Cek di sini

Senin, 02 November 2015

[Review] AkaFuri Light Novel Anthology "412" Part 1 - "Glassy Dawn" by Light of Leviathan


1/5 bintang.


“Langit malam yang teduh berbintang mengecupi ufuk fajar. Seperti matanya. Seperti diri satu sama lain yang terefleksi dalam lanskap pandang mereka. Karena Akashi tidak mau Furihata terjerembab disekap gelap; hampir seperti dirinya.”

Sinopsis itulah yang kontan membuat saya langsung memilih untuk membaca fanfic terakhir di antologi ini lebih dulu. "Terjerembab disekap gelap"... hmmmmm.... kayak puisi ya?
Lalu, “Langit malam (...) mengecupi ufuk fajar” bagian ini nih yang memicu keputusan saya untuk langsung lompat ke fanfic terakhir.
Memilih kata “mengecup” untuk menyambungkan kata “langit” dan “ufuk”? Huuumm.... Gak biasa.



Lalu saya bertanya-tanya: “Penulisnya tahu arti ‘ufuk’?”

Sinopsis di sampul belakang.


Ufuk (Ar) (n) kaki langit: cahaya merah mulai terbentang di – barat. KBBI

Dari definisi KBBI tersebut, jelas bahwa “ufuk” adalah bagian dari langit, ia “kaki langit”. Jadi “langit” mustahil ngapa-ngapain “kaki langit” karena “ufuk” adalah salah satu bagian dari entitas “langit” tersebut. Kalau dikau belajar matematika, inget bab yang ada bagan berupa lingkaran-lingkaran yang di dalamnya ada lingkaran kecil dan terkadang tergabung dengan lingkaran lain di luar? Apapun yang terjadi, lingkaran kecil di dalam lingkaran besar gak akan bisa membuat perubahan pada lingkaran besarnya.

Menulis itu perlu logika. Dan kalimat itu, sayangnya, gak logis.



Nah, mari langsung cek kontennya.

“Mungkin matahari berada sejengkal membaui ubun-ubun. Karena itulah radiasinya seperti berintensi membakar habis per inci setiap entitas hingga terlumat jadi debu.”

Hmmmm.......... Baiklah, kayaknya fanficer yang ini punya eeer... selera berbahasa yang unik.

Tapi di sisi lain, saya curiga editornya main-main sama saya, sengaja ngacauin susunan kalimat fanfic ini biar saya pusing tujuh keliling—editornya kawan saya, soalnya. Atau bisa jadi kalimat-kalimat fanfic ini sebenernya kode-kode militer zaman Perang Dunia Kedua—macem filmnya Cumberbatch akhir tahun lalu itu lho ♥—yang belum dipecahin dan nyasar(?) ke zaman sekarang.

Masalahnya, untuk bikin tulisan bagus gak melulu mesti pakai kalimat berputar-putar dengan bahasa sok puitis. Pakai bahasa sederhana dan lugas pun bisa, asalkan penulisnya mumpuni dalam mengolah kata.



Balik ke ulasan.

Halaman pertama fanfic keempat.


Yang paling mencolok bagi saya dari fanfic ini adalah banyaknya kosakata “ganjil”. Sebagian ada dalam KBBI, sebagian lagi—saya kira—sekadar kosakata bahasa inggris yang dirombak jadi "seolah-olah" bahasa indonesia oleh fanficer-nya.

Invitasi (ada dalam KBBI), kapabilitas (tidak ada, tapi sudah awam digunakan), aprovasi (TA), konversasi (A), ordinari (TA), bifurkasi (TA, tapi banyak dipakai di buku kesehatan), me-lengak (A), likuid krimson (TA—saya sempet ber-“Pffft!!” di bagian sini), distan (TA), me-notis (TA; ketauan kamu kebanyakan main socmed~), desperasi (TA), eksplosif (A), buli (TA), inosen (TA; duuuuh... ini jelas-jelas bahasa inggris dan ada terjemahan indonesianya: polos, tak bersalah), dst dll—saya udah keburu males ngedatanya *plak*

Yang saya kasih tanda “TA”, berarti memang gak ada di KBBI, berarti gak baku secara bahasa indonesia; kenapa kamu gak nyari padanan kata dalam bahasa indonesia? Banyak lho kosakata asli indonesia yang eksotis, tanpa perlu maksain "merombak" bahasa asing.
Sementara yang saya tandain “A” berarti ada di KBBI, tapi penggunaannya kurang tepat; kurang sesuai konteks kalimat.

Menulis itu ada aturannya. Gak sekonyong-konyong isi kamus bahasa inggris kamu “rombak” jadi ejaan bahasa indonesia lantas menggunakannya dalam tulisanmu seolah-olah itu memang bahasa indonesia. Gak sesederhana itu. Kasihan para penerjemah inggris-indonesia di luar sana, mereka susah payah nyari padanan kata dalam bahasa indonesia; saya rasa gak ada yang masukin kata “ordinari” di terjemahan mereka.

Sama halnya dengan ini. Dikau gak boleh sewenang-wenang “numpahin” kosakata bikinan-kamu-sendiri ke dalam karyamu. Sebab, bagaimanapun juga, karyamu itu akan dibaca orang lain.
Ingat, karyamu itu bukan untuk dirimu sendiri. Kamu harus paham bahwa tulisan kamu pasti dibaca oleh khalayak—ada yang gak sependapat denganmu, ada yang lebih cerdas darimu, ada yang lebih berpengalaman darimu; pembacamu bakal jauh lebih beragam, kamu harus mencari tahu apakah pengetahuan kamu sudah cukup? Apakah tulisanmu sudah mumpuni untuk dilempar ke masyarakat?

Saya kembali ngebahas “likuid krimson”. Hmmm... kenapa gak sekalian menggunakan crimson liquid aja, bahasa inggris sekalian. Atau kalau mau pakai bahasa indonesia... kenal “merah tedas”? Indah tuh, kosakata murni bahasa indonesia pula. Artinya sama: merah gelap.

Kalau memang kamu masih merasa kurang cerdas dalam mainin kosakata, coba tanya ke yang ahli. Kenalan dengan orang yang sudah berkecimpung lama di dunia tulis-menulis.

Beda lagi dengan pemakaian "eksplosif" milikmu. Memang sudah wajar dipakai, tapi kata ini gak cocok untuk kalimatmu di halaman 90: "Semacam ada perang dingin dan bom waktu yang disetel tinggal hitung mundur—boom! eksplosif." sebab "eksplosif" itu kata sifat, padahal yang kamu perlukan di situ adalah kata benda: ledakan.

Kamu sering tidak memperhatikan konteks, main "plek-plek" nempelin kosakata-yang-penting-unik-dan-cantik padahal secara tata bahasa nol besar.

Alhasil, kalimat-kalimatmu dalam fanfic ini kayak labirin yang tanpa makna. Gak jelas juntrungannya kamu mau mengutarakan apa. Bahaya, bahaya.



Kalau diumpamain pelukis, dikau ini bak orang baru kenal jenis-jenis cat, terus saking semangatnya seenaknya nyampur-nyampurin semua cat itu dan ngegoresnya tanpa teknik, lalu malah dapat pujian “yaampun, lukisan abstrak ini superb sekali!” dari orang yang sebenernya baru kali itu melihat lukisan, lalu tanpa ngecek kanan-kiri dan tanya-tanya pelukis lain, dikau mengira dirimu udah pandai melukis.

Kamu perlu berhati-hati. (Udah berapa kali saya wanti-wanti begini?)

Omong-omong, saya jadi penasaran, fanficer ini pernah baca sastra indonesia apa saja? Pramoedya Ananta Toer? Marga T.? Alisjahbana? Mochtar Lubis? Golagong? Arswendo?

Kalau misalnya kamu jujur belum pernah baca karya-karya mereka sama sekali—atau bahkan ada yang namanya baru kamu dengar?—wajar saja kalau kekayaan bahasa indonesiamu masih kurang.
Banyak baca, banyak menyerap ilmu, banyak berdiskusi.
Perluas genre bacaan kamu, kalau memang kamu ingin menekuni bidang tulis-menulis, jangan terpaku hanya baca satu genre bacaan saja.

Saya mengerti kamu pengen ngasih efek “estetis” dan “hiperbolis” dengan penggunaan diksi-diksi unik(?) itu. Masalahnya, alih-alih estetika dan hiperbola, khawatirnya pembaca malah merasa fanfic-mu ini “maksa”. Serem kan?


Btw, btw, saya nemu kalimat-kalimat ganjil(?) lagi.




“Ada probabilitas Akashi yang asli tak kehilangan kemampuan asli memprediksi futuristik.”
“Dan Furihata lambat menyadari faktualisasi ini: ia tidak merijeksi semua itu.”

Jujur, saya langsung keingetan seleb Vicky Prasetyo pas nemu dua kalimat itu. Haha~
Maap, maap, saya gak bisa gak ketawa di kedua kalimat tersebut. Itu cuma baru dua, lho.

Coba saya ubah ya kalimatnya. Kalau saya yang nulis, dua kalimat itu akan menjadi:

“Ada kemungkinan Akashi yang asli tak kehilangan kemampuan memprediksi masa depannya.”
“Dan Furihata lambat menyadari fakta ini: bahwa ia tidak menolak semua itu.”

Sederhana kan? Tapi efek “Vickynisasi”-nya jadi lenyap kan? Seenggaknya mengurangi pembaca yang bakal mengerutkan dahinya pas baca.

Kurang? Perlu penjelasan ilmiah? Hmmm... baiklah, saya coba jelasin.

Penggunaan kata “probabilitas” di sana murni sebagai pemilihan diksi yang sifatnya arbitrer *saya jadi kebawa-bawa pake kosakata sulit deh* jadi saya rasa sah-sah aja kalau fanficer-nya mau pakai kata tersebut—cuma, perhatikan kebiasaan orang memakai kata “probabilitas”, kata tersebut umumnya digunakan untuk artikel-artikel ilmiah dan faktual, misalnya di surat kabar atau karangan ilmiah. Tapi, lagi-lagi saya tekankan—supaya dikau gak salah paham—ini sifatnya arbitrer, saya gak bisa bilang pemakaianmu keliru, cuma gak klop dengan selera saya aja.

Lain halnya dengan kata “futuristik”. Saya yakin kamu kebawa-bawa kosakata bahasa inggrisnya “futuristic” yang dalam kamus Oxford Learner’s Pocket saya: adj “looking very modern and strange”. Ada tanda adj di depannya, itu berarti ia termasuk kata sifat. Sementara jika dilihat dari susunan kalimatmu itu polanya pasti SPO karena “memprediksi” itu kata kerja transitif a.k.a butuh objek. Di belakang “memprediksi” gak boleh langsung ditaruh K (keterangan; termasuk adj atau kata sifat) tanpa O lebih dulu. Jadi, alih-alih “futuristik”, lebih tepat kasih kata benda “masa depan” sebagai objek di sana. Setidaknya, dengan begitu, kalimat itu gak akan "bolong".

Lalu “faktualisasi”. Di KBBI ada lema “faktual” + imbuhan –isasi. Berhati-hatilah menggunakan imbuhan yang diambil dari serapan. Nanti jatuhnya macem Vicky Prasetyo yang pengen keliatan sok pinter nambahin –isasi di tiap kata benda, padahal pemakaiannya salah; bisa berpotensi jadi bahan tertawaan nanti—seperti saya yang udah telanjur ketawa xDD *digelundungin*
Imbuhan –isasi itu berarti “proses menjadikan”, sementara “faktual” bermakna “bersifat fakta”. Jadi, “faktualisasi” itu kira-kira maknanya “menjadikan sesuatu bersifat fakta/nyata”. Contoh pemakaian—supaya kamu nyambung sama maksud saya: faktualisasi diri, faktualisasi kabar. Sementara maksud kalimat kamu itu sepertinya: Furi terlambat menyadari kenyataan tersebut. Jadi, alih-alih memakai “faktualisasi”, kata yang tepat adalah “fakta” atau “kenyataan”. Kata benda sebagai objek, bukan kata sifat sebagai keterangan.

Terakhir, “merijeksi”. Bwahahahahaha.... Maap, maap, yang ini lucu banget soalnya. “Reject” maksudnya? Bahasa inggris kan? Kenapa jadi “rijeksi”? Pffft!!! Ada tuh, padanan bahasa indonesianya: tolak, sangkal, dsb, dll. Kamu iniiiiih... kalo temen-temen penerjemah bahasa inggris yang saya kenal baca fic ini, nanti mereka bisa sakit hati, atau bisa-bisa kamu dianggep penggemar Vicky Prasetyo—atau memang iya?

Udah, udah. Stop ngomongin Vicky Prasetyo, makin populer nanti dia, kesian isi siaran televisi makin rusak.


Saya kenal banyak penulis amatir yang diksinya cantik tapi tetap bisa menggunakan kosakata secara cerdas dan efisien. Contohnya di cerpen Tunisia. Sengaja saya ngasih contoh genre BL supaya kamu lebih minat belajar—siapa tau tebakan saya kalau dikau kurang baca memang bener.
Cerpen BL yang tautannya saya kasih itu adalah satu-satunya cerpen BL orisinal yang saya suka; saya gak bisa move on dari situ. Itu karya genius—seenggaknya bagi saya. Penulisnya pasti banyak baca buku, kosakatanya kaya. Dia juga berpengetahuan luas, terlihat dari latar belakang ceritanya yang detail. Plus latar belakang Perang Dunia Kedua yang emang demenan sayaaaah~~~

Kalau dari Sastrasempoa masih kurang, saya kasih contoh BL dari Bang Rijon, tapi beliau kalibernya udah beda, udah pro. Cerpen-cerpennya udah melanglang buana ke berbagai media massa di Indonesia. Cek Sesemburitan beliau di sini. Bahasa indonesianya kaya, beliau udah kayak nelen KBBI aja. Saya bahkan butuh kamus buat baca cerpen ini ahahaha. Ah, beliau juga demen masukin diksi-diksi yang berasal dari bahasa asing ke bahasa indonesia, mungkin cocok sama gaya menulismu. Yang pasti, beliau gak sembarangan nyerap bahasa asing ke bahasa indonesia. Beliau bilang di komennya kok, kalau beliau mengecek tiap-tiap kosakata yang dipakainya itu di KBBI.

Kamu itu belum cerdas dan efisien dalam menggunakan kosakata. Kamu harus banyak-banyak-banyak-banyaaaaaak baca, baik karya penulis pro maupun amatir. Tambah pengetahuanmu. Tambah pengalamanmu.

Lebih penting lagi, kamu harus belajar memahami bahwa kata-kata itu mesti disusun rapi agar jadi cantik, bukan yang-penting-cantik, lantas “ditumpahin” begitu saja di atas kertas.

Dan lebih penting lagi, jangan cuma “ngendap” di satu lingkaran; jangan jadi katak dalam tempurung. Dikenal dan dipuja-puja tapi cuma di satu komunitas saja tuh, berpotensi menumpulkan otak dan kreativitasmu. Melangkahlah ke dunia luar kalau mau serius di bidang tulis-menulis. Kenalan dengan banyak penulis lain, minta mereka membaca karyamu, minta pendapat mereka, berdiskusi dengan mereka. Lantaran, saya rasa, kelemahanmu itu adalah karena kamu mengurung diri dengan pembaca yang itu-itu aja.
Itu kalau kamu mau serius berkecimpung di dunia tulis-menulis, kecuali kalau emang kamu niatnya cuma berkecipak selama-lamanya di satu komunitas, yah... silakan aja abaikan ulasan saya ini, saya gak merasa rugi kok—toh, meski kehilangan waktu berharga, saya dapet pelajaran bagus dari fanfic kamu ufufufu.

Ah, saya ngasih kamu cuma 1 bintang karena... well... saya gak bisa membohongi diri dengan menganggap ini fanfic bagus. Maaf. Sebaiknya kamu banyak belajar lagi.

Bintang itu sebagai ungkapan ketakjuban saya karena kamu berani mencetak fanfic. Yah... kepercayaan diri adalah satu nilai tersendiri—seenggaknya saya juga berpendapat demikian.
Ah, mungkin juga karena saya takjub(?) dengan bagian adegan ranjangnya? Saya gak akan bisa nulis adegan ranjang seheboh(?) itu ahahaha... Adegan ranjang yang vulgar bukan "cangkir teh" saya juga sih. Pas bagian "Furihata merintih, terstimulan menjerit nikmat tatkala pucuk kepala merekah milik Akashi menyodok bongkah pantatnya menghantam saklar pemicu mekar gairah yang bersemi di tubuhnya" saya udah gak tahan(?), langsung ngakak mukul-mukul kursi (soalnya saya baca di ruang keluarga, sengaja nahan ketawa supaya pada gak penasaran saya baca apaan, tapi akhirnya ketawa juga ||orz)
Kocak(???) abis, serius!! Ahahahahahahahahaha.... *ini bukan genre komedi, oi!*

Duh, maap, maap, mungkin emang saya kurang sreg dengan adegan ranjang semacam itu. Paling banter saya baca adegan ranjang di novel-novel contemporary romance luar, sih. Makanya kalau baca yang murni porn gini, jadi agak kaget(?) eeer... takjub(?) eeer... macem dapet pencerahan(?). Ahahahaha~
Plus bonus(?) ilustrasi Kuro yang tanpa sensor? ( ͡° ͜ʖ ͡°) 


Capek. Nge-review itu selalu bikin capek, tapi juga memberikan kepuasan tersendiri.

Saya mau langsung tidur aja kalau gini :”)

Saya menerima diskusi dengan senang hati, tapi saya tolak kalau cuma flaming. Mari kita belajar bersama-sama.
Kalau kamu perlu contoh-contoh cerpen bagus lagi, nanti akan dengan senang hati saya berikan~~~

Sisa ulasan untuk tiga fanfic lainnya bakal menyusul—kecuali kalau saya mendadak males—juga ulasan untuk ilustrasi dan penampilan (tata letak, sampul, dll) yang rencananya saya akan ulas secara terpisah—ini juga kalau saya gak mendadak males.

Tujuan saya mengulas antologi ini memang untuk memberikan opini objektif dari sisi pandang orang luar yang gak tersusupi inner fangirl. Saya melihat pasar doujin Indonesia saat ini besar, tapi rata-rata cuma “menjual OTP”, bukan menjual kualitas. Sepengamatan saya sih gitu, fujodan di luar sana kurang memedulikan kualitas cerita dan gambar (terutama cerita) doujin yang dibeli, yang penting itu OTP mereka.
Mereka “buta”.
Dan saya geregetan ngeliat fenomena yang kayak lingkaran setan itu.

Sementara, saya terbebaskan dari “kebutaan” ala fujodan itu. Saya orang luar. Pendapat saya gak dipengaruhi apapun.
Euh... semoga.

Sebelum lupa, ini saya kasih foto sampul depan antologinya. Gak afdol rasanya kalau gak diselipin.




2 komentar:

  1. eh terus ceritanya tentang apa?

    BalasHapus
  2. Yaampun, saya sampe lupa ngebahas soal plot!! Maap, maap...

    Sebenernya ceritanya juga nothing special, sih... Ahahaha... Kalo disingkat, jadi beberapa tim basket SMA terbaik itu melakukan camp bareng, dan kebetulan aja futon si Furi dan si Akashi bersebelahan selama camp tersebut. Terus mereka jadi deket deh--yah, ada beberapa kejadian juga sih...

    Saya udah keburu geregetan gaya nulisnya berantakan gitu. Semacam dihidangkan makanan yang penampilan luarnya udah gosong, bikin gak nafsu kan? Sama deh dengan fanfic ini ahahaha...

    Nanti coba saya tambahin sedikit soal plot di postingannya.

    BalasHapus