kalau ternyata itu keputusan bodoh, maafkan aku.

 

<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>

Kamu tidak perlu menjadi penyihir untuk menghuni kastel ini. Pilih saja profesi yang disuka. Boleh menjadi tabib, penjaga menara, pelatih panahan, atau bahkan pengurus banshee di danau belakang (itu kalau kau tahan dengan jeritan mereka).

 

<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>

.... Singgasana permaisuri di sisiku selalu kosong, tersedia khusus untukmu. Supaya kautahu saja.

 

<Dari: Maleek. 15 minggu yang lalu>

Kalau boleh jujur, aku tidak terlalu suka jabatanku sebagai Raja. Aku lebih suka pekerjaan sambilanku sebagai koki. Ah, kau harus mencicipi beberapa resep terbaruku (kuyakin lidahmu sudah kangen cita rasa masakanku!): Sup Jamur Menjerit, Steik Panggang Api Naga, Keik Lembar Mantra, Jus Lava Meletup!

 

<Telepon masuk: Maleek. 15 minggu yang lalu>

 

<Dari: Maleek. 8 minggu yang lalu>

Hei? Hari ini ‘kan? Pukul 11? Jadwalmu untuk vaksin Parasit Bunga? Kamu bisa pergi sendiri?

 

<Telepon masuk: Maleek. 8 minggu yang lalu>

 

<Dari: Maleek. 5 minggu yang lalu>

Barang-barangmu sudah tiba di sini. Sedikit sekali, ya.

 

<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>

Aaaah… Aku gugup sekali. Ini hari bersejarah buatku. Aku bakal bertatap muka langsung denganmu lagi setelah hampir empat tahun. Oke, maaf, aku berlebihan.

 

<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>

Perlu kubawakan buket bunga? Aku tahu kau suka bunga. Tenang saja, kujamin bukan bunga yang kupetik dari tubuhku sendiri.

 

<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>

Oh! Ini hari ulang tahun Anjing? Sip, nanti kita rayakan di kastel kita! Atau rumah kita, terserah kau mau menyebutnya apa. Duh, aku gugup sekali. Doakan supaya aku bisa menyetir dengan selamat untuk menjemputmu di apartemenmu. Di saat seperti ini, aku menyesal tidak belajar menunggang Pegasus.

 

<Dari: Maleek. 3 minggu yang lalu>

Maksudku, menjemputmu dan “anjing”-mu.

 

<Telepon masuk: Maleek. 3 minggu yang lalu>

 

<Dari: Maleek. Hari ini>

Hei, jangan pulang telat hari ini. Aku sudah bikin Keik Bunga Pelangi. Bentuknya anjing. Jangan tanya kenapa namanya ‘Bunga Pelangi’ tapi bentuknya anjing. Oh, jangan bilang kamu lupa kalau berulang tahun hari ini.

 

<Dari: Maleek. Hari ini>

Dan, selamat ulang tahun.

 

TAMAT

03.07.2020

Untuk kita yang masih berjuang menghadapi pandemi ini.

Untuk mereka yang telah usai berjuang dan menjadi bunga-bunga yang mekar di tanah.

Untuk para Sonya lain di luar sana, yang saking tegarnya tidak menyadari kesendiriannya. Semoga bertemu Maleek atau Anjing yang setia menemani.

(*) A Different Kind of Human – AURORA (2019)


*Telah diikutsertakan di suatu event ulang tahun di Facebook.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar